Thursday, September 25, 2025
HomeAnalisis dan OpiniOPINI - Dunia lebih luas dari lima: Akankah PBB bertahan dalam ujian...

OPINI – Dunia lebih luas dari lima: Akankah PBB bertahan dalam ujian Gaza?

Oleh: Khalid El-Awaisi*

Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ke-80 berlangsung di bawah bayang-bayang sejarahnya sendiri.

Sejarah yang tercoreng oleh kegagalan puluhan tahun untuk menyelesaikan apa yang tepat disebut sebagai “masalah Israel.”

Sejak PBB lahir, rakyat Palestina telah hidup dalam penderitaan—dari pendudukan, pengusiran, hingga blokade yang mencekik.

Namun, lembaga yang semestinya berdiri demi perdamaian dan keadilan justru terbelenggu, tak berdaya menghentikan ketidakadilan yang dijalankan negara Zionis.

Dua tahun genosida di Gaza telah membuat rakyat Palestina, bahkan warga dunia, kehilangan kepercayaan terhadap organisasi internasional ini.

PBB hanya bisa menyaksikan, mengeluarkan kecaman, tetapi gagal bertindak. Sidang tahun ini pun tidak diawali dengan tarian diplomasi yang biasanya penuh basa-basi, melainkan dengan seruan moral yang menggema.

Gaza menjadi panggung utama: dari pernyataan keras Sekjen Antonio Guterres, pidato penuh emosi Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan, hingga suara Amir Qatar, dan sejumlah pemimpin lain.

Penderitaan Gaza kini menjelma isu penentu dalam pertemuan tahunan kali ini—sekaligus menjadi dakwaan atas kelumpuhan global dan ujian eksistensi PBB di abad ke-21.

Sekjen Guterres membuka sidang dengan pengakuan getir: horor yang kini memasuki tahun ketiga di Gaza adalah “hasil dari keputusan-keputusan yang menentang kemanusiaan paling dasar.”

Dua tahun penuh kecaman berlalu, tetapi PBB gagal menghentikan genosida. Pembantaian terus berjalan, kelaparan semakin parah, dan putusan mengikat Mahkamah Internasional (ICJ) diabaikan begitu saja.

“Impunity is the mother of chaos,” ujar Guterres—bahwa impunitas melahirkan kekacauan.

Ia seakan mengakui, kata-kata semata tak lagi cukup. Gaza telah menelanjangi kelumpuhan PBB: lembaga itu gagal menegakkan piagamnya sendiri.

Tanpa penegakan, tanpa reformasi, tanpa keberanian, PBB berdiri sebagai pihak yang ikut berperan dalam penderitaan yang seharusnya dicegah sejak awal.

Nada itu diperkuat pemimpin dari Selatan Global. Presiden Brasil Luiz Inacio Lula da Silva mengecam genosida yang masih berlangsung.

Ia menegaskan bahwa pembantaian ini tak mungkin terjadi tanpa keterlibatan mereka yang bisa mencegahnya.

Ucapannya tidak hanya menuding Israel, tetapi juga menyoroti sistem internasional yang selama ini membiarkan kejahatan itu terus berlangsung.

Pernyataan Lula mencerminkan sentimen yang semakin kuat: diam dan netral dalam menghadapi ketidakadilan sama saja dengan ikut berkomplot.

Pidato membakar Erdogan: Titik terendah kemanusiaan

Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan, menyampaikan pidato yang mungkin paling membakar di antara para pemimpin dunia.

Sambil mengangkat gambar anak-anak Palestina yang kurus kering akibat kelaparan, ia menyebut genosida di Gaza sebagai “titik terendah peradaban manusia.”

Pilihan katanya tegas tanpa kompromi: genosida, pembantaian, kebiadaban. Bukan sekadar retorika, ucapannya adalah dakwaan.

Erdogan menuding negara Zionis menjalankan politik ekspansionis dengan kedok “Tanah yang Dijanjikan,” sebuah agenda yang tidak hanya mengancam perdamaian kawasan, tetapi juga menodai kesucian Yerusalem.

Ia memperingatkan, hal ini sekaligus meruntuhkan fondasi moral dari tatanan internasional.

Nada serupa datang dari Presiden Afrika Selatan, Cyril Ramaphosa. Dengan keteguhan yang terukur, ia menyatakan Israel sedang melakukan genosida di Gaza—sebuah tuduhan yang kini didukung oleh Komisi Penyelidikan PBB sendiri.

Namun, meski Afrika Selatan telah menggugat Israel di Mahkamah Internasional (ICJ), pembunuhan masih berlanjut, kelaparan kian dalam, dan akuntabilitas tak kunjung datang.

“Kita memiliki kewajiban untuk bertindak,” tegas Ramaphosa.

Ia menegaskan kembali hak bangsa Palestina untuk menentukan nasib sendiri sekaligus mengecam runtuhnya kredibilitas Dewan Keamanan.

“Kita tidak bisa, dan tidak seharusnya, menerima bahwa negara anggota PBB terus melanggar Piagam yang telah kita sepakati bersama, tanpa konsekuensi apa pun,” ujarnya.

Ucapan itu menggemakan sebuah kesepakatan moral yang makin meluas: Gaza telah menghancurkan ilusi kredibilitas PBB, dan tanpa penegakan hukum, keadilan hanya terus ditunda.

Raja Abdullah II dari Yordania menambahkan dimensi lain yang lebih menggetarkan. Ia memperingatkan bahwa serangan Israel terhadap Masjid Al-Aqsha akan “menyulut perang agama yang menjalar jauh melampaui kawasan, dan berpotensi memicu benturan besar yang tak akan mampu dihindari oleh bangsa mana pun.”

Ia juga mengecam penodaan situs-situs suci umat Islam dan Kristen di Yerusalem. Pidatonya menegaskan taruhan spiritual dari konflik ini, sekaligus bahaya ketika pembersihan etnis dan genosida dibungkus dengan klaim agama.

Sementara itu, Emir Qatar, Sheikh Tamim bin Hamad Al Thani, menuding Israel melakukan terorisme negara, terutama setelah serangan licik di Doha yang menargetkan pemimpin Hamas.

Ia menuding Israel bernegosiasi sambil merencanakan pembunuhan, sehingga melemahkan setiap upaya diplomatik untuk mengakhiri genosida.

Pidato itu menjadi tantangan langsung terhadap kredibilitas Israel sebagai mitra perundingan, sekaligus teguran keras bagi komunitas internasional yang selama ini menoleransi kemunafikan tersebut.

Dengan menarik paralel pada gerakan anti-apartheid, Sheikh Tamim menempatkan solidaritas global untuk Gaza sebagai sebuah pemberontakan moral melawan ketidakadilan sistemik.

Bahkan Presiden AS, Donald Trump—yang pemerintahannya dikenal sebagai sekutu terdekat Israel—turut menyerukan agar perang dihentikan “segera.”

Namun, pernyataannya kosong dari mekanisme nyata. Ia menyalahkan Hamas karena menolak tawaran gencatan senjata, sementara dukungannya yang tak tergoyahkan terhadap kampanye militer Israel justru memperparah genosida.

Kontradiksi antara menyerukan perdamaian tetapi sekaligus membiarkan perang terus berlangsung tak lagi meyakinkan.

Puncak dari rangkaian pidato itu adalah pertemuan tingkat tinggi yang digelar Trump bersama para pemimpin dari Turki, Qatar, Pakistan, Arab Saudi, Mesir, Yordania, Indonesia, dan Uni Emirat Arab.

Trump menyebutnya sebagai pertemuan “paling penting.” Namun, yang jauh lebih penting adalah bagaimana 57 negara Muslim dapat menggunakan pengaruh mereka untuk menekan AS, demi menghentikan genosida yang terus berlangsung.

Dewan keamanan dan “dunia lebih besar dari lima”

Sidang Majelis Umum kali ini berlangsung dengan kesadaran pahit bahwa PBB sedang berhadapan dengan krisis eksistensialnya sendiri.

Hak veto lima anggota tetap Dewan Keamanan telah menjelma tameng bagi impunitas.

Seruan Erdogan yang terkenal—“Dunia lebih besar dari lima”—bukan sekadar kritik atas konsentrasi kekuasaan, melainkan tantangan terhadap ketimpangan struktural yang mengakar di tubuh Dewan Keamanan.

Seruan itu sejatinya adalah tawaran pembaruan: membangun sebuah sistem di mana “kebenaranlah yang melahirkan kekuatan,” bukan sebaliknya “kekuatan yang memaksakan kebenaran.”

Jika PBB gagal menegakkan piagamnya sendiri di Gaza, maka kredibilitas hukum internasional, universalitas hak asasi manusia, serta janji multilateralisme, semua dipertaruhkan di titik ini.

Gaza bukan hanya tragedi kemanusiaan, tetapi uji lakmus bagi arsitektur moral dunia.

Semakin lama PBB menunda tindakan tegas, semakin besar risikonya berubah menjadi artefak dari era lampau—diingat bukan karena idealismenya, melainkan karena kegagalannya.

Krisis Gaza telah menyingkap batas-batas sekaligus standar ganda dari tatanan internasional yang ada.

Ia memperlihatkan jurang menganga antara cita-cita luhur ketika PBB didirikan dan kenyataan operasional yang dihadapi kini.

Ia menegaskan bahwa kecaman tanpa penegakan hukum hanyalah hampa, dan diplomasi tanpa keadilan justru berbahaya.

Seperti ditegaskan Erdogan, siapa pun yang “tak mengambil sikap melawan kebiadaban di Gaza berarti turut terlibat dalam kebiadaban itu sendiri.”

Diamnya para pemegang kuasa, ragu-ragunya para sekutu, serta lumpuhnya institusi-institusi global, tidak lagi dapat ditoleransi.

Gaza kini menjelma cermin, yang bukan hanya memantulkan penderitaan rakyatnya, tetapi juga kegagalan moral dunia.

Gaza telah menjadi panggung utama. Pertanyaannya kini bukan apakah dunia melihat Gaza—dunia jelas melihat.

Pertanyaannya adalah apakah dunia akan bertindak. Gambar anak-anak kelaparan, rumah sakit yang dibom, hingga balita yang diamputasi bukan lagi tersembunyi; semuanya tersiar langsung dan terpatri di hati nurani global.

Apabila PBB tidak mampu bangkit menjawab momen ini, seruan untuk reformasi akan mengeras menjadi tuntutan bagi tatanan dunia baru, tatanan yang tidak dibangun di atas keadilan selektif dan kelumpuhan prosedural.

Inilah titik belok sejarah. Visibilitas tanpa tindakan adalah pengkhianatan, pengakuan tanpa keadilan adalah keterlibatan.

Pertanyaan sekarang bukan lagi apakah PBB akan bersuara, melainkan apakah ia akan bertindak—dan apakah ia layak bertahan menghadapi ujian moral yang kini bernama Gaza.

Jika sidang-sidang ini tidak berbuah pada perlindungan, akuntabilitas, dan perdamaian, maka ia hanya akan menambah deretan ritual diplomatik yang penuh niat baik tetapi tanpa daya. Dan sejarah tidak akan memaafkan diam yang dikemas sebagai diplomasi.

*Khalid El-Awaisi adalah profesor madya dalam Studi Quds di Universitas Ilmu Sosial Ankara. Tulisan ini diambil dari situs Anadolu Agency dengan judul “The world is bigger than five: Will the UN survive the Gaza test?”.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular