Thursday, September 25, 2025
HomeAnalisis dan OpiniANALISIS - Rencana Trump untuk Gaza: Antara manuver Netanyahu dan keraguan eksekusi

ANALISIS – Rencana Trump untuk Gaza: Antara manuver Netanyahu dan keraguan eksekusi

Rencana Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump yang berisi 21 butir langkah untuk menyelesaikan krisis Gaza dan isu Palestina menuai tanggapan beragam dari para pengamat politik dan strategi internasional.

Sejumlah pemimpin Arab dan Muslim menyampaikan optimisme, meski dengan sikap hati-hati.

Namun, tidak sedikit analis yang mengingatkan akan kemungkinan terulangnya pola lama: Trump kerap berbalik arah di bawah tekanan Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, yang saat ini menghadapi tuntutan di Mahkamah Pidana Internasional.

Trump memaparkan rencananya dalam pertemuan dengan para pemimpin negara Arab dan Islam di markas besar Perserikatan Bangsa-Bangsa, New York.

Ia menyebut forum itu “sangat penting”, menegaskan keinginannya mengakhiri perang di Gaza, sekaligus memulihkan nasib para sandera.

Meski garis besar usulan tersebut belum memuat rincian yang jelas, media AS Politico melaporkan, Trump berjanji kepada para pemimpin Arab bahwa ia tidak akan mengizinkan Israel melakukan aneksasi atas wilayah Tepi Barat.

Pernyataan itu sejalan dengan nada optimisme hati-hati dari pihak Arab. Emir Qatar, Sheikh Tamim bin Hamad Al Thani, menilai kondisi di Gaza sudah sangat parah.

“Kami hadir di sini untuk melakukan segala upaya menghentikan perang dan membebaskan para sandera,” ujarnya.

Kepada Trump, Emir Qatar menambahkan bahwa mereka menaruh harapan pada kepemimpinan Presiden Trump untuk menghentikan perang di Gaza.

Nada serupa juga tercermin dalam pernyataan bersama negara-negara peserta pertemuan.

Dokumen itu menegaskan perlunya penghentian perang dan pembebasan sandera sebagai langkah awal menuju perdamaian yang adil dan berkelanjutan.

Indikasi ini memperlihatkan adanya titik temu awal antara pemerintah AS dengan negara-negara Arab dan Islam dalam isu Gaza yang sangat sensitif.

Rincian rencana

Pakar strategi Partai Republik, Jane Card, menyatakan bahwa beberapa hari ke depan akan memperlihatkan rincian lebih lanjut dari rencana tersebut.

Menurut dia, Trump menambahkan elemen baru dengan menegaskan komitmennya untuk tidak membiarkan Israel mencaplok Tepi Barat.

Meski demikian, Card mengingatkan, Trump dikenal sering berubah pendirian.

“Yang bisa kita tangkap saat ini adalah bagaimana ia melihat persoalan Gaza dan solusi jangka panjangnya,” ujar Card.

Dalam penilaiannya terhadap ambisi Trump, Card menilai sang presiden tengah memburu capaian sejarah yang melampaui Perjanjian Abraham.

“Trump adalah sosok yang penuh impian, meski sering dipersepsikan sebagai pribadi keras. Ia percaya pada perdamaian, meskipun dengan caranya sendiri,” kata dia.

Card menambahkan, Trump sangat bangga dengan Perjanjian Abraham, tetapi juga ingin menorehkan warisan baru.

Namun, ia menilai visi itu sulit terwujud, walaupun tidak meragukan kesungguhan Trump.

Dari analisis itu, Card memprediksi, salah satu tujuan utama pertemuan Trump dengan Netanyahu pekan depan adalah mendorong Israel menyetujui rencana ini.

Trump, menurutnya, ingin tampil sebagai “pahlawan” yang berhasil membawa perdamaian.

Namun, Card juga meragukan Netanyahu akan tunduk pada tekanan tersebut. Jika itu benar terjadi, ia memperkirakan Trump akan kecewa, sebab Trump bukan tipe pemimpin yang mudah mundur atau menyerah.

Di sisi lain, peneliti dan analis politik Dr Osama Abu Rashid mengingatkan agar publik tidak larut dalam euforia.

Menurutnya, setiap pernyataan Trump memang bisa menumbuhkan harapan, tetapi pertanyaan terpenting adalah apakah optimisme itu akan benar-benar diwujudkan.

Abu Rashid mencontohkan pengalaman pada Juli lalu. Saat itu, suasana optimisme sempat menguat hingga muncul keyakinan serangan Israel akan segera berakhir.

Namun, kenyataannya, Trump justru mundur dari posisi awalnya dan kembali menuding Hamas sebagai pihak yang harus bertanggung jawab.

Menimbang rencana

Meski skeptis, Dr Osama Abu Rashid menilai butir-butir yang bocor dari rencana Trump tetap memuat sejumlah hal positif.

Di antaranya penghentian agresi, program rekonstruksi Gaza, penyaluran bantuan kemanusiaan, serta keterlibatan kekuatan Arab-Islam dan Otoritas Palestina dalam proses politik.

Ia juga menyambut baik syarat yang diajukan para pemimpin Arab dan Muslim, yakni menolak aneksasi, mencegah pengusiran paksa, serta menghentikan pembangunan permukiman baru.

Namun, di balik penilaian itu, Abu Rashid tetap menyuarakan sejumlah catatan. Ia mengingatkan adanya kontradiksi yang kerap muncul dari pernyataan resmi Washington.

“Pengalaman bersama Trump menunjukkan, ia bisa menyampaikan satu sikap dan kebalikannya dalam waktu singkat. Semua itu sangat bergantung pada suasana hatinya, serta pada kelihaian Netanyahu bermanuver,” ujarnya.

Menurut Abu Rashid, konteks politik domestik di Amerika turut memengaruhi. Trump, katanya, dihantui ambisi meraih Hadiah Nobel Perdamaian, tetapi sekaligus mendapat tekanan kuat dari basis politik Make America Great Again (MAGA) yang menuntut agar ia menomorsatukan kepentingan AS, bukan Israel.

Di tingkat internasional, Trump juga berhadapan dengan kenyataan makin terkucilnya posisi Washington.

Beberapa negara Eropa telah mengakui Palestina, sehingga membuat AS berada di sisi minoritas, berseberangan dengan mayoritas negara di dunia.

“Trump sudah memberikan Netanyahu segala bentuk dukungan, baik senjata maupun payung diplomatik. Tetapi, tanpa kemenangan nyata di lapangan, Israel justru makin terisolasi—dan keterisolasian itu ikut menyeret Amerika,” kata Abu Rashid.

Dari sisi Israel, pakar politik Dr Muhannad Mustafa menilai keberanian Netanyahu menerima rencana tersebut akan sangat ditentukan oleh sejauh mana keseriusan tekanan Washington.

Ia menekankan, ada tiga poin pokok dalam rancangan Trump yang justru mengguncang strategi Netanyahu selama ini: penarikan diri dari Gaza, larangan pengusiran dan pembangunan permukiman, serta penghentian rencana aneksasi Tepi Barat.

Runtuhnya strategi Netanyahu

Menurut Dr Muhannad Mustafa, jika butir-butir utama dalam rencana Trump benar-benar dijalankan, hal itu akan berarti keruntuhan total bagi bangunan strategi politik dan keamanan Netanyahu yang ia susun selama dua tahun terakhir.

Karena itu, Mustafa memperkirakan Netanyahu akan berusaha meyakinkan Trump bahwa rancangan tersebut tidak sejalan dengan kepentingan Israel.

Ia diperkirakan akan mengajukan syarat tambahan, seperti mempertahankan zona keamanan di Gaza serta kebebasan bergerak bagi operasi militer Israel.

Namun, ruang gerak Netanyahu kini jauh lebih sempit dibanding periode sebelumnya.

Mustafa menekankan adanya perbedaan besar antara berhadapan dengan Trump dan dengan Presiden AS sebelumnya, Joe Biden.

Jika dulu Netanyahu bisa menolak permintaan Biden karena bertumpu pada dukungan Partai Republik, kini ia tidak memiliki sandaran serupa di Partai Demokrat. Situasi ini membuat Netanyahu lebih sulit mengabaikan tekanan Trump.

Di sisi lain, Jane Card tetap membela kredibilitas Trump. Ia menilai keinginan Trump bagi kawasan ini konsisten dan terarah.

“Masalahnya bukan pada ketulusan, melainkan pada kemampuan untuk mewujudkan,” ujarnya.

Card menambahkan, Trump cenderung menghindari keterlibatan langsung. Ia lebih memilih posisi sebagai pemimpin pengarah ketimbang pengelola teknis dalam proses perdamaian.

Dengan mempertimbangkan dinamika tersebut, Abu Rashid menekankan pentingnya sikap tegas negara-negara Arab dan Islam, terutama terhadap Trump, bukan sekadar terhadap Netanyahu.

“Penghentian agresi harus dijadikan syarat pertama sebelum langkah-langkah lainnya,” katanya.

Ia mengingatkan bahaya memberikan “hadiah” politik kepada Washington maupun Tel Aviv tanpa adanya penghentian perang yang nyata serta jaminan yang konkret.

“Kita tidak boleh mengulangi kesalahan masa lalu, terjebak oleh janji-janji yang tidak pernah diwujudkan. Kawasan ini membutuhkan sikap tegas yang menjamin pelaksanaan komitmen, bukan sekadar pernyataan,” tegasnya.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular