Para aktivis Arab dan asing yang menjadi bagian dari Armada Keteguhan—inisiatif global untuk menembus blokade Gaza—sepakat bahwa mereka mengalami perlakuan buruk setelah ditangkap secara ilegal oleh militer Israel.
Banyak di antara mereka menggambarkan perlakuan tersebut sebagai bukti bahwa Israel merasa aman dari hukuman.
Muhammad Ali Muhyiddin, aktivis asal Tunisia yang menjadi nakhoda kapal Amsterdam, mengatakan bahwa ia dan rekan-rekannya diperlakukan dengan kasar dan dibiarkan kelaparan selama masa penahanan.
“Mereka memberi kami sepotong kecil roti di pagi hari, lalu satu potong lagi pada siang hari. Air yang kami minum berasal dari saluran pembuangan,” ujarnya kepada media Tunisia, setibanya di Bandara Tunis–Carthage pada Minggu malam (6/10).
Ia menuturkan, proses interogasi oleh tentara Israel berlangsung melelahkan dan panjang.
“Mereka tidak punya rasa kemanusiaan,” katanya.
Muhyiddin menambahkan, ia sempat dipukul ketika mengatakan kepada tentara Israel bahwa para aktivis akan terus datang dalam gelombang-gelombang berikutnya menuju Gaza.
Sementara itu, jurnalis Amerika Serikat, Abby Martin, menilai perlakuan kejam Israel terhadap para aktivis Armada Keteguhan mencerminkan budaya impunitas yang telah mengakar.
Dalam wawancara dengan kantor berita Anadolu, Martin menyebut bahwa penghinaan, olok-olok, dan tuduhan “teroris” yang diarahkan kepada para aktivis memperlihatkan “sifat sakit dan sadistis dari masyarakat yang tenggelam dalam kegilaan kekuasaan dan genosida.”
Ia menegaskan sulitnya menggambarkan kekejaman yang tengah berlangsung di Gaza.
“Kata-kata tidak cukup untuk menjelaskan kebrutalan dan kengerian yang kami saksikan,” ujarnya.
Martin menyebut dua tahun terakhir sebagai salah satu periode genosida paling brutal dalam sejarah modern.
Penyiksaan fisik dan psikologis
Di Spanyol, 21 warga negara yang menjadi bagian dari armada itu tiba di Bandara Madrid pada Minggu (6/10).
Mereka termasuk di antara 49 warga Spanyol yang ditahan Israel setelah penyergapan terhadap kapal bantuan menuju Gaza beberapa hari sebelumnya.
Setibanya di tanah air, para aktivis tersebut menuduh Israel melakukan penyiksaan fisik dan psikologis selama penahanan.
Rafael Borrego, salah satu peserta, mengatakan kepada wartawan bahwa selama berhari-hari mereka mengalami kekerasan fisik dan tekanan psikologis.
“Kami dipukul, diseret di tanah, mata kami ditutup, dan tangan serta kaki kami diborgol,” ungkapnya.
Sebuah kelompok yang mewakili para aktivis Armada Keteguhan menyatakan dalam pernyataan resmi bahwa para peserta mengecam kondisi penahanan yang tidak manusiawi serta perlakuan yang merendahkan martabat manusia yang mereka alami sejak ditangkap.
Dari kapal Conscience (Al-Dhamir), salah satu kapal armada yang masih berlayar, aktivis asal Kanada, Devonie Ellis, menegaskan bahwa perjuangan mereka tidak akan berhenti.
“Kami akan terus berlayar sampai genosida yang dilakukan Israel terhadap rakyat Gaza benar-benar berakhir,” katanya kepada Anadolu.
Ellis menjelaskan bahwa nama kapal Conscience dipilih sebagai penghormatan bagi para tenaga medis dan jurnalis Palestina yang menjadi korban serangan Israel.
“Mereka adalah suara hati nurani dunia yang berlayar untuk menembus blokade dan menghentikan kebiadaban,” ujarnya.