Friday, September 19, 2025
HomeBeritaANALISIS - Mencari bentuk kemitraan strategis Suriah–Turki

ANALISIS – Mencari bentuk kemitraan strategis Suriah–Turki

Kunjungan Presiden Suriah, Ahmad al-Shar’a, ke Ankara pada 4 Februari lalu dan pertemuannya dengan Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan, berlangsung dalam suasana regional yang sarat dinamika.

Ini merupakan lawatan pertama al-Shar’a ke negara non-Arab sejak ia menggantikan rezim lama, dan karenanya memiliki bobot simbolis maupun politis yang besar.

Sejumlah agenda besar mewarnai pembicaraan kedua pemimpin. Mulai dari kerja sama militer dan ekonomi hingga isu-isu sensitif seperti sanksi internasional terhadap Suriah, rekonstruksi pascaperang, persoalan pengungsi Suriah di Turki, serta tantangan keamanan di kawasan utara dan timur Suriah.

Wilayah tersebut masih berada di bawah kendali Pasukan Demokratik Suriah (SDF) yang didukung Amerika Serikat (AS).

Sementara di gurun Suriah, kelompok Negara Islam (ISIS) berusaha menata ulang jaringannya pasca-runtuhnya rezim Bashar al-Assad.

Laporan ini menyoroti kepentingan strategis yang mempertemukan Damaskus dan Ankara, serta bagaimana arah kemitraan keduanya akan memengaruhi stabilitas internal masing-masing negara, juga konstelasi politik kawasan yang kini tengah bergerak cepat.

Pergeseran ini dipicu oleh surutnya peran Iran di Suriah dan Lebanon, yang membuka ruang kosong bagi kekuatan regional lain untuk segera mengisinya.

Prioritas kemitraan

Damaskus dan Ankara kini berupaya menyusun langkah-langkah yang terukur dan terkoordinasi untuk membangun kemitraan baru.

Hambatan paling nyata datang dari sanksi internasional, terutama dari AS, yang diwarisi dari masa rezim Bashar al-Assad.

Di sisi lain, tantangan keamanan masih besar, khususnya karena sebagian wilayah timur laut Suriah belum kembali ke dalam kendali Damaskus.

Salah satu agenda utama ialah upaya menghapus sanksi ekonomi terhadap Suriah. Ankara dipandang memiliki posisi strategis untuk melobi Washington, berbekal hubungan baik Presiden Erdogan dengan Presiden AS, Donald Trump, serta pengaruh Turki dalam menggalang dukungan di PBB.

Bila rintangan ini dapat dilewati, jalan menuju pembahasan rekonstruksi Suriah akan terbuka lebar, dengan Turki sebagai aktor kunci.

Tantangan berikutnya adalah menyatukan kembali wilayah Suriah, khususnya terkait proyek politik-militer SDF.

Dalam hal ini, Ankara dan Damaskus terlihat membagi peran: Turki mengedepankan ancaman aksi militer, sementara Damaskus menawarkan jalur politik berupa peta jalan penyelesaian damai di kawasan timur Sungai Eufrat.

Tujuannya, meyakinkan AS agar menghentikan dukungan terhadap SDF.

Model pendekatan ganda—kombinasi tekanan militer dan negosiasi politik—tampaknya menjadi strategi yang ditempuh.

Namun, dengan macetnya pembicaraan antara Damaskus dan SDF, pilihan intervensi militer kian mengemuka sebagai opsi paling realistis bagi Suriah dan Turki.

Kerja sama militer dan keamanan

Sejak melancarkan Operasi Perisai Eufrat pada 2016 melawan kelompok Negara Islam (ISIS), Turki telah membangun 129 titik militer dan keamanan di dalam wilayah Suriah.

Posisinya tersebar di kawasan utara dan barat laut, termasuk di kota Tell Abyad dan Ras al-Ain.

Pada masa lalu, Ankara berusaha melegitimasi kehadiran militernya melalui upaya normalisasi dengan Damaskus.

Antara lain dengan mendorong revisi Perjanjian Adana sehingga zona operasi militer diperluas dari 5 kilometer menjadi 30 kilometer ke dalam wilayah Suriah.

Kini, setelah perubahan politik di Damaskus, peluang terbuka untuk membicarakan kerja sama militer dalam kerangka yang lebih menyeluruh.

Mengutip sumber-sumber Turki, kantor berita Bloomberg melaporkan bahwa Ankara tengah berupaya meneguhkan kembali kehadiran militernya melalui perjanjian pertahanan bersama.

Perjanjian ini diproyeksikan akan mengatur ulang pola penempatan pasukan Turki di Suriah, dengan alasan menghadapi ancaman keamanan yang sama-sama dihadapi kedua negara, termasuk aktivitas sisa-sisa ISIS dan upaya kelompok loyalis rezim lama mengguncang stabilitas.

Sementara itu, Reuters melaporkan, isu pembangunan pangkalan pertahanan udara di kawasan tengah Suriah juga menjadi bagian dari agenda pembahasan.

Pangkalan ini ditujukan untuk melindungi ruang udara Suriah dari ancaman eksternal.

Menteri Pertahanan Turki, Yasar Güler, menyatakan rencana semacam itu memang sudah disiapkan, namun belum ada kesepakatan final dan dianggap terlalu dini untuk dibicarakan secara resmi.

Arah ke koalisi regional

Peran Turki dalam menghadapi ancaman ISIS tampaknya tidak akan berhenti di Suriah.

Ankara mendorong pembentukan koalisi regional yang melibatkan Suriah, Irak, dan Yordania, bersama dengan Turki sendiri, untuk memerangi jaringan teror.

Dengan demikian, isu kontra-terorisme tidak lagi dimonopoli oleh SDF dan AS yang selama ini menjadikannya alasan untuk melanjutkan perlindungan terhadap pasukan Kurdi.

Menteri Luar Negeri Turki, Hakan Fidan, mengonfirmasi adanya inisiatif ini. Menurut dia, Ankara akan meluncurkan mekanisme bersama dengan tiga negara tetangga guna memperkuat koordinasi regional dalam menghadapi ISIS.

Bagi Damaskus, kerja sama dengan Turki juga menjanjikan peluang strategis. Di tengah keinginan untuk mendiversifikasi sumber persenjataan dan tidak lagi bergantung hanya pada Rusia, Turki dinilai sebagai mitra potensial.

Sebagai negara anggota NATO dengan industri pertahanan yang maju, Turki dapat menjadi pemasok senjata sekaligus penyedia pelatihan militer bagi Suriah.

Reuters juga mengungkap, draft perjanjian pertahanan yang sedang dibahas mencakup dukungan militer Turki kepada Suriah jika menghadapi ancaman mendadak, termasuk pelatihan bagi tentara Suriah dan pengiriman peralatan militer modern.

Hubungan yang telah lama terjalin antara militer Turki dan faksi-faksi oposisi Suriah, serta pengalaman bertempur bersama, dapat menjadi modal awal untuk menjembatani kerja sama baru ini.

Meski demikian, jalan menuju kerja sama militer penuh masih terjal. Potensi penolakan dari AS, risiko Suriah berubah menjadi arena rivalitas Arab–Turki, hingga ketidakpastian konstelasi regional, menjadi faktor yang harus diperhitungkan.

Namun, bila kerja sama ini berhasil dibangun, baik Turki maupun negara-negara Arab dapat memastikan Iran tidak kembali mengisi kekosongan geostrategis di Suriah.

Bagi Ankara, keuntungan lain adalah kesempatan untuk membantu Damaskus membangun lembaga keamanan yang profesional.

Dengan demikian, Suriah dapat memperkuat kemampuan berbagi informasi intelijen dan bekerja sama dengan negara-negara kawasan menghadapi ancaman bersama.

Hal ini juga sejalan dengan arah kebijakan baru Damaskus yang menempatkan hubungan dengan dunia Arab sebagai landasan utama dalam membangun jejaring politik regional maupun global.

Kerja sama ekonomi

Keberadaan lebih dari tiga juta pengungsi Suriah di Turki ternyata ikut mempererat hubungan ekonomi kedua bangsa.

Tenaga kerja Suriah memainkan peran penting dalam menopang roda perekonomian Turki.

Banyak pula investor asal Suriah yang masuk ke pasar Turki, sementara kawasan industri yang dibangun pemerintah sementara Suriah di utara, dengan dukungan Ankara, berperan dalam menghidupkan kembali produksi di wilayah tersebut.

Kini, dengan jatuhnya rezim lama di Damaskus, dimulainya proses stabilisasi keamanan, serta wacana pencabutan sanksi internasional, peluang kerja sama ekonomi antara kedua negara semakin terbuka.

Bidang yang bisa digarap mencakup pembangunan infrastruktur dasar, pemulihan industri, hingga pemenuhan kebutuhan pasar domestik Suriah.

Perusahaan-perusahaan konstruksi Turki pun bersiap untuk masuk ke sektor rekonstruksi, asalkan rintangan berupa sanksi ekonomi berhasil diatasi.

Jalur perdagangan strategis

Kondisi politik baru di Suriah juga mengembalikan posisinya sebagai jalur transit strategis yang menghubungkan Teluk Arab dengan Turki dan Eropa.

Jalan internasional M5, yang menghubungkan perbatasan Turki di Bab al-Salamah dengan perbatasan Yordania di Nassib, dipandang memiliki nilai strategis besar.

Jalur ini berpotensi mendorong investasi Turki maupun negara-negara Teluk dalam upaya rehabilitasi infrastruktur, sekaligus menawarkan alternatif lebih efisien dibanding jalur pembangunan melalui Irak yang berjarak lebih jauh.

Dengan aktifnya jalur darat tersebut, pengiriman barang menuju Teluk Arab dapat dilakukan lebih cepat dan dengan biaya lebih rendah dibanding moda transportasi udara maupun laut.

Hal ini diharapkan akan meningkatkan volume perdagangan kedua negara, meskipun Damaskus tetap berhati-hati agar hubungan dagang tidak sekadar menjadikan Suriah pasar konsumsi bagi produk Turki, melainkan juga mendukung revitalisasi sektor industri, perdagangan lokal, dan pertanian domestik.

Dalam perspektif strategis energi kawasan, proyek pipa gas Qatar–Turki yang melintasi Arab Saudi, Yordania, dan Suriah, menjadi salah satu agenda kerja sama penting antara Damaskus dan Ankara.

Rencana tersebut bertujuan menghubungkan Qatar secara langsung dengan pasar energi Eropa. Pipa gas ini semula dirancang mencapai perbatasan Suriah–Turki, lalu terintegrasi dengan jaringan pipa yang sudah ada di Turki, termasuk proyek Nabucco yang menghubungkan Turki dengan Eropa.

Selain itu, Suriah dan Turki juga diperkirakan akan meninjau kembali perjanjian interkoneksi listrik yang sempat ada sebelumnya.

Namun, tantangan besar masih menghadang, terutama kerusakan parah pada infrastruktur energi di Suriah.

Situasi ini mendorong pentingnya proyek pemulihan awal, khususnya untuk memperbaiki jaringan listrik dan energi sebagai prasyarat bagi pembangunan ekonomi yang lebih luas.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular