Saturday, October 18, 2025
HomeBeritaAnalis Israel: Kami membayar harga kelambanan Netanyahu, Hamas kembali kuasai Gaza

Analis Israel: Kami membayar harga kelambanan Netanyahu, Hamas kembali kuasai Gaza

Sejumlah analis politik dan militer Israel menilai bahwa negara mereka kini berada dalam situasi paling sulit sejak berdirinya, akibat kebijakan yang dianggap lamban dan berbelit dari Perdana Menteri Benjamin Netanyahu.

Mereka juga menuding pemerintah dan militer menyebarkan data palsu tentang jumlah korban dari pihak perlawanan di Gaza, yang menurut mereka sebenarnya banyak di antaranya adalah warga sipil.

Dalam tayangan di Kanal 12 Israel, analis politik Dana Weiss menilai bahwa Israel kini berada di posisi terpinggirkan secara diplomatik.

Hal itu tampak dari absennya Israel dalam pertemuan penting di KTT Sharm el-Sheikh pada Selasa lalu, yang membahas masa depan kawasan pascaperang.

Menurut Weiss, Israel dan Palestina sama-sama “tidak hadir dalam momen bersejarah” itu.

Namun Israel kini terpaksa berhadapan kembali dengan isu Palestina “karena para pemimpin dunia telah mulai mengambil keputusan sendiri.”

Lebih dari itu, kata Weiss, Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump telah menempatkan Netanyahu—yang saat ini masih menjadi buronan Mahkamah Pidana Internasional—pada posisi dilematis.

Yaitu, bergabung dengan koalisi internasional yang dipimpin Washington, atau tetap berpihak pada sayap kanan ekstrem dan basis politiknya di dalam negeri.

Hamas kembali menguasai Gaza

Nada serupa juga disampaikan mantan komandan pertahanan udara Israel, Zvika Haimovich, yang menilai bahwa Israel kini memasuki “kenyataan baru” penuh tantangan dan hambatan setiap hari.

Menurutnya, Gerakan Perlawanan Islam (Hamas) tidak benar-benar dilucuti dari persenjataannya, dan justru berhasil memulihkan kendali atas Jalur Gaza.

“Realitas ini sedang terbentuk di depan mata kita,” ujar Haimovich.

Ia menambahkan, pasukan internasional yang direncanakan untuk bertugas di Gaza kemungkinan baru akan tiba setelah waktu yang lama.

Sementara kesepakatan gencatan senjata terakhir “penuh dengan celah” yang kini mulai terlihat jelas di lapangan.

Semua ini, kata Haimovich, adalah hasil dari “penundaan dan pemborosan waktu” pemerintah Netanyahu.

“Kenyataan baru ini, sama sekali bukan keuntungan bagi Israel,” ujarnya.

Kritik paling tajam datang dari Jenderal (purn.) Itzhak Brik, mantan komandan korps selatan Angkatan Darat Israel.

Ia menegaskan bahwa hampir semua peringatannya selama ini terbukti benar, baik mengenai arah kebijakan negara maupun perilaku militer.

Brik menyebut bahwa para pejuang Hamas kini muncul dari jaringan terowongan bawah tanah, menghindari pertempuran terbuka, dan memperlihatkan taktik yang membuat pasukan Israel kehilangan orientasi.

Ia juga menuding pemerintah berbohong tentang jumlah korban lawan.

“Klaim bahwa 20 ribu pejuang Hamas tewas di Khan Younis adalah kebohongan besar. Angka itu mencakup banyak warga sipil yang terbunuh,” ujarnya.

Brik mengatakan, para prajurit yang bertempur di kawasan itu menceritakan kepadanya bahwa apa yang diumumkan pemerintah “penuh kebohongan.”

Mereka jarang sekali menghadapi pejuang bersenjata secara langsung.

“Banyak warga sipil yang terbunuh justru dihitung sebagai kombatan,” ungkapnya.

Lebih jauh, ia menuduh bahwa para pejabat pemerintah dan militer “mengetahui kebenaran di lapangan” tetapi sengaja tidak menyampaikannya kepada publik.

“Kini, tidak ada satu kata pun dari juru bicara militer yang bisa dipercaya. Ia menyampaikan hal-hal yang sama sekali tidak sesuai dengan kenyataan,” tegas Brik.

Brik bahkan mengutip seorang perwira tinggi yang mengatakan bahwa “juru bicara tentara berbohong.”

Menurutnya, Israel kini berada dalam kondisi paling berbahaya sejak berdirinya negara itu.

“Kita kehilangan dukungan dunia dan tanpa dunia, Israel tidak akan mampu bertahan sedetik pun,” kata Brik.

“Kita kalah dalam perang informasi”

Dalam konteks berbeda, Yaniv Leviatan, pakar perang informasi dari Universitas Haifa, menilai bahwa Israel sedang mengalami kegagalan strategis besar di bidang komunikasi global. Ia menyebut ketiadaan strategi informasi nasional sebagai “sebuah aib.”

“Bila dibandingkan dengan kemampuan Israel di medan perang nyata, kita akan melihat bahwa Hamas dan pihak-pihak yang menentang Israel bebas bermain di ruang kosong, menguasai perang informasi dan psikologis,” katanya.

Menurut Leviatan, Israel kini membayar harga mahal karena absen dalam “medan perang kesadaran” tersebut.

“Pihak lawan tengah membentuk opini publik dunia dengan sangat efektif,” ujarnya.

Ia menambahkan bahwa pihaknya sekarang menyaksikan bagaimana generasi muda di AS justru mendukung Hamas, Hizbullah, bahkan Osama bin Laden.

“Itu tidak muncul dalam dua bulan, melainkan hasil dari upaya yang dibangun selama puluhan tahun,” tegasnya.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Terpopuler