Monday, October 6, 2025
HomeAnalisis dan OpiniOPINI: Bagaimana Hamas melakukan manuver yang mengejutkan?

OPINI: Bagaimana Hamas melakukan manuver yang mengejutkan?

Oleh: Kemal Öztürk*

Ketika Donald Trump dan Benjamin Netanyahu berdiri berdampingan di depan kamera di Washington, mengumumkan apa yang tampak seperti “akta kematian bagi Gaza”, suasana duka dan kecewa menyelimuti banyak hati.

Bagi sebagian besar pengamat, momen itu menandai penutupan bab terakhir perjuangan panjang Palestina. Gaza seolah dibiarkan menghadapi takdirnya sendiri.

Situasi menjadi semakin getir ketika Netanyahu kemudian merilis rekaman video bernada kemenangan—pameran sinis seolah ia telah menaklukkan segalanya. Bagi siapa pun yang masih memiliki nurani, adegan itu membangkitkan amarah.

Tidak lama berselang, Trump melontarkan ancaman yang menegaskan watak kekuasaan yang timpang.

“Jika Hamas menolak menandatangani perjanjian ini, kami akan membuat mereka merasakan neraka,” katanya.

Kata-kata itu mengguncang banyak pihak. Para pendukung Palestina di berbagai belahan dunia diliputi rasa murung dan tak berdaya.

Malam itu, banyak yang tak bisa memejamkan mata—dihantui perasaan bahwa segalanya telah berakhir.

Pertemuan di Doha

Namun di tengah suasana muram itu, sebuah pertemuan penting digelar di Doha. Di ibu kota Qatar itu, para pejabat tinggi dari Turki, Mesir, dan Qatar berkumpul membahas jalan keluar dari tekanan yang kian menjerat Hamas.

Tujuannya jelas: mencari cara agar gerakan itu tidak dipaksa memilih antara dua jalan buntu—kehancuran total atau penyerahan diri.

Hadir dalam pertemuan tersebut Kepala Intelijen Turki Ibrahim Kalin, Kepala Intelijen Mesir, serta sejumlah pejabat senior Qatar.

Di bawah pengamanan ketat, diskusi berlangsung intens. Pada saat yang sama, Hamas juga mengadakan pertemuan internal dengan faksi-faksi perlawanan di Gaza.

Topiknya satu: bagaimana memecah kepungan diplomatik dan politik yang mengancam mereka, bagaimana menciptakan ruang bernapas—atau setidaknya, menunda kehancuran yang direncanakan.

Keteguhan Hamas dan kecerdikan diplomasi

Hamas menunjukkan keteguhan yang luar biasa. Sekalipun dua tahun terakhir menguras sumber daya mereka akibat perang berkepanjangan melawan salah satu militer terkuat di dunia, semangat perlawanan tidak padam. Di sinilah kecerdikan politik mengambil peran.

Dari pertemuan di Doha, lahir strategi yang brilian. Hamas tidak akan menolak sepenuhnya tawaran Trump, tetapi juga tidak akan menerimanya begitu saja.

Pendekatan ini menutup ruang bagi Israel untuk mengisolasi Hamas secara politik dan melabelinya sebagai pihak yang menolak perdamaian.

Dengan langkah itu, Gaza diselamatkan dari jurang kehancuran total. Wilayah itu memperoleh sedikit waktu dan ruang untuk bernafas.

Cukup untuk mengatur ulang strategi, menyembuhkan luka, dan mempersiapkan diri menghadapi babak berikutnya. Itulah inti dari manuver tersebut.

Pergeseran pandangan tentang sandera

Dalam perundingan, muncul satu kesadaran baru: isu sandera Israel yang selama ini dianggap kartu tawar utama, kini berubah menjadi beban taktis.

Keberadaan para sandera tidak menghentikan Israel dari serangan udara maupun invasi darat.

Netanyahu, tampaknya, telah sejak awal melepaskan tanggung jawab atas mereka, menjadikan isu itu sekadar pembenaran untuk melanjutkan agresi.

Trump dan para pemimpin Eropa terus menyoroti sandera itu dalam setiap pernyataan, menjadikannya pusat narasi politik dan media.

Namun para perunding kemudian bertanya: Apa sebenarnya yang akan hilang bagi Hamas bila para sandera itu dibebaskan?

Pertanyaan itu menjadi titik balik. Kesimpulan yang lahir cukup berani: menahan para sandera tidak lagi membawa keuntungan strategis, bahkan sebaliknya, menjadi beban moral dan politik.

Dengan membebaskan mereka, Hamas justru mematahkan dalih utama Israel untuk terus menyerang, dan sekaligus menampilkan diri bukan sebagai pihak yang menolak perdamaian.

Namun, kecerdikan sesungguhnya terletak pada langkah berikutnya: Hamas tidak menyetujui seluruh isi rencana Trump, melainkan menegaskan bahwa butir-butir lainnya masih perlu dibahas.

Dengan begitu, keputusan itu bukan tanda menyerah, melainkan manuver taktis yang penuh perhitungan.

Pertemuan-pertamuan kritis dan manuver diplomatik

Sesaat setelah kesepakatan atas sejumlah pokok utama dicapai, sebuah pernyataan disusun dengan ketelitian tinggi.

Setiap kata dipilih dengan cermat, bahkan sampai pada tingkat memperhitungkan ego politik Donald Trump.

Dari situ, komunikasi diplomatik segera bergerak cepat. Menteri Luar Negeri Turki Hakan Fidan memainkan peran penting, disusul oleh panggilan telepon dari Kepala Intelijen Turki Ibrahim Kalin kepada utusan khusus Trump, Witkoff, untuk memaparkan isi pernyataan tersebut.

Keduanya sepakat bahwa respons Hamas merupakan peluang langka untuk mengakhiri perang.

Namun tantangan sebenarnya baru dimulai: bagaimana meyakinkan Trump agar menerima usulan itu, dengan melewati tekanan kuat dari lobi Israel yang menguasai Gedung Putih serta dua kementerian kunci—Pertahanan dan Luar Negeri.

Emir Qatar, Sheikh Tamim bin Hamad Al Thani, kemudian menelepon Trump, menyampaikan bahwa hasil perundingan di Doha adalah jalan keluar terbaik yang mungkin dicapai.

Sehari kemudian, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan juga berbicara langsung dengan Trump, menegaskan bahwa usulan itu merupakan solusi paling realistis.

Trump memahami bahwa isu sandera Israel bisa menjadi keuntungan politik besar baginya. Maka ia pun menyetujui rancangan tersebut.

Upaya mempengaruhi Trump

Ketika Hamas mengumumkan tawaran yang telah disusunnya, dunia tercengang. Pernyataan itu disambut luas, jauh melampaui perkiraan semula.

Netanyahu meyakini Trump akan menolaknya, dan ia bahkan menyatakan hal itu secara terbuka di lingkaran dalamnya.

Namun kejutan datang beberapa jam kemudian. Melalui akun media sosialnya, Trump menulis:

“Hamas siap untuk perdamaian permanen, dan para sandera akan dibebaskan. Israel harus segera menghentikan serangan udara.”

Gedung Putih segera mengumumkan bahwa Trump akan menyampaikan pidato resmi melalui video.

Sebuah foto yang memperlihatkan dirinya sedang merekam pesan itu beredar luas.

Namun video tersebut sempat tertunda. Utusan khususnya, Witkoff, memasuki ruangan dan bergabung dalam perdebatan internal.

Tak lama, menantunya Jared Kushner ikut bergabung, sementara Netanyahu mendesak agar bisa berbicara langsung dengan Trump lewat sambungan telepon.

Desas-desus pun menyebar bahwa Trump akan berubah pikiran. Tetapi berkat tekanan Witkoff, keputusan itu tidak berubah.

Beberapa jam kemudian, Trump mengunggah video singkat yang menyebut respons Hamas sebagai langkah positif.

Dengan itu, tembok isolasi politik yang membelenggu Hamas selama bertahun-tahun mulai retak.

Gaza, yang semula di ambang keputusasaan, bisa menarik napas lega. Sebaliknya, Israel justru terpojok dalam posisi defensif yang belum pernah dihadapinya sebelumnya.

Hamas di panggung politik

Tidak lama setelahnya, Trump dan Wakil Presiden J.D. Vance mempublikasikan teks lengkap pernyataan Hamas di akun resmi mereka.

Tindakan ini mengguncang pusat-pusat kekuasaan di Tel Aviv dan Washington. Untuk pertama kalinya, pihak yang selama ini dicap “teroris” diakui dan diajak berbicara sebagai aktor resmi dalam proses politik.

Secara diplomatik, itu ibarat “gol bunuh diri” bagi Israel. Lebih jauh lagi, perintah Trump agar serangan dihentikan segera menjadi sinyal kuat bagi Netanyahu untuk mundur selangkah.

Meski serangan udara Israel masih berlanjut ketika tulisan ini dibuat, nada resmi dalam pernyataan mereka mulai berubah.

Tidak ada lagi klaim kemenangan mutlak. Retorika perang bergeser menjadi penekanan pada “komitmen terhadap rencana Trump”.

Mengapa Trump setuju?

Media Israel segera meledak dengan kritik.

“Trump menjual Israel demi Hadiah Nobel Perdamaian,” tulis salah satu harian di Tel Aviv, lengkap dengan karikatur Trump berpakaian seperti pejuang Hamas.

Namun, di balik semua itu, Trump sejatinya telah mendapatkan apa yang diinginkannya: pembebasan sandera, tanpa memberi Netanyahu kemenangan militer.

Bagi dirinya, ini adalah kisah sukses besar—terutama menjelang musim politik di Amerika.

Di saat yang sama, dunia tengah menyaksikan gelombang protes global yang belum pernah terjadi sebelumnya, sebagaimana tergambar dalam aksi Armada Keteguhan (Freedom Flotilla). Citra AS di mata dunia terguncang.

Dukungan dari Qatar, Turki, Arab Saudi, Mesir, dan Yordania terhadap pernyataan Hamas menegaskan bahwa ada kesatuan sikap baru di dunia Arab dan Islam.

Bagi Washington, ini isyarat bahwa status quo tidak bisa dipertahankan lebih lama.

Di mata para perancang kebijakan Amerika, penerimaan Hamas terhadap rencana tersebut bukan ancaman, melainkan peluang—sebuah momentum yang bisa dimanfaatkan.

Trump pun segera bergerak, membayangkan peluang untuk dinominasikan sebagai penerima Hadiah Nobel Perdamaian pada 10 Oktober mendatang.

Kini, yang ditunggu hanyalah negara mana yang akan mengajukan pencalonannya secara resmi.

Bukan kemenangan, bukan kekalahan

Gaza memang belum mendapatkan sepotong roti atau sebutir peluru dari 57 negara Islam, apalagi dari dunia yang lebih luas.

Namun dari keterbatasan itu lahirlah salah satu bentuk perlawanan paling luar biasa yang pernah tercatat dalam sejarah modern.

Kondisi itulah yang mendorong Hamas untuk menarik napas sejenak, menata kembali strategi, dan memanfaatkan waktu yang diperoleh untuk menyusun langkah baru.

Dengan keputusan yang jernih, gerakan itu berhasil membalik citra dirinya di mata dunia dan merebut kembali inisiatif moral.

Apa yang terjadi bukanlah kemenangan dalam arti konvensional, tetapi juga jauh dari kekalahan.

Ini adalah awal dari babak baru—fase panjang dari perjuangan yang telah berumur lebih dari satu abad.

Langkah-langkah berikutnya akan dibangun di atas dasar ini: tanpa menyerahkan tanah, tanpa kehilangan martabat.

Palestina kini bukan sekadar sebuah wilayah yang dikepung, tetapi simbol global bagi perjuangan kebebasan. Dan pada akhirnya, kemenangan akan berpihak kepada mereka yang percaya padanya.

*Kemal Öztürk adalah seorang jurnalis Turki. Ia merupakan direktur berita, penulis, pembuat film dokumenter, dan Manajer Umum Anadolu Agency hingga 1 Desember 2014. Tulisan ini diambil dari situs Aljazeera.net dengan judul “Kaifa Qāmat Ḥamās Bihādzihi al-Muhāwarah al-Mudzhilah?”.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Terpopuler