Friday, October 10, 2025
HomeBeritaIsrael peringati 2 tahun Operasi Taufan Al Aqsha dengan campuran “duka dan...

Israel peringati 2 tahun Operasi Taufan Al Aqsha dengan campuran “duka dan kecemasan”

Israel memperingati dua tahun peristiwa 7 Oktober dengan suasana yang penuh campuran antara kesedihan, kebanggaan, dan kecemasan terhadap masa depan.

Nuansa yang berbeda itu tampak jelas antara kalangan pemerintah dan warga, antara para pemimpin politik yang ingin menegaskan kemenangan, dan keluarga korban yang menolak narasi resmi.

Perdana Menteri Benjamin Netanyahu—yang kini menjadi buronan Mahkamah Pidana Internasional—menjadikan peringatan ini sebagai ajang pembenaran politik.

Ia menepis seluruh kegagalan yang terjadi di bawah kepemimpinannya, sambil membanggakan bahwa dirinya dan militer Israel telah “mengubah wajah Timur Tengah” dan “mengalahkan hampir semua musuh.”

Nada yang sama terdengar dari dua menteri sayap kanan ekstrem, Bezalel Smotrich dan Itamar Ben Gvir, yang menyatakan bahwa kemenangan Israel sudah dekat.

Mereka bahkan menegaskan bahwa tujuan-tujuan negara, termasuk pengusiran warga Palestina dan aneksasi wilayah, “hampir tercapai.”

Namun, di luar lingkar kekuasaan, peringatan itu justru menjadi ajang kemarahan bagi keluarga korban dan tawanan—baik dari kalangan sipil maupun militer.

Mereka memilih memperingati tragedi itu secara terpisah dari acara resmi, menolak kehadiran para pejabat yang dianggap gagal melindungi rakyatnya.

Sekitar 30 ribu orang berkumpul di Taman Yarkon, Tel Aviv, dalam acara yang mereka sebut “Peringatan Nasional 7 Oktober.”

Dalam suasana hening bercampur amarah, para tokoh oposisi bergantian berpidato menentang kebijakan pemerintah. Tidak satu pun pejabat resmi hadir.

“Saya menghadiri banyak acara peringatan, tetapi tidak saya lihat satu pun menteri datang untuk menunjukkan solidaritas, menyalakan lilin, atau memeluk keluarga korban,” kata Benny Gantz, mantan Menteri Pertahanan sekaligus pemimpin Partai Blue and White, yang turut hadir.

Ia menilai bahwa pemerintahan Netanyahu kini telah terputus dari masyarakat Israel sendiri.

Momentum peringatan kali ini bertepatan dengan Hari Raya Pondok Daun (Sukkot), dan diwarnai pula oleh gelombang demonstrasi di depan rumah 26 menteri dan anggota parlemen dari koalisi pemerintahan.

Puluhan demonstran berkumpul di depan rumah Menteri Luar Negeri Gideon Sa’ar, menyerukan nama 48 tawanan Israel yang masih ditahan di Gaza.

Di depan rumah Menteri Transportasi Miri Regev, para pengunjuk rasa membawa foto para tawanan dan poster bertuliskan: “Miri, tak ada penebusan. Kami tak akan lupa dan tak akan memaafkan.”

“Dua tahun telah berlalu sejak pembantaian terbesar dalam sejarah Israel. Dua tahun kekacauan. Kami tidak akan berhenti menuntut pertanggungjawaban hingga tawanan terakhir kembali,” teriak para pemimpin aksi.

Para demonstran menegaskan bahwa kehadiran mereka untuk mengingatkan mereka: hari paling kelam dalam sejarah Israel terjadi di masa pemerintahan kalian—noda yang akan membekas selamanya.

Peringatan juga digelar di berbagai kota dan permukiman di seluruh negeri, terpisah dari keputusan pemerintah yang menetapkan peringatan resmi mengikuti kalender Ibrani.

Yakni bertepatan dengan hari raya Simchat Torah pada 16 Oktober mendatang.

Perbedaan itu sendiri mencerminkan jurang yang semakin lebar antara pemerintah dan masyarakat yang merasakan langsung dampak tragedi itu.

Dampak yang masih membekas

Perbedaan pandangan mengenai waktu peringatan menunjukkan bahwa dampak peristiwa 7 Oktober masih membayangi masyarakat Israel, bahkan setelah dua tahun perang yang disebut banyak pihak sebagai genosida terhadap warga Gaza.

Perang terpanjang dalam sejarah Israel—dan sekaligus yang paling berat dari sisi sosial, ekonomi, maupun citra internasional—telah memperlihatkan betapa dalam luka yang ditinggalkannya di tengah masyarakat yang majemuk, penuh perbedaan etnis, ideologi, dan arah politik. Perpecahan internal tampak kian nyata.

Tahun ini, peringatan dua tahun tragedi itu bertepatan dengan fase baru dalam perundingan mengenai “rencana Trump”.

Hal itu dinilai mengerem ambisi kubu kanan Israel untuk menuntaskan agenda pengusiran dan aneksasi wilayah Palestina.

Lebih dari itu, dunia kini hampir sepenuhnya bersatu mendukung gagasan “solusi 2 negara” dan pengakuan terhadap negara Palestina—perkembangan yang secara efektif menutup jalan bagi proyek-proyek aneksasi besar Israel.

Peringatan tahun ini juga berlangsung di tengah meningkatnya tekanan internasional untuk membatasi kelanjutan pendudukan Israel.

Selain itu juga mendorong penyelesaian politik yang bukan sekadar gencatan senjata, melainkan perjanjian damai yang mengakhiri konflik berkepanjangan itu.

Rasa kecewa warga Israel tampak jelas ketika juru bicara militer mengumumkan jatuhnya sejumlah roket di kawasan permukiman sekitar Gaza, serta terjadinya bentrokan antara pasukan Israel dan pejuang perlawanan yang menimbulkan korban di pihak militer.

Pernyataan kemenangan mutlak yang berulang kali disampaikan Netanyahu dan para menterinya tak lagi menggema di tengah masyarakat yang sudah lelah oleh perang dan menginginkan akhirnya segera datang.

Juru bicara militer Brigadir Jenderal Evi Dovrin mengungkapkan bahwa setelah 729 hari perang, jumlah korban tewas Israel mencapai 1.954 orang, sementara 48 warga—kebanyakan tentara—masih ditawan oleh Hamas.

“Kepala Staf telah mengadakan pertemuan khusus untuk mengevaluasi situasi pada Sabtu malam dihadiri wakil kepala staf dan kepala direktorat operasi,” katanya.

Dalam pernyataannya, Dovrin menambahkan bahwa militer kini menempatkan keamanan pasukannya sebagai prioritas utama, dan seluruh kemampuan tempur akan dialihkan ke komando selatan untuk melindungi pasukan di lapangan.

“Dengan mempertimbangkan situasi yang sangat sensitif di medan operasi,” bunyi ringkasan pernyataan itu.

Kepala Staf menegaskan perlunya kewaspadaan maksimal serta respons cepat guna menumpas setiap ancaman yang muncul.

Hasilnya

Dua tahun setelah peristiwa 7 Oktober 2023, Kementerian Pertahanan Israel merilis angka resmi korban di pihaknya.

Sejak pecahnya perang pada Oktober 2023, tercatat 1.152 tentara Israel tewas, di antaranya lebih dari 40 persen berusia di bawah 21 tahun dan masih menjalani wajib militer. Sementara itu, 141 tentara berusia di atas 40 tahun turut tewas.

Dalam satu tahun terakhir saja, 262 tentara ditambahkan ke daftar korban jiwa akibat perang yang belum juga usai itu.

Data dari Departemen Rehabilitasi Kementerian Pertahanan, yang dipublikasikan sebulan sebelumnya, menunjukkan skala luka yang lebih luas: lebih dari 20 ribu prajurit dan personel militer kini tengah menjalani perawatan.

Sekitar 56 persen di antaranya mengalami trauma dan gangguan psikologis berat akibat perang berkepanjangan di Gaza.

Namun, luka fisik dan mental itu bukan satu-satunya beban yang kini ditanggung Israel. Yang lebih mengguncang adalah pergeseran sikap dunia internasional.

Dari semula mendapat simpati luas pada awal perang, Israel kini menghadapi kecaman global setelah publik dunia menyaksikan kebrutalan serangannya dan tingkat kehancuran yang dialami warga sipil Gaza.

Puncak peringatan dua tahun serangan 7 Oktober justru diwarnai gelombang demonstrasi anti-Israel di berbagai penjuru dunia.

Di Athena, Yunani, ribuan orang turun ke jalan membawa bendera Palestina. Mereka membakar bendera Israel, menyalakan kembang api, dan bentrok dengan aparat.

Di Melbourne, Australia, dinding-dinding kota dipenuhi grafiti bertuliskan “Glory to Hamas” dan “October 7 — Do it again.”

Sementara di Amsterdam, Belanda, istana kerajaan dicat merah darah dan di atasnya tertulis kalimat hinaan terhadap Israel. Aksi itu diklaim oleh kelompok pro-Palestina “Palestine Action NL.”

Protes serupa juga terjadi di berbagai kota besar lainnya—di Inggris, Indonesia, Jepang, Turki, dan bahkan di New York.

Organisasi pro-Palestina In Our Lifetime menyerukan warganya untuk “membanjiri jalan-jalan kota” sebagai penghormatan bagi para korban di Gaza dan seluruh rakyat Palestina yang “menjadi sasaran genosida selama 77 tahun.”

Gelombang protes global itu bahkan memaksa sejumlah pemimpin Barat yang dikenal dekat dengan Israel untuk mengubah nada pidatonya.

Perdana Menteri Inggris Keir Starmer dan Perdana Menteri Italia Giorgia Meloni, yang sama-sama mengecam serangan Hamas, terpaksa menyebut kembali pentingnya solusi dua negara dalam peringatan tersebut.

Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen pun menyampaikan pernyataan serupa:

“Kita tidak akan pernah melupakan kengerian serangan Hamas dan penderitaan yang dialami para korban, keluarga mereka, dan seluruh rakyat Israel,” katanya.

Namun ia menambahkan bahwa mereka harus segera membebaskan para sandera, mengakhiri perang, dan membuka jalan menuju perdamaian yang abadi berdasarkan solusi 2 negara.

Sementara itu, Perdana Menteri Spanyol Pedro Sánchez mengeluarkan pernyataan yang lebih tegas.

“Dua tahun telah berlalu sejak serangan mengerikan yang dilakukan Hamas. Hari ini kami menegaskan kembali penolakan total terhadap terorisme dalam segala bentuknya. Namun kami juga menuntut agar Perdana Menteri Netanyahu menghentikan genosida terhadap rakyat Palestina dan membuka koridor kemanusiaan,” tegasny.

Menurut Sánchez, hanya dialog dan pembentukan dua negara yang dapat mengakhiri konflik dan membuka jalan bagi masa depan yang damai.

Dua tahun yang paling bergejolak

Jurnalis Yedioth Ahronoth, Itamar Eichner, menulis bahwa dua tahun terakhir merupakan salah satu periode paling bergejolak dalam sejarah Israel.

Menurutnya, peristiwa tragis 7 Oktober 2023 pada awalnya memunculkan gelombang simpati dan dukungan internasional yang belum pernah terjadi sebelumnya bagi Israel, setelah dunia dikejutkan oleh serangan mematikan Hamas.

Namun, gelombang simpati itu tak bertahan lama. Seiring berlanjutnya perang di Gaza, dukungan berubah menjadi isolasi politik yang kian dalam, hingga kini menjadi salah satu tantangan terbesar bagi Israel di panggung internasional.

Eichner mencatat, titik baliknya terjadi pada awal tahun ini, ketika narasi tentang “genosida” dan “kelaparan yang disengaja” di Gaza mulai mendominasi pemberitaan dunia.

Isu itu kini menjadi kerangka berpikir utama bagi sebagian besar negara dalam memandang Israel.

“Kerugian besar yang dialami Israel di tingkat politik merupakan akibat langsung dari rasa keterasingan dan jarak yang terus melebar antara Israel dan komunitas internasional,” tulisnya,.

Menurut Eichner, hal ini menjadi tantangan serius, terutama jika Israel ingin membawa pembicaraan di Sharm el-Sheikh, Mesir, menuju kesepakatan nyata untuk gencatan senjata dan pembebasan para sandera.

Pandangan lebih tajam datang dari Ben Caspit, kolumnis senior Maariv, yang menggambarkan 7 Oktober sebagai “kekalahan paling menyakitkan dan memalukan dalam sejarah Israel.”

“Bahkan dalam mimpi terburuk kami. Kami tak pernah membayangkan bahwa sebuah organisasi bersenjata nonnegara mampu mengalahkan satuan militer Israel dengan begitu mudah—menembus permukiman, menyerbu pangkalan militer, membunuh ratusan warga sipil, perempuan, anak-anak, dan lansia, bahkan menculik mereka secara massal,” tulis Caspit.

Ia menyebut peristiwa itu sebagai “penghinaan terbesar bagi tentara yang disebut paling kuat di Timur Tengah.”

Menurutnya, luka dan trauma 7 Oktober tidak akan hilang bahkan setelah lima puluh tahun, karena peristiwa itu mengingatkan pada kejutan serangan Mesir dan Suriah dalam Perang Yom Kippur tahun 1973—namun kali ini dalam skala yang lebih besar dan memukul langsung jantung masyarakat sipil Israel.

“Bukan hanya militer yang dipukul, tetapi juga rakyatnya. Negara yang didirikan sebagai satu-satunya tempat aman bagi orang Yahudi di dunia, gagal menjalankan peran itu,” tulisnya.

Dampak yang mengkhawatirkan

Selain luka militer dan politik, muncul pula kekhawatiran lain: meningkatnya gelombang antisemitisme di berbagai belahan dunia.

Data terbaru dari gerakan Combat Antisemitism Movement (CAM) menunjukkan bahwa sejak 7 Oktober 2023, kebencian terhadap Israel berubah menjadi “gelombang kekerasan, delegitimasi, dan hasutan terhadap komunitas Yahudi.”

Laporan CAM mencatat 13.339 insiden antisemitisme di seluruh dunia antara Oktober 2023 hingga Oktober 2025—angka yang digambarkan sebagai “mengejutkan dan menunjukkan kedalaman krisis.”

Banyak pengamat di Israel heran, bagaimana tragedi sebesar itu—yang semestinya mengguncang kesadaran nasional—tidak mendorong penyelidikan mendalam atau refleksi strategis di tingkat negara.

Tentara memang telah melakukan sejumlah investigasi teknis, namun para analis menilai persoalan utamanya bukan pada taktik militer.

Melainkan pada visi strategis Israel sendiri yang masih terjebak dalam paradigma kekuatan dan daya gentar (power and deterrence), alih-alih bergerak menuju penciptaan perdamaian yang berkelanjutan.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Terpopuler