Wednesday, October 8, 2025
HomeBeritaSetelah 2 tahun Taufan Al-Aqsha, Gaza mengubah dunia

Setelah 2 tahun Taufan Al-Aqsha, Gaza mengubah dunia

Tak pernah terlintas di benak banyak orang bahwa apa yang mereka saksikan pada pagi 7 Oktober 2023 — ketika para pejuang dari Brigade Izzuddin al-Qassam, sayap militer Hamas, menerobos permukiman di sekitar Gaza — akan membuka lembaran baru, bukan hanya bagi Palestina atau dunia Arab, melainkan juga bagi tatanan global seluruhnya.

Seperti pernah dikatakan oleh almarhum Yahya Sinwar, mantan kepala biro politik Hamas, gerakan itu akan memaksa dunia berhadapan langsung dengan Israel untuk menuntut hak-hak rakyat Palestina.

Untuk pertama kalinya sejak pendudukan Palestina pada 1948, Israel kini dituduh secara terbuka melakukan kejahatan perang dan genosida.

Para pejabat dan tentaranya tak lagi hanya dikejar oleh kemarahan rakyat Palestina atau kelompok hak asasi manusia, tetapi juga oleh lembaga resmi dan tokoh-tokoh internasional.

Perubahan ini menghantam jantung narasi yang selama puluhan tahun menjadi sandaran Israel: bahwa segala tindakan brutal dapat dibenarkan atas nama “hak membela diri”.

Dunia mulai melihat bahwa di balik retorika itu, ada kehancuran dan penderitaan yang tak terperi.

Gaza dan kembalinya isu Palestina

Sebelum 7 Oktober, isu Palestina perlahan tenggelam dari panggung dunia. Gelombang normalisasi hubungan antara beberapa negara Arab dengan Israel seolah menandai berakhirnya satu era perjuangan.

Wacana yang mengemuka kala itu adalah “manfaat ekonomi” dan “perdamaian baru” di kawasan Timur Tengah.

Namun, seperti ditulis jurnalis kiri Israel, Gideon Levy, di Haaretz: “Gaza telah menjadi Hiroshima, tetapi rohnya masih hidup.

Isu Palestina sempat lenyap sepenuhnya dari agenda internasional, dan orang-orang Palestina menjadi seperti ‘Indian’ yang terpinggirkan di tanah mereka sendiri.

Lalu perang ini datang, dan menempatkan mereka kembali di puncak perhatian dunia. Dunia mencintai mereka dan bersimpati kepada penderitaan mereka.”

Dampak “Thaufan Al-Aqsha” benar-benar terasa. Gelombang pengakuan terhadap negara Palestina bermunculan satu demi satu, menandai pergeseran sikap global.

Pada Mei 2024, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa dengan suara mayoritas — 143 dari 193 negara anggota — mendukung rekomendasi agar Palestina memperoleh keanggotaan penuh di PBB.

Tak lama berselang, Norwegia, Irlandia, dan Spanyol secara resmi mengakui negara Palestina, disusul Slovenia sebulan kemudian. Jumlah negara yang memberikan pengakuan pun naik menjadi 148.

Dan pada bulan lalu, gelombang dukungan semakin meluas: Inggris, Prancis, Kanada, Australia, dan Portugal turut mengumumkan pengakuan resmi terhadap negara Palestina.

Dengan demikian, menurut Kementerian Luar Negeri Palestina, kini sudah 159 negara anggota PBB yang mengakui kedaulatan Palestina — angka tertinggi sejak berdirinya negara itu secara de facto.

Keprimtifan yang mengalahkan teknologi

“Kekalahan yang diderita Israel pada 7 Oktober adalah yang paling pahit, paling menyakitkan, dan paling memalukan dalam sejarah kami. Bahkan dalam mimpi buruk terburuk kami, kami tak pernah membayangkan sesuatu seperti itu bisa terjadi,” begitulah pengakuan jurnalis senior Ben Caspit di harian Maariv menggambarkan apa yang dialami Israel dua tahun silam.

Pengakuan seperti itu tidak datang dari ruang kosong. Serangan Thaufan Al-Aqsha membongkar seluruh kegagalan, kesombongan, dan ilusi yang telah menumpuk di tubuh militer dan intelijen Israel selama bertahun-tahun.

Hal yang diakui pula oleh mantan Kepala Staf Angkatan Bersenjata, Aviv Kochavi.

Menurut Kochavi, apa yang disebut sebagai “ketenangan relatif di selatan” ternyata hanyalah fatamorgana. Hamas, katanya, tidak pernah berhenti.

Dalam diam, mereka memperkuat diri, memperluas jaringan, dan membangun kekuatan yang jauh melampaui perkiraan siapa pun.

Brigadir (cadangan) Shmuel Zakai, mantan komandan Divisi Gaza, menggambarkan situasi itu dengan satu kalimat yang kini sering dikutip.

“Musuh terbesar teknologi adalah keprimtifan. Sebuah granat tangan, atau drone murah yang dibeli dari AliExpress, bisa menghancurkan seluruh sistem pertahanan canggih,” katanya.

Ia menambahkan bahwa teknologi mewah mereka runtuh di hadapan alat-alat sederhana dan murah.

Kekagetan Israel tidak berhenti di hari serangan itu. Saat tentara pendudukan melancarkan agresinya ke Jalur Gaza, mereka yakin kemenangan hanya soal waktu.

Hal itu enghancurkan kekuatan perlawanan, membebaskan sandera, lalu pulang dengan kemenangan cepat. Namun kenyataan berjalan sebaliknya.

Dua tahun berlalu, perang terpanjang dalam sejarah Israel itu justru menyingkap rapuhnya mitos yang selama ini dijunjung: mitos “tentara yang tak terkalahkan” dan “tentara paling bermoral di dunia.”

Kini, tentara itu kehabisan prajurit, kelelahan, dan kehilangan kepercayaan diri.

Menurut data resmi militer Israel, sejak 7 Oktober 2023, sedikitnya 1.152 perwira dan prajurit telah tewas — lebih dari 40 persen di antaranya berusia di bawah 21 tahun.

Bahkan, dua bulan lalu, Departemen Rehabilitasi Kementerian Pertahanan Israel mengakui tengah menangani sekitar 80 ribu serdadu, termasuk 26 ribu di antaranya yang menderita gangguan psikologis.

Media Israel juga melaporkan, antara 30 hingga 40 persen pasukan cadangan menolak kembali bertugas — alasan yang kerap muncul: kelelahan fisik dan mental akibat perang yang tak berkesudahan.

Kekurangan personel itu memaksa militer membuka pintu selebar-lebarnya. Sepanjang tahun lalu, sekitar 5.000 perempuan direkrut untuk tugas-tugas tempur, sementara kampanye baru digalakkan untuk menarik 700 relawan Yahudi dari luar negeri setiap tahun.

Namun bahkan dengan langkah itu, laporan situs Walla memperingatkan adanya “kekurangan serius” lebih dari 12.000 tentara aktif, dan sekitar 300 posisi komandan pasukan darat masih kosong.

Krisis juga merembet ke tingkat perwira. Banyak prajurit yang dinilai “berkompeten” enggan mengikuti pelatihan kepemimpinan militer.

Situasi ini, menurut Guy Khazot — kepala Divisi Kajian Operasional di Angkatan Darat Israel — telah melahirkan “krisis kepercayaan berbahaya” antara tingkat politik dan militer. Ia memperingatkan, “Kita tidak bisa terus berjalan seperti ini.”

Jurang perpecahan di Israel tampaknya tidak akan menyempit sekalipun perang usai dan militer berupaya memulihkan diri.

Banyak pengamat meyakini bahwa ketegangan sosial dan politik justru akan semakin dalam di hari-hari mendatang.

Seiring berlanjutnya perang terhadap Gaza, Israel berubah menjadi panggung kekacauan politik dan keamanan yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Menurut pengamat urusan Israel, Imad Abu Awad, kepada Al Jazeera, Perdana Menteri Benjamin Netanyahu — yang kini diburu Mahkamah Pidana Internasional — berusaha memperkuat cengkeramannya atas militer dengan menempatkan orang-orang dari kalangan nasionalis dan religius di posisi kunci, sekaligus menyingkirkan pihak-pihak lain.

Langkah ini, kata Abu Awad, adalah bagian dari upaya mengubah identitas institusi militer agar selaras dengan agenda sayap kanan.

Keretakan sosial mencapai tingkat yang mengkhawatirkan hingga Presiden Israel, Isaac Herzog, secara terbuka memperingatkan bahaya pecahnya perang saudara.

Dampak Thaufan Al-Aqsha juga mengguncang ekonomi Israel. Belanja militer melonjak hingga 65 persen pada tahun 2024, mencapai 46,5 miliar dolar AS — angka tertinggi dalam sejarah negara itu.

Biaya perang yang membengkak menekan anggaran di sektor-sektor lain, terutama bidang sosial yang selama ini menjadi daya tarik bagi para imigran Yahudi yang ingin menetap di “negara kesejahteraan” versi Israel.

Laporan ekonomi memperkirakan bahwa pada 2025, utang publik Israel akan melampaui 70 persen dari produk domestik bruto (PDB), sementara defisit anggaran diproyeksikan mencapai sekitar 16 persen PDB per tahun hingga akhir dekade ini.

Krisis itu juga memicu pelarian modal besar-besaran. Data yang dikutip media Israel menyebut sedikitnya 1.700 orang kaya meninggalkan negara itu sepanjang tahun lalu — sinyal nyata menurunnya kepercayaan terhadap stabilitas ekonomi dan politik Israel.

“Aku mengusirnya karena dia pembunuh anak-anak. Tentara Israel bukan pasukan pertahanan, tapi pasukan criminal.” kKalimat itu keluar dari mulut pemilik salon di Sydney, Australia, ketika ia menolak melayani seorang pelanggan yang ternyata warga Israel.

Sikap itu bukan peristiwa tunggal. Sejak Oktober 2023, Australia menyaksikan gelombang unjuk rasa setiap pekan menentang agresi Israel dan diamnya dunia terhadap penderitaan Gaza.

Pada Agustus 2025, Sydney bahkan menjadi tuan rumah demonstrasi terbesar dalam sejarahnya: sekitar 90 ribu orang turun ke jalan, membentang bendera Palestina di atas jembatan-jembatan ikonik kota — sebuah pemandangan yang memicu kemarahan pemerintah Israel.

Gelombang serupa mengguncang Asia. Dari Jepang hingga Indonesia, dari Korea Selatan hingga Pakistan, ribuan orang turun ke jalan menyuarakan dukungan bagi Gaza dan kemarahan terhadap pendudukan Israel.

Di sejumlah tempat, diplomat dan wisatawan Israel diusir dari restoran dan acara publik — simbol penolakan terhadap kebijakan genosida dan militerisasi Israel.

Namun, gema paling keras datang dari Eropa. Di sana, seruan “Free Palestine, from the river to the sea!” dan “Death to the IDF!” menggema di jalan-jalan kota besar.

Reporter Maariv, Avi Ashkenazi, menulis dengan nada getir:

“Hamas berhasil, setidaknya dalam satu hal: tak ada satu jalan pun di Eropa kini tanpa bendera Palestina. Di Italia, Spanyol, Inggris, Jerman, hingga Yunani — bendera itu berkibar di toko-toko, di alun-alun, di hati massa. Gerakan ini memberikan pelajaran nyata bagi diplomasi Israel yang lumpuh.”

Menurut Pusat Informasi Palestina-Eropa (EPAL), selama dua tahun terakhir telah tercatat lebih dari 45 ribu aksi dan kegiatan solidaritas di sekitar 800 kota di 25 negara Eropa — semua menentang genosida Israel di Gaza.

Kepala EPAL, Raed Salahat, menjelaskan kepada Al Jazeera Net bahwa mayoritas peserta aksi adalah warga Eropa sendiri, bukan diaspora Arab.

Tekanan publik yang masif ini, katanya, memengaruhi keputusan politik sejumlah negara Eropa untuk akhirnya mengakui negara Palestina.

Contoh paling mencolok terjadi pada 5 Oktober 2025 di Belanda, ketika sekitar 250 ribu orang memenuhi jalanan Amsterdam dalam unjuk rasa pro-Gaza terbesar di Eropa.

Menurut analis International Crisis Group Muin Rabbani, yang lahir dan besar di Belanda, negaranya kini telah berubah:

“Belanda dulu adalah salah satu negara Eropa yang paling pro-Israel. Kini, Israel telah kehilangan rakyat Belanda — kehilangan yang tak bisa diperbaiki. Pemerintah-pemerintah mendatang akan semakin sulit mempertahankan posisi pro-apartheid seperti sekarang. Kita hidup di dunia yang berbeda, dan dunia ini akan menjadi tempat yang lebih baik,” begitu katanya.

Aksi solidaritas tak hanya berlangsung di jalan, tetapi juga di laut. Berbagai kapal kembali berlayar untuk menembus blokade Gaza yang telah diberlakukan sejak 2018.

Pada Juli 2025, Armada Keteguhan (Fleet of Steadfastness) terbentuk — gabungan dari empat inisiatif utama: The Global Movement to Gaza, Freedom Flotilla Coalition, Maghreb Steadfastness Fleet, dan Nusantara Resilience Initiative dari Asia Timur.

Meskipun otoritas Israel mengklaim berhasil menghentikan kapal-kapal itu di perairan internasional, perlakuan keras yang dialami para aktivis justru memperbesar kemarahan publik terhadap Israel dan memperkuat dukungan terhadap rakyat Gaza.

Dampak moral gerakan ini bahkan terasa di dunia olahraga. Di stadion-stadion Eropa, suporter dan klub secara terbuka menyuarakan solidaritas dengan Palestina dan menuntut agar Israel dikeluarkan dari turnamen sepak bola Eropa dan internasional.

Tak heran bila Maariv menulis bahwa Perdana Menteri Netanyahu, dalam salah satu pernyataannya yang dianggap “paling menyerang”.

“Eropa kini sudah tak relevan. Mereka telah menyerah kepada terorisme Palestina,” ungkapnya.

Namun data menunjukkan sebaliknya. Survei yang dilakukan pada Maret 2025 di 24 negara menunjukkan bahwa di 20 negara di antaranya, lebih dari separuh responden memiliki pandangan negatif terhadap Israel. Di Australia, Jepang, Swedia, Turki, dan Indonesia, angka itu bahkan melampaui 75 persen.

Bahkan di Inggris — sekutu tradisional Tel Aviv — tingkat penolakan terhadap Israel meningkat dari 44 persen pada 2013 menjadi 61 persen pada 2025.

Amerika Serikat: Senjakala sebuah narasi

Di seberang Samudra Atlantik, dampak “Thaufan Al-Aqsha” terasa lebih besar dan mendalam.

Begitu para mahasiswa di berbagai universitas Amerika mulai bereaksi terhadap tragedi Gaza—melalui aksi solidaritas dan seruan untuk menghentikan genosida—mereka segera menjadi sasaran perburuan di kampus-kampus dan bahkan di Kongres.

Namun, arus simpati itu tak terbendung: ribuan warga turun ke jalan di berbagai negara bagian, menuntut dihentikannya pembantaian serta mendesak pemerintah agar menghentikan bantuan militer kepada Israel yang dituding ikut terlibat dalam kejahatan perang.

Belum sempat para politisi Washington meredam gelombang protes mahasiswa yang membela kebebasan rakyat Palestina, mereka dikejutkan oleh munculnya narasi tandingan terhadap versi resmi Israel.

Medan pertempurannya kali ini adalah media sosial, terutama platform TikTok. Dari sanalah lahir gelombang kesadaran baru yang mengguncang monopoli narasi pro-Israel di ruang publik Amerika.

Sebagai respons, taipan teknologi Larry Ellison—orang terkaya kedua di dunia—mengambil alih kepemilikan TikTok di wilayah Amerika Serikat, langkah yang dipandang sebagai upaya mengendalikan arus konten dan menghentikan kemerosotan citra Israel di mata publik.

Keterbukaan terhadap narasi yang berbeda itu tampak jelas dalam survei Pew Research Center pada Maret lalu.

Hasilnya mencengangkan: 53 persen warga Amerika menyatakan pandangan negatif terhadap Israel, dan angka itu meningkat hingga 60 persen di kalangan generasi muda.

Jelas terlihat adanya jurang yang kian lebar antara generasi muda Amerika dengan proyek pendudukan Israel.

Perubahan sikap itu tidak berhenti pada aksi protes atau diskusi akademik. Banyak warga Amerika kini semakin yakin bahwa lobi Israel memiliki pengaruh besar terhadap politik dan para politisi di Washington.

Sebuah topik yang kini menjadi bahan pembicaraan utama di kalangan publik, baik dari kubu Demokrat maupun Republik.

Sejumlah analis dan politisi independen bahkan mulai mempertanyakan kembali nilai strategis Israel bagi Amerika Serikat (AS).

Mereka bertanya: apa manfaat nyata yang diperoleh Washington dari hubungan istimewa dengan Tel Aviv? Pertanyaan-pertanyaan semacam ini memaksa Perdana Menteri Benjamin Netanyahu tampil di berbagai platform media Amerika untuk menegaskan kembali “pentingnya Israel bagi Amerika”.

Dalam salah satu wawancaranya dengan Ben Shapiro—tokoh media konservatif yang dikenal pro-Israel—Netanyahu berkata bahwa mereka berbagi dengan Amerika kepemilikan senjata ofensif paling maju di dunia.

“Senjata yang bahkan tak dimiliki kekuatan besar mana pun. Senjata itu dikembangkan di Israel dan digunakan bersama Amerika,” katanya.

Namun bahkan Hollywood—selama ini dikenal sebagai benteng pengaruh pro-Israel—tidak luput dari pergeseran ini.

Lebih dari 1.300 pekerja film, termasuk sejumlah bintang besar, menandatangani petisi yang berjanji untuk tidak bekerja sama dengan institusi perfilman Israel yang dianggap terlibat dalam pelanggaran terhadap rakyat Palestina.

Keputusan itu muncul di tengah meningkatnya serangan Israel di Gaza, dan menimbulkan kekhawatiran serius di kalangan elit politik Israel tentang hilangnya dukungan tradisional dari Amerika, terutama dari generasi muda yang tak lagi melihat Israel sebagai sekutu moral.

Menyadari perubahan arus itu, Netanyahu dalam kunjungannya ke Amerika bulan lalu memilih untuk bertemu dengan para influencer media sosial.

Ia mendorong mereka untuk menggunakan platform seperti TikTok dan X (Twitter) guna memperbaiki citra Israel dan menggalang dukungan publik di dunia maya.

Ia bahkan menyebut media sosial sebagai “senjata utama dalam medan pertempuran opini”, sembari menyebut Elon Musk—pemilik X—sebagai “teman, bukan musuh”.

Kabar yang bocor ke media menyebutkan bahwa Israel menawarkan bayaran hingga 7.000 dolar AS untuk setiap unggahan yang mendukung narasi resminya, sebuah kebijakan yang memicu gelombang sindiran di kalangan pengguna internet Amerika.

Selain itu, pemerintah Israel dilaporkan menggelontorkan 4,1 juta dolar kepada perusahaan konsultan Show Faith by Works.

Dana itu untuk kampanye propaganda yang menyasar kalangan gereja dan pendeta Kristen dengan pesan “pro-Israel dan anti-Palestina”, sebagaimana diungkapkan dalam dokumen hukum tentang agen asing yang ditinjau oleh Jewish News Agency.

Pertempuran narasi ini bahkan merembes ke dalam gerakan “MAGA”—basis pendukung fanatik Donald Trump.

Menurut laporan Wall Street Journal, aktivis sayap kanan Laura Loomer, sosok dekat dengan Trump, terlibat dalam perseteruan terbuka dengan tokoh-tokoh utama MAGA seperti komentator terkenal Tucker Carlson.

Loomer menuduh Carlson bersekongkol dengan Ikhwanul Muslimin setelah sang komentator mengkritik kebijakan Israel dan cara Netanyahu memperlakukan pejabat Amerika.

Beberapa pihak menuduh Loomer menerima dana dari Israel dan bekerja sama dengan analis intelijen Amerika-Israel, Yaakov Appelbaum, untuk menyerang figur-figur politik yang dianggap “terlalu simpatik terhadap Muslim”.

Ketegangan internal ini meningkat tajam setelah muncul teori konspirasi baru yang menuding keterlibatan Israel dalam pembunuhan aktivis konservatif Charlie Kirk—isu yang kini mengguncang stabilitas gerakan pro-Trump.

Situasi yang kian retak ini digambarkan secara gamblang oleh jurnalis Israel Ben-Dror Yemini.

“Gaza telah memenangkan pertempuran global melalui universitas, media, jaringan sosial, dan serikat pekerja. Hamas berhasil menyeret Israel ke jurang kehancuran ekonomi dan diplomatik,” ungkapnya.

Ia menambahkan bahwa tugas paling sulit bagi Israel ke depan adalah membangun kembali posisi diplomatiknya di dunia, sebuah proses panjang yang takkan mudah.

Perang “Thaufan Al-Aqsha” pada akhirnya menelanjangi wajah sejati Israel. Dari negara yang selama ini berupaya menampilkan diri sebagai kekuatan moderat dan pencinta perdamaian di kawasan, menjadi negara terasing yang pemimpin dan tentaranya kini diburu di berbagai penjuru dunia atas tuduhan kejahatan perang dan genosida.

Dampak dari badai ini tak akan berhenti seiring berakhirnya agresi di Gaza. Gelombang perubahan yang dipicu oleh tragedi itu akan terus mengguncang.

Bukan hanya masa depan Israel, tetapi juga tatanan moral dan politik global yang selama ini menopang keberadaannya.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Terpopuler