Armada solidaritas dunia yang tengah berlayar menuju Jalur Gaza kembali menghadapi tekanan.
Laporan dari laut Mediterania menyebutkan munculnya pesawat nirawak (drone) tak dikenal yang berputar-putar di atas beberapa kapal dalam misi kemanusiaan terbesar untuk menembus blokade Israel.
Dari atas kapal Shireen, salah satu kapal yang tergabung dalam armada, jurnalis Al Jazeera, Hassan Masoud, menyampaikan bahwa sedikitnya satu drone terbang rendah dan mengintai gerak-gerik kapal.
Drone lain tampak bergerak di ketinggian berbeda, seolah merekam atau memetakan posisi kapal.
Hingga kini belum ada kepastian, apakah drone tersebut terkait patroli Eropa untuk memantau arus migran gelap di Mediterania, atau justru bagian dari operasi militer Israel yang berkepentingan melacak perjalanan armada.
Sehari sebelumnya, Armada Solidaritas Maghribi—bagian dari jaringan global yang ikut serta dalam misi ini—juga melaporkan hal serupa.
Melalui unggahan di laman Facebook, juru bicara armada, Wael Nawar, menyebut ada tiga drone yang melintas di atas salah satu kapal.
“Salah satunya bahkan terbang sangat dekat dengan kami,” tulisnya.
Dalam rekaman video terpisah dari atas kapal Deir Yassin, Nawar menggambarkan kehadiran pesawat nirawak yang muncul pada malam hari, menyisir ruang udara di sekitar armada.
“Setelah hampir enam hari meninggalkan pelabuhan Tunisia, kini kami keluar dari perairan Italia dekat Sisilia dan bergerak menuju perairan internasional dekat Yunani. Kami dalam kondisi baik, tekad kami kuat, dan tetap berlayar menuju Gaza,” kata Nawar.
Ia menambahkan, kapal Deir Yassin yang berada di barisan depan sengaja menurunkan kecepatan agar seluruh armada tetap berada pada formasi yang sama.
“Hanya tinggal hitungan hari, kami akan tiba di Gaza,” ujarnya.
Armada terbesar untuk Gaza
Kehadiran drone ini bukan yang pertama. Armada solidaritas internasional sebelumnya juga pernah melaporkan gangguan serupa pada 8 dan 9 September lalu, meski tidak menimbulkan kerusakan maupun korban.
Armada Solidaritas Global kali ini menjadi yang terbesar sejak gagasan pelayaran ke Gaza digagas.
Sekitar 50 kapal terlibat, terdiri dari 23 kapal asal negara-negara Maghribi dan 22 kapal dari Eropa, Amerika Latin, AS, Pakistan, India, hingga Malaysia.
Para aktivis kemanusiaan dari berbagai latar belakang ikut serta dalam pelayaran yang dipandang sarat risiko.
Rangkaian keberangkatan dimulai pada akhir Agustus lalu dari pelabuhan Barcelona, disusul keberangkatan dari pelabuhan Genoa, Italia.
Pada 7 September, kapal-kapal itu tiba di perairan Tunisia sebelum berlayar lebih jauh ke arah timur.
Untuk pertama kalinya, jumlah kapal sebanyak ini berlayar bersamaan dengan tujuan tunggal: menerobos blokade yang telah berlangsung 18 tahun atas Gaza.
Israel sebagai otoritas pendudukan tercatat berulang kali melakukan aksi intersepsi terhadap upaya serupa di masa lalu.
Kapal-kapal yang berlayar sendirian menuju Gaza acap kali ditangkap, ditarik ke pelabuhan Israel, dan seluruh awaknya dipulangkan secara paksa.
Blokade atas Gaza semakin mencekik sejak 2 Maret lalu, ketika Israel menutup seluruh jalur darat dan menahan masuknya bantuan pangan maupun obat-obatan.
Padahal, truk bantuan menumpuk di perbatasan. Kalaupun ada yang diizinkan lewat, jumlahnya sangat terbatas dan seringkali dijarah kelompok bersenjata yang dilindungi militer Israel.
Kondisi ini mendorong PBB menyatakan bahwa Gaza kini dilanda kelaparan massal. Sejak awal agresi Israel pada 7 Oktober 2023, serangan udara dan darat yang didukung penuh AS telah menewaskan sedikitnya 65.283 warga Palestina.
Lebih dari 166.000 orang terluka, mayoritas perempuan dan anak-anak. Kelaparan yang diciptakan blokade juga sudah merenggut 442 jiwa, termasuk 147 anak.
Di tengah situasi itu, armada solidaritas berlayar dengan tekad yang digambarkan para pesertanya sebagai “keyakinan bahwa dunia tidak boleh berpaling dari Gaza”.