Kondisi kemanusiaan di Jalur Gaza masih berada pada tingkat yang sangat kritis. Hal itu ditegaskan oleh Jonathan Fowler, Direktur Komunikasi di Badan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA).
Ia menyebut bahwa gencatan senjata antara Israel dan Hamas baru merupakan langkah awal untuk mengurangi penderitaan jutaan warga di wilayah yang porak-poranda akibat perang.
Dalam wawancara dengan kantor berita Anadolu, Fowler menekankan bahwa penghentian sementara pertempuran “adalah langkah penting, tetapi baru permulaan untuk mengatasi bencana kemanusiaan yang terjadi di Gaza.”
Gencatan senjata tersebut mulai berlaku pada Jumat pekan lalu, setelah tercapainya kesepakatan antara Hamas dan Israel berdasarkan rencana Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump.
Meski demikian, rencana tersebut datang setelah dua tahun serangan Israel yang didukung Washington, yang menewaskan 67.938 orang dan melukai 170.169 lainnya — sebagian besar di antaranya adalah anak-anak dan perempuan.
Menurut perkiraan PBB, biaya rekonstruksi Gaza kini mencapai sekitar 70 miliar dolar AS.
Bantuan yang masih jauh dari cukup
Fowler mengingatkan bahwa volume bantuan yang masuk harus meningkat secara drastis agar dapat memenuhi kebutuhan dasar warga Palestina.
“Setiap hari keterlambatan dalam memfasilitasi masuknya bantuan berarti semakin banyak nyawa yang hilang akibat kekurangan gizi dan ketiadaan kebutuhan pokok,” tegasnya.
Menurutnya, prioritas mendesak saat ini adalah mencegah meluasnya kelaparan dan penyebaran penyakit, sebelum kemudian melanjutkan bantuan untuk membangun kembali kehidupan masyarakat.
Selama dua tahun genosida yang dijalankan secara sistematis, kebijakan blokade pangan dan kelaparan yang diberlakukan Israel telah merenggut 463 nyawa warga Palestina, termasuk 157 anak-anak.
Pada 22 Agustus 2025, Inisiatif Klasifikasi Terpadu Keamanan Pangan Global (IPC) secara resmi menyatakan terjadinya kelaparan di Kota Gaza bagian utara.
Selain itu, diperkirakan bahwa krisis itu akan meluas ke wilayah Deir al-Balah (tengah) dan Khan Younis (selatan).
Inisiatif ini melibatkan 21 organisasi internasional utama, di antaranya FAO, WFP, UNICEF, WHO, Oxfam, dan Save the Children.
Fowler menjelaskan bahwa jumlah truk bantuan yang berhasil masuk ke Gaza masih sangat terbatas, padahal kebutuhan warga kini berlipat ganda dibanding masa jeda sebelumnya.
UNRWA, kata Fowler, memiliki sekitar 6.000 truk bantuan kemanusiaan yang sudah siap di Yordania dan Mesir, cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan seluruh Gaza selama 3 bulan.
Namun, lembaga itu tidak dapat menyalurkan bantuan sejak Maret 2025 karena dilarang melakukan operasi lapangan serta terputusnya komunikasi dengan tim lokal.
Menurut Kantor Media Pemerintah Gaza, wilayah tersebut memerlukan sekitar 600 truk bantuan per hari untuk memenuhi kebutuhan dasar warganya.
Akan tetapi, Israel hanya mengizinkan masuk 60 hingga 70 truk per hari, jumlah yang sangat jauh dari cukup.
Dalam dokumen perjanjian gencatan senjata dan pertukaran tahanan yang dipublikasikan oleh lembaga penyiaran Israel, disebutkan bahwa pihak-pihak yang terlibat sepakat untuk mengizinkan masuknya bantuan kemanusiaan secara langsung, sesuai dengan mekanisme yang telah disetujui.
Keputusan kemanusiaan tertanggal 19 Januari 2025 bahkan mengamanatkan masuknya 600 truk bantuan setiap hari, termasuk bahan bakar dan gas untuk memasak.
Puing dan kehancuran
Berbicara tentang situasi lapangan, Fowler menggambarkan kondisi bagian utara Gaza sebagai wilayah yang “hancur total.”
Sebagian besar infrastruktur, katanya, telah musnah, sementara warga Palestina sibuk mencari jenazah anggota keluarga di bawah reruntuhan — yang menyebabkan angka korban tewas terus meningkat.
Pemerintah di Gaza memperkirakan terdapat sekitar 9.500 orang hilang, sebagian diyakini masih tertimbun di bawah puing-puing bangunan, sementara nasib ribuan lainnya belum diketahui.
“Penduduk Gaza ingin kembali ke rumah mereka, tetapi yang mereka temukan hanyalah kehancuran,” ujar Fowler.
Sekolah, rumah, dan fasilitas umum, lanjutnya, mengalami kerusakan besar-besaran.
Sebagian besar warga telah mengungsi berkali-kali selama dua tahun terakhir, banyak di antaranya meninggalkan rumah tanpa membawa barang pribadi.
Sehingga bantuan tempat tinggal dan perlengkapan musim dingin menjadi kebutuhan mendesak.
Ribuan orang kini bergerak kembali ke utara Gaza, meski belum ada data pasti tentang jumlahnya.
Fowler menilai, arus balik massal tak terelakkan setelah gencatan senjata karena “orang-orang ingin memulihkan sisa-sisa kehidupan mereka.”
Ia menambahkan, kehancuran besar yang terjadi meninggalkan trauma psikologis mendalam di tengah masyarakat, dan UNRWA kini tengah berupaya memberikan dukungan psikososial bagi para korban.
Selama dua tahun terakhir, menurut data Kantor Media Pemerintah Gaza, lebih dari 90 persen infrastruktur di wilayah itu telah hancur, dan ratusan ribu pengungsi kini bertahan di kawasan sempit tanpa sarana hidup layak.
Militer Israel, berdasarkan laporan yang sama, menjatuhkan lebih dari 200.000 ton bahan peledak di Gaza, termasuk bom berbobot 200 pon yang dilarang penggunaannya secara internasional.