Kompleks Masjid Al-Aqsha kembali menjadi saksi pelanggaran mencolok terhadap kesuciannya.
Pada Rabu (8/10), yang bertepatan dengan hari kedua perayaan Yahudi Sukkot atau “Hari Pondok Daun”, ribuan pemukim Israel melakukan penyerbuan ke dalam area masjid, disertai tarian, nyanyian, dan ritual keagamaan yang dianggap menistakan tempat suci umat Islam.
Aksi tersebut, yang digambarkan media lokal sebagai “terbising dan paling provokatif dalam beberapa tahun terakhir”, memicu peringatan keras dari otoritas keagamaan dan politik Palestina.
Mereka menilai Israel tengah melangkah lebih jauh menuju upaya “pembagian temporal dan spasial” atas masjid yang menjadi kiblat pertama umat Islam itu.
Menurut catatan Dewan Wakaf Islam di Yerusalem, sebanyak 1.758 pemukim menyerbu Al-Aqsa dalam dua gelombang, melalui Gerbang Mughrabi, yang selama ini dikendalikan penuh oleh polisi Israel.
Di antara mereka tampak Menteri Keamanan Nasional Itamar Ben Gvir, yang telah menapakkan kakinya di Al-Aqsa untuk ke-9 kalinya sejak serangan besar-besaran Israel ke Gaza dua tahun lalu.
Ritual terbuka di tempat suci
Pelanggaran kali ini ditandai dengan ritual-ritual yang dilakukan secara terbuka.
Kelompok pemukim membentuk lingkaran besar di dalam kompleks, menari, bertepuk tangan, dan menyanyikan lagu-lagu keagamaan di depan musala Qibli, ruang utama masjid yang berkubah timah.
Sejumlah pemukim juga membawa “persembahan tanaman” yang menjadi bagian dari tradisi Sukkot—sesuatu yang belum pernah diizinkan sebelumnya—dan melaksanakan ritual itu di sisi timur kompleks.
Semua berlangsung di bawah perlindungan ketat aparat Israel, yang menutup jalur bagi penjaga masjid dan warga Muslim yang hendak beribadah.
Dalam pernyataan kepada media, Ben Gvir mengatakan bahwa kehadirannya di “Gunung Bait Suci” adalah bentuk doa untuk “kemenangan dalam perang, kehancuran Hamas, dan kembalinya para sandera.”
“Dua tahun setelah Operasi Thaufan Al-Aqsha, kemenangan ada di sini, di Gunung Bait Suci. Kami pemilik rumah ini,” imbuhnya.
Anggota parlemen Yitzhak Kroizer, rekan satu partai Ben Gvir dari “Kekuatan Yahudi”, juga ikut dalam penyerbuan itu, menyebut aksinya sebagai “pengibaran bendera kedaulatan Israel.”
Eskalasi sejak perang Gaza
Sejak perang di Gaza meletus pada Oktober 2023, kelompok ekstrem Yahudi yang dikenal sebagai “Gerakan Gunung Bait Suci” semakin leluasa beraktivitas di Al-Aqsha.
Polisi Israel, yang berada di bawah kendali Ben Gvir, memberi izin bagi enam rombongan pemukim memasuki kompleks setiap jamnya—artinya satu rombongan baru setiap 10 menit.
Langkah itu membuat ratusan pemukim dapat berada di dalam kompleks suci secara bersamaan, sementara penjaga masjid dilarang mendekat.
Rekaman video dari aktivis sayap kanan Arnon Segal menunjukkan seorang pemukim berhasil membawa persembahan tanaman ke area timur dan melaksanakan ritual di sana.
“Upaya pengambilalihan”
Dalam wawancara dengan Al Jazeera Net, Dr. Ikrima Sabri, khatib Masjid Al-Aqsha dan Ketua Dewan Islam Tertinggi Yerusalem, menyebut tindakan itu sebagai “serangan terang-terangan yang memanfaatkan momen perayaan keagamaan untuk menyerang masjid.”
Menurutnya, partisipasi para pejabat pemerintah Israel—termasuk menteri dan anggota Knesset—menunjukkan bahwa penyerbuan ini bukan aksi spontan kelompok ekstrem, tetapi kebijakan resmi yang mendorong pelanggaran terhadap kesucian Al-Aqsha.
“Yang mereka lakukan adalah pelecehan terhadap perasaan umat Islam di seluruh dunia. Masjid Al-Aqsa adalah milik umat Islam semata. Tak ada hak sedikit pun bagi mereka di dalamnya, dan semua tindakan itu batal secara hukum dan agama,” ujar Sabri.
Penyerbuan ini juga bertepatan dengan peringatan ke-35 Tragedi Al-Aqsha (8 Oktober 1990), ketika pasukan Israel menembak mati puluhan jamaah di halaman masjid.
Sabri menilai, sejak dua tahun terakhir, perubahan besar terjadi di bawah bayang-bayang perang Gaza: pembatasan ekstrem terhadap warga Yerusalem, penangkapan acak, dan pelarangan jamaah memasuki kompleks masjid demi memberi ruang bagi para pemukim.
Kecaman dan peringatan
Gerakan Hamas mengecam keras tindakan Ben Gvir dan para pemukim, menyebutnya sebagai langkah provokatif yang disengaja.
Selain itu juga bertepatan dengan peringatan pembantaian Al-Aqsha, cerminan dari mentalitas fasis yang menguasai pemerintah Israel.
Dalam pernyataannya, Hamas menegaskan bahwa penyerbuan ini bukan insiden biasa, melainkan pesan agresif.
Tujuannya untuk melegitimasi pembagian Al-Aqsha secara waktu dan ruang, serta memperkuat kendali pendudukan atas situs suci Islam.
Sementara itu, Kementerian Luar Negeri Yordania mengecam keras tindakan tersebut, menyebutnya sebagai “pelanggaran berat terhadap hukum internasional dan hukum kemanusiaan, serta tindakan provokatif yang tidak dapat diterima.”
Yordania menegaskan bahwa Israel tidak memiliki kedaulatan apa pun atas Yerusalem Timur dan tempat-tempat sucinya.
Yordania juga menegaskan bahwa pengelolaan Al-Aqsha sepenuhnya berada di bawah Wakaf Yerusalem yang bernaung di bawah Kementerian Agama Yordania.
Simbol politik yang kian berbahaya
Peristiwa di Al-Aqsha hari Rabu itu menegaskan bahwa konflik Israel–Palestina kini bukan hanya soal wilayah, melainkan juga soal makna simbolik dan keberlangsungan sejarah.
Dengan menjadikan Al-Aqsha panggung kekuasaan politik dan agama, pemerintah Israel menguji batas kesabaran dunia Islam dan mengancam meledakkan ketegangan yang lebih luas di kawasan.
Bagi warga Palestina, Al-Aqsha bukan sekadar tempat ibadah, tetapi simbol keberadaan mereka di Yerusalem.
Dan setiap kali langkah kaki Ben Gvir dan para pengikutnya menjejak di lantai masjid itu, luka lama keterhilangan dan penghinaan terasa semakin dalam.