Thursday, October 2, 2025
HomeAnalisis dan OpiniOPINI - Rencana Trump untuk Gaza: Peluang menghentikan perang atau awal petaka?

OPINI – Rencana Trump untuk Gaza: Peluang menghentikan perang atau awal petaka?

Oleh: Oraib al-Rantawi*

Terlepas dari gaya Donald Trump yang kerap menonjolkan diri, membesar-besarkan capaian, dan mengemas segala sesuatu dalam retorika berlebihan, usulan terbaru mengenai Gaza tetap perlu ditempatkan dalam konteks yang melahirkannya.

Baru setelah itu, rencana tersebut bisa diuji di atas timbangan untung rugi bagi pihak-pihak yang telah lebih dari dua tahun terseret dalam perang pemusnahan, pengepungan, dan penghancuran.

Dalam kerangka itu pula, perlu dipikirkan apa yang semestinya dilakukan, khususnya oleh berbagai unsur dan kekuatan politik Palestina sendiri, sebelum menilai apakah rencana ini menawarkan peluang nyata untuk menghentikan perang atau justru membuka jalan menuju bencana baru.

Pertama: Konteks dan alasan yang melatarbelakangi

Rencana Trump untuk Gaza tidak mungkin lahir tanpa daya tahan luar biasa rakyat Gaza. Selama 2 tahun menghadapi perang yang disebut-sebut sebagai salah satu paling brutal di era modern, masyarakat Palestina di sana tetap bertahan di tanah mereka.

Lebih dari seperempat juta jiwa telah menjadi korban—gugur, luka, ditawan, atau hilang—namun perlawanan tidak kunjung menyerah. Mereka tetap berpegang pada janji untuk tidak tunduk dan terus melawan.

Barulah setelah itu, setelah Gaza mampu bertahan, diplomasi Arab maupun internasional menemukan ruang untuk menawarkan gagasan, proposal, dan rancangan solusi.

Karena itu, jika ada pihak yang patut diakui jasanya, maka mereka adalah warga Gaza sendiri dan barisan perlawanan yang menjaga agar pintu diplomasi tidak tertutup sejak awal.

Kenyataan ini sering tertutupi oleh hingar-bingar layar kaca. Di banyak kanal televisi, terlihat seolah-olah diplomasi yang “menciptakan terobosan” dan “menuliskan keajaiban.”

Padahal, bayangkan seandainya Gaza tumbang pada minggu-minggu pertama perang, dan bendera putih berkibar sebagaimana didamba-dambakan Netanyahu atau tokoh ultranasionalis Israel seperti Smotrich dan Ben Gvir.

Dunia akan menyaksikan pemandangan para pejuang Palestina menyerah tanpa daya, dengan tangan terangkat di atas kepala.

Sebaliknya, yang terjadi adalah perubahan besar pada lanskap internasional. Untuk pertama kalinya, Israel—bersama sekutu utamanya—mengalami isolasi dan penolakan global sedemikian rupa.

Netanyahu, yang dengan penuh kesombongan berambisi mengubah wajah Timur Tengah, justru mendapati Gaza yang mengubah wajah dunia.

Potret itu tergambar jelas saat ia berpidato di PBB di hadapan kursi-kursi kosong: sebuah simbol keterasingan, sekaligus tanda masuknya Israel ke fase strategis baru.

Citra “negara demokrasi” yang selama ini dipoles, runtuh, berganti tuduhan genosida, pembersihan etnis, dan apartheid.

Perubahan besar ini merembes hingga ke dalam negeri Amerika Serikat. Menjelang pemilu paruh waktu yang krusial, dinamika opini publik dan tekanan politik semakin terasa.

Faktor inilah yang tampaknya mendorong Trump mengambil langkah tidak terduga—sebuah inisiatif untuk menghentikan perang dan blokade Gaza—sekaligus mempertahankan klaim “kemenangan besar” dalam pemilu sebelumnya.

Konteks lain yang tak kalah penting ialah pertemuan Trump dengan para pemimpin dari delapan negara Arab dan Muslim berpengaruh. Pertemuan itu menjadi titik awal yang meletakkan rencana ini di jalurnya.

Untuk pertama kalinya, Trump mendengar nada berbeda dari yang biasanya ia dapat dari lingkaran dekatnya—sebagian besar pro-Israel garis keras.

Kini, ia tahu ada kemungkinan mendapatkan mitra aktif bila ia bergerak di jalur penghentian pembantaian dan penghentian serangan atas Gaza.

Kesabarannya terhadap Netanyahu pun kian menipis. Serangkaian janji Netanyahu untuk mengakhiri perang dalam waktu singkat, membebaskan sandera, serta “menghancurkan Hamas hingga ke akar” tidak kunjung terbukti.

Yang terlihat justru kawasan Timur Tengah yang tetap berada di tepi bara api selama berbulan-bulan, tanpa kepastian apa pun—tidak bagi sandera, tidak pula bagi penyelesaian konflik.

Trump, yang memang bukan dikenal sebagai sosok berjiwa panjang, melihat momen ini sebagai kesempatan.

Ia pun bergerak, dan mendapatkan apa yang diinginkannya: peran utama dalam membuka jalur inisiatif baru.

Kedua: Menimbang untung dan rugi

Rencana yang terdiri atas 21 butir itu memuat ruang bagi masing-masing pihak untuk mengklaim kemenangan sekaligus menelan sejumlah kerugian.

Ia menurunkan ekspektasi tinggi dari kedua belah pihak. Namun, agar tidak terjebak dalam derasnya retorika Trump yang kerap membingungkan, perlu ditegaskan: inisiatif ini ditujukan khusus untuk Gaza, bukan untuk seluruh persoalan Palestina atau Timur Tengah.

Meski demikian, pintu menuju isu-isu yang lebih luas tetap terbuka—bahkan dengan celah yang suatu saat bisa membuat kesepakatan ini mundur di tengah jalan.

Bagi Hamas, fakta bahwa Palestina kembali berada di pusat agenda global merupakan capaian tersendiri. Setelah “Thaufan Al-Aqsha” mengubah peta politik internasional, Gaza kini berdiri di jalur keluar dari kepungan selama dua dekade.

Yang tak kalah penting, gagasan “pemindahan massal” atau pengusiran penduduk Gaza terkubur.

Inisiatif Trump justru menegaskan bahwa warga Gaza harus tetap di tanah mereka dan berkontribusi pada pembangunan kembali. Sebuah ironi besar, mengingat sebelumnya sayap kanan Israel membayangkan Gaza dijadikan “halaman belakang” kawasan metropolitan Tel Aviv.

Di sini, patut pula dicatat peran krusial Mesir dan Yordania. Kedua negara itu dengan tegas menutup pintu terhadap rencana pengusiran massal. Tanpa posisi seperti itu, mungkin peta hari ini akan sangat berbeda.

Hamas pun bisa mengklaim bahwa sejumlah tuntutan utamanya tercakup di dalam rencana ini: penghentian perang segera, penarikan pasukan Israel secara penuh meski bertahap, serta pengelolaan Gaza oleh otoritas Palestina.

Di samping itu, pertukaran tawanan—baik hidup maupun jasad para korban—akan terlaksana. Seperti halnya Israel peduli pada jasad tentaranya, rakyat Palestina pun berhak menguburkan syuhada mereka di tanah airnya.

Lebih jauh, Hamas juga bisa mengaitkan rencana ini dengan “tsunami pengakuan internasional” atas Palestina sebagai negara.

Tekanan global yang lahir pasca-Topan Al-Aqsa membuat Trump sendiri, secara terang-terangan, berjanji tidak akan mengizinkan Israel mencaplok Tepi Barat. Hal yang dua tahun lalu tampak mustahil, kini menjadi kenyataan politik.

Namun, Hamas sadar betul bahwa menolak rencana ini akan sangat berisiko. Tali inisiatif yang kini mencekik Netanyahu, bisa berbalik mencekik Hamas.

Dan kali ini, mereka tak hanya akan berhadapan dengan Israel atau Amerika Serikat (AS), tetapi juga dengan negara-negara utama di dunia Arab dan Islam.

Yang paling berat adalah isu senjata. Masa senjata Hamas di Gaza tampaknya mendekati ujungnya. Rencana ini menekankan penarikan bertahap pasukan Israel selaras dengan proses perlucutan senjata.

Bahkan, bantuan kemanusiaan, rekonstruksi, dan pencabutan blokade semuanya dikaitkan dengan agenda perlucutan itu. Persoalannya, siapa yang menentukan batas antara senjata berat dan ringan? Bagaimana memisahkan pejuang dari warga sipil, sementara Hamas menyatu dengan masyarakatnya? Pengalaman di Tepi Barat setelah Intifada Kedua menunjukkan betapa rumitnya proses ini.

Di sisi lain, Netanyahu pun bisa menepuk dada. Ia bisa mengklaim bahwa dalam 72 jam pertama implementasi rencana, Israel akan mendapatkan kembali semua sandera—hidup maupun mati.

Ia juga bisa menyebut Gaza tak lagi menjadi ancaman, senjata Hamas dilucuti, dan kekuasaan Hamas di Gaza berakhir. Ia bisa menampilkan diri sebagai pemimpin yang memenuhi syarat-syarat kabinet perangnya.

Namun, semua itu dibarengi dengan kepahitan. Netanyahu dan timnya sebelumnya berjanji tak ada kompromi: kontrol keamanan penuh, pendudukan, pembangunan permukiman baru, bahkan pemindahan paksa.

Kini, semua janji itu kandas. Ia bahkan harus menelan pil pahit ketika menyampaikan kepada lobi permukiman Yahudi bahwa waktu untuk aneksasi Tepi Barat belum tiba.

Kenyataan menunjukkan, Timur Tengah tetap bergolak. Justru kebencian terhadap Israel makin mendalam, terutama karena wajah fasisme politiknya kian terbuka. Proyek “Israel Raya” kembali tersandung batu besar bernama Palestina.

Sementara itu, Trump menabuh genderang “perdamaian abadi” dengan nuansa propaganda, tetapi tanpa kebijaksanaan dan tanpa pijakan realitas.

Ketiga: Lalu, ke mana arah semua ini?

Jika inisiatif Trump benar-benar dijalankan, dan setelah perang mereda, ia akan melahirkan dinamika baru—baik di Palestina maupun Israel—yang sulit diprediksi sepenuhnya dari sekarang. Namun, ada sejumlah pertanyaan pokok yang layak dicatat.

Di pihak Israel, persoalan strategis tidak berhenti pada masa depan politik dan pribadi Benjamin Netanyahu. Yang lebih penting adalah nasib seluruh spektrum politik kanan radikal, setelah tabir perang tersingkap beserta kerugian dan—jika ada—keuntungan yang ditinggalkannya.

Bagaimana benturan ideologi dan arus politik akan berkembang dalam masyarakat Israel, itulah pertanyaan kunci.

Janji keamanan dan kemakmuran yang dijajakan selama ini, apakah masih memiliki daya beli politik di tengah gelombang isolasi, boikot, dan penolakan global? Klaim lama—seperti “tentara yang tak terkalahkan”, “entitas yang berbagi nilai-nilai Barat”, atau “oase demokrasi di padang tandus Timur Tengah”—satu per satu runtuh.

Pertanyaan berikutnya: bagaimana Israel akan menanggapi “suara dunia” setelah media, diplomat, dan peneliti diberi akses menyeluruh untuk menyingkap apa yang terjadi di Gaza sepanjang dua tahun terakhir? Dapatkah Israel bertahan dari gelombang kecaman internasional yang, memang layak disebut, sebagai banjir besar?

Di pihak Palestina, Hamas tidak akan kehilangan seluruh modal politiknya meski berubah menjadi partai politik. Organisasi ini memiliki warisan, pengalaman, dan capaian yang memungkinkan transisi melewati “persimpangan senjata”.

Sebab, perlawanan bukanlah satu bentuk tunggal. Spektrum cara dan instrumen perjuangan begitu luas, dan pilihan perlawanan bersenjata tetaplah hak sah menurut hukum internasional maupun keyakinan moral.

Tidak ada larangan untuk menggunakannya dalam kadar yang masih dapat ditanggung rakyat Palestina dan pendukung perlawanan.

Pada akhirnya, perang dengan Israel adalah perang lintas generasi—ilusi belaka jika ada yang berpikir bahwa hak-hak Palestina sudah berada dalam jangkauan tangan, baik sebelum maupun sesudah rencana Trump.

Adapun Otoritas Palestina, yang sejak lama menunggu momentum untuk “mewarisi Gaza”, justru menemui jalan buntu. Pasca-perang, posisinya tidak jauh berbeda dengan Hamas, meski telah menerima dukungan dari sebagian dunia Arab dan internasional.

Jalan panjang masih menanti—reformasi, atau lebih tepatnya, penyesuaian terhadap “buku syarat” AS dan Israel.

Jika suara kami sempat terdengar di Ramallah, tentu nasihatnya sederhana: bangunlah agenda reformasi berdasarkan kepentingan rakyat Palestina sendiri, bukan menurut daftar tuntutan Netanyahu dan Trump.

Celakanya, justru dari Otoritas itu kini terdengar rencana “program reformasi”—seolah lembaga itu baru lahir kemarin. Apa yang dikerjakan sepanjang dua dekade terakhir?

Ironis pula ketika otoritas yang menua justru berbicara soal “pembaharuan generasi muda”. Bukankah selama ini merekalah yang menutup jalan bagi generasi muda Palestina?

Otoritas Palestina kini berada di persimpangan tajam: melakukan reformasi dan rekonsiliasi dengan rakyatnya, atau terus tunduk pada tekanan luar negeri yang sejatinya tidak peduli pada reformasi, kecuali sebatas pemenuhan syarat Netanyahu dan Trump.

Keempat: kesimpulan

Kereta solusi untuk Gaza sudah berangkat, dan besar kemungkinan akan melaju lebih cepat dalam hari-hari mendatang.

Ia akan mencapai stasiun penghentian perang, pencabutan blokade, serta masuknya bantuan kemanusiaan. Barangkali perjalanan itu pun berlanjut hingga tahap rekonstruksi.

Kita pernah menyaksikan sesuatu yang serupa, meski dengan perbedaan besar dalam skala kerusakan dan jumlah pengorbanan. Setelah Intifada Kedua dan pembunuhan Yasser Arafat, di bawah tangan Tony Blair yang kala itu menjadi utusan kuartet internasional, dunia diperlihatkan “peta jalan” menuju sebuah negara Palestina merdeka. Selama tujuh tahun penuh, Blair menjadi wajah diplomasi itu. Thomas Friedman bahkan pernah menulis tentang “Fayyadisme”—ide membangun negara Palestina “di bawah kulit pendudukan”.

Semua itu akhirnya runtuh, berhenti di tengah jalan, dan kereta tak pernah sampai ke tujuan terakhir: sebuah negara Palestina berdaulat di perbatasan 1967 dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kota.

Kereta itu tergelincir oleh hantaman sayap kanan fasis Israel, serta oleh dukungan total AS terhadap visi dan narasi Israel. Kini, Tepi Barat kembali berada dalam genggaman pendudukan, termasuk Ramallah, ibu kota sementara Otoritas Palestina.

Sementara itu, ekspansi permukiman terus menggerogoti setiap jengkal tanah, dan kelompok-kelompok pemukim bersenjata bertindak brutal, menebar pembunuhan, perusakan, dan kekacauan di wilayah Palestina.

Ada yang berpendapat, situasi kali ini berbeda. “Banjir besar” perang Gaza telah memunculkan tekad internasional yang lebih kuat untuk menyentuh akar persoalan—sesuatu yang tak pernah terjadi sebelumnya.

Itu bisa jadi salah satu skenario. Namun, Palestina, didukung sebagian dunia Arab, umat Islam, dan kalangan merdeka di berbagai belahan dunia, tetap perlu menyiapkan diri menghadapi skenario terburuk: bahwa proses ini bisa terhenti seketika saat menyentuh pertanyaan-pertanyaan paling mendasar.

Yaitu, status pendudukan, nasib permukiman, masa depan Yerusalem dan situs-situs sucinya, hak kembali para pengungsi, serta seluruh isu fundamental lainnya.

Karena itu, perlu selalu diingat: inisiatif Trump sesungguhnya hanya menyasar Gaza, bukan seluruh persoalan Timur Tengah, apalagi kompleksitas inti persoalan Palestina. Semua itu adalah kisah lain yang jauh lebih pelik.

*Oraib al-Rantawi adalah penulis dan analis politik Yordania. Pendiri dan Direktur Jenderal Pusat Studi Politik Al-Quds. Tulisan ini diambil dari situs Aljazeera.net dengan judul “Khuṭṭah Trāmb Lighazah: Furṣhah Liwaqfi al-Ḥarbi Am Kāritsah?”.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Terpopuler