Sedikitnya sepuluh kapal yang tergabung dalam Armada Solidaritas Global untuk menembus blokade Gaza dilaporkan menjadi sasaran serangan drone pada Rabu (24/9) dini hari waktu setempat.
Ledakan terdengar di sekitar kapal-kapal tersebut, meski sejauh ini belum ada laporan mengenai korban jiwa.
Pelapor Khusus PBB untuk hak asasi manusia di Palestina, Francesca Albanese, menyebut ada tujuh serangan yang dilancarkan oleh drone terhadap kapal-kapal armada di Laut Tengah.
Sebelumnya, menurut dia, terpantau 15 pesawat tanpa awak melayang di atas jalur pelayaran armada yang tengah menuju Gaza untuk mematahkan blokade Israel.
“Perlindungan harus segera diberikan bagi kapal-kapal armada ini, karena mereka berulang kali diserang,” tegas Albanese.
Komite penyelenggara Armada Solidaritas dalam pernyataannya menyebutkan, sedikitnya 13 ledakan terekam dan terjadi gangguan besar pada sistem komunikasi kapal.
Benda-benda tak dikenal juga dilaporkan dijatuhkan dari udara ke atas 10 kapal, menimbulkan kerusakan meski sejauh ini belum ada korban.
Komite menuduh Israel melakukan kampanye disinformasi guna mencari pembenaran atas kemungkinan operasi militer.
“Setiap serangan terhadap konvoi kemanusiaan ini adalah kejahatan perang sekaligus pelanggaran terhadap hukum internasional,” demikian pernyataan komite.
Seorang jurnalis Al Jazeera yang ikut berlayar dengan salah satu kapal mengatakan, drone sempat menjatuhkan zat beraroma mesiu ke atas sejumlah kapal. Tidak ada korban akibat insiden itu.
Ini bukan kali pertama kapal armada diteror dari udara. Dua hari sebelumnya, pesawat tanpa awak juga dilaporkan terbang rendah di atas jalur pelayaran armada.
Pada 8 dan 9 September lalu, insiden serupa terjadi meski tanpa laporan kerusakan atau korban.
Pemerintah Israel pada Senin (22/9) secara terbuka melayangkan ancaman. Armada disebut tidak boleh memasuki apa yang mereka sebut “zona pertempuran aktif” di perairan sekitar Gaza.
Tel Aviv menuding Armada Solidaritas sebagai bagian dari operasi yang digerakkan Hamas.
“Israel tidak akan mengizinkan kapal-kapal itu melanggar blokade laut yang sah,” demikian pernyataan resmi Kementerian Luar Negeri Israel.
Mereka menawarkan agar kapal berlabuh di Pelabuhan Ashkelon, dengan janji bantuan akan diteruskan ke Gaza dari sana.
Armada yang membawa pekerja kemanusiaan, dokter, seniman, dan aktivis dari 44 negara itu berangkat dari Tunisia awal September ini setelah beberapa kali tertunda.
Menurut laman resminya, misi mereka adalah membuka koridor kemanusiaan menuju Gaza serta mengakhiri blokade yang telah berlangsung hampir dua tahun dan disertai perang yang menewaskan ribuan warga sipil.
Penyelenggara armada menegaskan kembali pada awal pekan ini bahwa mereka berhak menyalurkan bantuan ke Gaza dan melindungi relawan sesuai prinsip hukum internasional dan perdamaian.
Israel sebelumnya juga menggagalkan dua upaya serupa, masing-masing pada Juni dan Juli lalu, ketika para aktivis berusaha masuk ke Gaza lewat laut.
Penundaan keberangkatan armada kali ini sebagian besar disebabkan masalah keamanan, kesiapan teknis kapal, serta kondisi cuaca.
Armada terbesar untuk menembus blokade
Pada akhir Agustus lalu, konvoi kapal Armada Solidaritas pertama berangkat dari Pelabuhan Barcelona, Spanyol.
Disusul kemudian pada 1 September dini hari, rombongan kedua bertolak dari Pelabuhan Genoa, Italia bagian barat laut.
Tanggal 7 September, kapal-kapal dari Spanyol dan Italia itu mulai merapat di perairan Tunisia.
Beberapa hari kemudian, mereka bersama-sama bergerak menuju Gaza dengan satu tujuan: menembus blokade Israel.
Inilah kali pertama jumlah kapal sebesar ini berlayar serentak menuju Gaza. Wilayah sempit berpenduduk sekitar 2,4 juta jiwa itu telah terkurung blokade Israel selama 18 tahun, yang dalam beberapa bulan terakhir semakin diperketat.
Sebelumnya, Israel—yang berstatus sebagai kekuatan pendudukan di Palestina—berulang kali melakukan aksi yang disebut banyak pihak sebagai “pembajakan” terhadap kapal-kapal yang berlayar sendiri menuju Gaza.
Kapal itu ditahan, dan para aktivis yang berada di dalamnya dipaksa dideportasi.
Sejak 2 Maret lalu, seluruh gerbang masuk ke Gaza ditutup oleh Israel. Tidak ada bahan pangan, obat-obatan, atau bantuan kemanusiaan yang diizinkan masuk, kendati truk-truk bantuan menumpuk di perbatasan. Kondisi ini menjerumuskan Gaza ke dalam krisis kelaparan akut.
Seiring dengan dukungan politik dan militer dari Amerika Serikat (AS), Israel sejak 7 Oktober 2023 melancarkan serangan militer yang oleh banyak pihak dinilai sebagai genosida terhadap warga Gaza.
Data terakhir menyebut, sedikitnya 65.382 warga tewas dan 166.985 orang lainnya terluka. Mayoritas korban adalah anak-anak dan perempuan.
Bahkan, kelaparan telah merenggut 442 nyawa, termasuk 147 anak. Angka ini menegaskan bahwa krisis di Gaza bukan hanya soal blokade dan serangan bersenjata, melainkan juga bencana kemanusiaan yang sistematis.