Saturday, October 11, 2025
HomeAnalisis dan OpiniOPINI - Gaza dan harga sebuah kemenangan

OPINI – Gaza dan harga sebuah kemenangan

Oleh: Dr. Yassin Aktay*

Tadi malam, setelah 2 tahun penuh perang pemusnahan yang mengguncang Gaza, dunia akhirnya mendengar kabar yang selama ini dinanti: diumumkannya kesepakatan penghentian perang.

Sebuah kabar yang membawa harapan agar penderitaan panjang itu berakhir. Namun, di tengah rasa lega itu, muncul pertanyaan besar yang tak terelakkan: apakah semua derita itu sepadan dengan harga yang telah dibayar?

Tanggal 7 Oktober 2023 akan tetap tercatat sebagai salah satu halaman paling kelam dalam sejarah modern.

Hari itu menyingkap wajah sejati negara pendudukan Israel—sebuah entitas yang menanggalkan segala topeng moral dan memperlihatkan dirinya sebagai kekuatan yang menebar kekejian tanpa batas.

Dalam 2 tahun berikutnya, dunia menyaksikan rangkaian pembantaian yang menewaskan lebih dari 66.000 jiwa, sebagian besar anak-anak, perempuan, dan orang tua. Sulit disangkal bahwa Israel telah menjelma menjadi ancaman nyata bagi kemanusiaan.

Namun, hari yang sama juga menjadi titik balik. Dalam waktu kurang dari lima jam, runtuhlah mitos keamanan Israel yang selama puluhan tahun dijadikan landasan kebanggaan nasional.

Seluruh sistem pertahanan—yang dibangun dengan teknologi tinggi dan intelijen mutakhir—terbukti rapuh di hadapan sekelompok pejuang dengan senjata sederhana, tetapi berbekal keyakinan dan keberanian yang tak tergoyahkan.

Selama dua tahun penuh, dunia menyaksikan konfrontasi yang tidak seimbang. Di satu sisi, mesin perang yang brutal dan serba canggih; di sisi lain, perlawanan yang bersandar pada strategi, keberanian, dan tekad moral.

Kesenjangan kekuatan itu justru menyingkap satu hal: bahwa kemenangan sejati tidak selalu ditentukan oleh teknologi, melainkan oleh kemauan untuk bertahan dan keberanian untuk tidak menyerah.

Sementara Israel terus menebar kehancuran—mengebom, menghancurkan rumah-rumah, dan memperparah blokade hingga menciptakan kelaparan—citra moralnya di mata dunia terus runtuh.

Setiap bom yang dijatuhkan, setiap anak yang terbunuh, semakin memperjelas wajah asli negara itu. Apa yang dahulu disebut “pembelaan diri”, kini dianggap banyak orang sebagai pembenaran atas kekejaman.

Israel kehilangan kemampuan menjual narasi “7 Oktober” kepada dunia. Dukungan moral yang dulu nyaris otomatis kini berubah menjadi rasa muak.

Simpati bergeser menjadi penolakan. Israel, dalam pandangan banyak orang, telah berubah dari “korban” menjadi penyakit moral global.

Kesadaran baru tumbuh di seluruh dunia: masalah utama bukanlah Palestina, melainkan Israel itu sendiri.

Narasi lama tentang “hak Israel untuk membela diri” kehilangan relevansi. Bahkan di Amerika Serikat (AS), pertanyaan yang dulu tabu mulai terdengar lantang: mengapa pajak rakyat Amerika harus membiayai sebuah negara yang terbukti melakukan kejahatan perang dan apartheid?

Di sisi lain, Hamas—yang selama ini dituduh sebagai organisasi teroris—justru memperoleh legitimasi moral baru.

Sejak 7 Oktober, gerakan itu tampil di panggung dunia sebagai simbol perlawanan yang berakar pada keberanian dan konsistensi moral.

Dalam kondisi yang nyaris mustahil, mereka mengembalikan martabat Palestina ke pusat percakapan global. Dunia yang sempat melupakan Gaza kini memandangnya sebagai cermin kemanusiaan.

Dua tahun peperangan telah meninggalkan Gaza nyaris rata dengan tanah, dengan jumlah korban mendekati 100.000 jiwa.

Namun, di tengah kehancuran itu, perlawanan berhasil menegakkan makna lain dari kemenangan—kemenangan yang tak bisa diukur dengan angka atau wilayah.

Maka, pertanyaan “apakah semua ini sepadan?” menjadi tak relevan. Siapa pun yang memahami sejarah penjajahan dan penderitaan rakyat Palestina tahu bahwa pertanyaan itu lahir dari ketidaktahuan akan makna pengorbanan.

Sebagaimana sering diulang juru bicara sayap militer Hamas, Abu Ubaida: “Ini adalah jihad—menang atau gugur sebagai syahid.”

Dua-duanya kemenangan, dalam pandangan mereka. Dan bagi penduduk Gaza, hidup dengan kepala tegak—meski di bawah reruntuhan—adalah bentuk lain dari kemenangan moral.

Pemimpin Hamas, Yahya Sinwar, pernah berkata, “Hadiah terindah yang bisa diberikan musuh-musuhku adalah menjadikanku syahid.”

Kata-kata itu kini menjelma kenyataan. Ia dan para pemimpin perlawanan gugur di medan tempur, tetapi perjuangan mereka tak berhenti. Mereka menjadi simbol keberanian dan ketulusan yang langka di dunia modern.

Tanggal 7 Oktober 2023 kini memiliki gema sejarah yang lebih luas. Hampir bertepatan dengan ulang tahun ke-50 Perang Oktober 1973, saat Israel sempat diguncang oleh serangan mendadak pasukan Mesir dan Suriah.

Bedanya, jika dulu Israel mampu membalikkan keadaan dengan keunggulan teknologi dan dukungan Barat, maka kali ini keunggulan itu tak lagi menjamin keamanan. Dari reruntuhan Gaza, lahir babak baru yang disebut “Thaufan Al-Aqsha.”

Hamas memang membayar harga mahal. Tetapi, dari reruntuhan itu pula lahir perubahan besar dalam kesadaran global.

Palestina bukan lagi isu regional, melainkan cermin ketimpangan dunia. Israel kini berdiri di panggung dunia sebagai simbol kebobrokan moral Barat, yang kerap mengumandangkan hak asasi manusia sambil menutup mata terhadap genosida.

Perang Gaza telah menyingkap kemunafikan nilai-nilai yang selama ini diagungkan Barat—kebebasan, keadilan, dan kemanusiaan—yang ternyata hanya berlaku bagi mereka yang “mirip” dengan mereka. Sementara bagi rakyat Palestina, kematian massal dianggap tak lebih dari statistik.

Namun, kesadaran baru itu kini menjalar di jantung masyarakat Barat sendiri. Ribuan orang turun ke jalan bukan hanya untuk membela Palestina, tetapi juga untuk membela hak mereka sendiri atas kebebasan dari sistem yang menindas.

Mereka mulai memahami bahwa perjuangan rakyat Gaza bukan semata tentang tanah, melainkan tentang harga diri manusia.

Pada akhirnya, dari tengah kehancuran Gaza, lahir pesan yang menggema jauh melampaui perbatasannya: bahwa Islam adalah bahasa universal tentang martabat manusia.

Dalam keterbatasan yang luar biasa, dengan pengorbanan yang tak terbayangkan, rakyat Gaza telah menunjukkan kepada dunia bahwa kemenangan tidak selalu berarti mengalahkan musuh—kadang, ia berarti bertahan dengan kehormatan.

Itulah kemenangan sejati, kemenangan yang tak tertandingi.

*Dr. Yassin Aktay adalah wakil ketua Partai AK dan kepala Kelompok Persatuan Antar-Parlemen Turki. Ia juga dikenal sebagai salah satu pembantu utama Presiden Turki Recep Tayyip Erdoğan. Tulisan ini diambil dari situs Aljazeera.net dengan judul “Ittifāq Waqfi al-Nār Fī Ghazah: Hal Nurāji’ Kulla Mā Jarā al-Ān?”.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Terpopuler