Di sebuah ruang perawatan penyakit dalam di Rumah Sakit Hadassah Ein Kerem, Yerusalem Barat, Muhammad Hassan duduk menemani bibinya yang berusia lebih dari 90 tahun.
Perempuan sepuh itu baru saja mengalami serangan sakit lagi.
Pihak rumah sakit mensyaratkan agar pasien lanjut usia tersebut segera dipindahkan, baik ke pusat rehabilitasi lansia maupun ke rumah keluarga, dengan konsekuensi tanggung jawab sepenuhnya berada di pihak kerabat.
Namun, pilihan itu terasa bagai buah simalakama. Keluarga menolak membawa sang pasien ke pusat rehabilitasi di Yerusalem Barat.
Hassan pun ragu jika harus membawanya pulang, sebab kondisi bibinya menuntut perawatan medis berkesinambungan.
Kisah Hassan hanyalah satu dari ratusan cerita serupa di kalangan keluarga Palestina di Yerusalem.
Banyak keluarga enggan menitipkan orang tua mereka di pusat rehabilitasi, meskipun kebutuhan medis pasien sangat mendesak.
Alasannya, seluruh pusat perawatan tersebut berada di wilayah Barat kota dan dikelola otoritas Israel.
Sementara itu, kawasan Yerusalem Timur, yang mayoritas dihuni warga Palestina, nyaris tak memiliki layanan serupa.
Hanya ada satu unit kecil dengan 23 tempat tidur di Rumah Sakit Al-Mutala, yang sepanjang tahun selalu penuh pasien.
Antara kebutuhan dan kebimbangan
“Kami serba bingung dan tak berdaya,” kata Muhammad Hassan kepada Al Jazeera Net.
Di satu sisi, mereka tidak mampu menangani kondisi kesehatan bibi saya yang sangat kompleks.
Namun, di sisi lain, hati mereka juga tidak tega menitipkannya ke pusat perawatan lansia.
“Sebab, sebagian besar tenaga medis di sana tidak bisa berbahasa Arab, dan suasana akan asing baginya karena dikelilingi para lansia Yahudi,” katanya.
Kebingungan keluarga-keluarga seperti Hassan mendorong Rumah Sakit Augusta Victoria (Al-Mutala), yang terletak di Bukit Zaitun, Yerusalem, merencanakan pembangunan gedung baru dengan kapasitas 80 tempat tidur.
Fasilitas ini ditujukan khusus untuk memenuhi kebutuhan warga lansia Palestina yang tidak memiliki pilihan layanan memadai.
Sejak 2014, dokter asal Yerusalem, Ashraf al-Husseini, memimpin Unit Perawatan Keperawatan Lanjutan di rumah sakit tersebut.
Menurut dia, unit ini merupakan yang pertama di Palestina yang benar-benar berfokus pada pelayanan medis untuk kelompok usia lanjut, khususnya pasien dengan kondisi kesehatan yang sangat kompleks.
“Unit ini menerima pasien yang tidak lagi mampu melakukan aktivitas sehari-hari tanpa bantuan medis. Itu menjadi syarat utama. Selain itu, pasien dengan luka baring parah, pasien dengan masalah saluran pernapasan yang membutuhkan pembersihan dan penyedotan lendir secara intensif, pasien gagal ginjal yang harus menjalani cuci darah, maupun penderita kanker stadium lanjut yang memerlukan perawatan paliatif, semua dirawat di sini. Juga pasien dengan kondisi medis tidak stabil,” ujar al-Husseini.
Layanan seperti itu, lanjut dia, tidak tersedia di panti-panti lansia biasa. Dibutuhkan tenaga dokter, perawat, serta terapis dari berbagai bidang agar pasien bisa mendapat perawatan yang layak.
Namun, kapasitas unit ini sangat terbatas. Semua tempat tidur selalu terisi penuh.
“Sering kali, kami terpaksa menampung pasien tambahan di ruang rawat lain, dan ini jelas mengganggu ritme kerja tim medis,” tutur al-Husseini.
Rencana perluasan layanan
Direktur Eksekutif Rumah Sakit Augusta Victoria sekaligus Kepala Departemen Terapi Radiasi Onkologi, Fadi al-Atrash, menengok kembali perjalanan panjang unit perawatan lansia di rumah sakit itu.
Unit tersebut pertama kali berdiri pada 1998 dengan hanya 13 tempat tidur. Kini kapasitasnya meningkat menjadi 23, bahkan sesekali ditambah hingga 26 tempat tidur di ruang lain untuk menampung lonjakan pasien.
Menurut al-Atrash, layanan di Augusta Victoria berbeda dengan panti-panti lansia di Yerusalem Timur.
“Perawatan keperawatan intensif di sini bukan sekadar perawatan rutin. Pasien yang kami tangani adalah mereka yang membutuhkan dukungan medis besar, baik terkait gizi, mobilitas, cuci darah, maupun layanan khusus lainnya,” ujarnya.
Keunggulan lain, tutur al-Atrash, adalah bahasa dan lingkungan. Seluruh tenaga medis berbicara bahasa Arab, sama dengan pasien yang mereka rawat.
“Ini memberi rasa aman dan nyaman. Lebih dari itu, lingkungan rumah sakit dekat dengan rumah dan keluarga pasien. Kehangatan emosional, perasaan dihormati, dan perlakuan bermartabat, semuanya merupakan bagian penting dari proses penyembuhan,” katanya.
Seiring peringatan Hari Internasional Lansia pada 1 Oktober, al-Atrash menyampaikan harapannya agar rencana pembangunan pusat baru perawatan dan rehabilitasi lansia dapat segera terwujud.
Proyek itu telah memiliki izin resmi dan rencana teknis, namun hingga kini terkendala dana. Biaya yang dibutuhkan diperkirakan mencapai 45 juta dollar AS.
“Pusat ini kelak akan melengkapi layanan yang sudah ada, dengan fasilitas lebih luas dan lebih lengkap. Kami percaya perluasan ini sangat penting agar para lansia tetap bisa dirawat di Yerusalem, di tengah keluarga dan komunitas mereka sendiri,” tutur al-Atrash.
Hari internasional lansia
Majelis Umum PBB pada 1990 menetapkan tanggal 1 Oktober sebagai Hari Internasional Lansia.
Penetapan ini bertujuan menyoroti beragam tantangan yang dihadapi kelompok usia lanjut, sekaligus mendorong dukungan nyata bagi kehidupan mereka sehari-hari.
Dalam laman resminya, PBB menekankan bahwa perubahan demografis menjadikan isu lansia semakin mendesak. Populasi usia lanjut terus bertambah cepat, terutama di negara-negara berkembang.
Kebijakan yang memberi ruang pemberdayaan, menjamin akses adil terhadap layanan kesehatan dan perlindungan sosial, serta menghapus diskriminasi terhadap lansia dinilai krusial untuk mencapai pembangunan berkelanjutan di tengah fenomena menua-nya populasi dunia.
Hari Internasional Lansia tahun 2025 pun dipandang sebagai panggung bagi para warga lanjut usia untuk menyuarakan aspirasi, menegaskan hak-hak mereka, dan menuntut kebijakan yang menjamin martabat serta kesejahteraan mereka, sebagaimana ditegaskan PBB.