Penulis Israel, Ron Kofman, dalam kolomnya di harian Maariv, menggambarkan bagaimana Rumah Sakit Ichilov di Tel Aviv berubah dari fasilitas medis menjadi semacam studio televisi.
Lima sandera Israel yang baru dibebaskan dari Gaza dirawat di sana, namun suasananya lebih menyerupai lokasi syuting acara realitas ketimbang ruang perawatan.
Menurut Kofman, stasiun-stasiun televisi lokal dan internasional berbondong-bondong meliput kedatangan para sandera.
Kamera menyorot setiap pelukan keluarga, setiap tangis bahagia, dan setiap langkah menuju ruang perawatan.
“Segala sesuatunya tampak disusun layaknya episode dari Big Brother,” tulis Kofman.
Ia menilai bahwa tayangan semacam ini dirancang untuk menjaga publik tetap dalam ketegangan emosional.
Padahal bagi para sandera dan keluarga mereka, peristiwa itu sejatinya penuh trauma dan duka.
Ia menjelaskan, para sandera dipindahkan ke lantai atas rumah sakit—ke unit perawatan kulit dan onkologi—yang disulap menjadi area khusus keluarga.
Prosedur ketat diterapkan untuk menjaga privasi sekaligus membantu proses penyesuaian psikologis.
Para perwira cadangan pun tampak berkumpul di sana, membahas rencana pemulihan para sandera dan bagaimana mereka dapat beradaptasi kembali dengan kehidupan sipil.
Namun, di balik layar, koordinasi erat antara pihak rumah sakit, keluarga, dan media berlangsung nyaris tanpa henti.
Kofman menyebut adanya “kerja sama emosional” di mana keluarga diberi pemahaman mengenai apa yang bisa diungkapkan di depan kamera dan apa yang sebaiknya disimpan untuk diri sendiri.
Semacam kolaborasi antara media dan masyarakat untuk membentuk narasi bersama.
Di sisi lain, momen pemulangan sandera ini juga diseret ke gelanggang politik. Partai Likud, yang dipimpin Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, mulai memanfaatkan peristiwa tersebut untuk mempersiapkan pemilihan internal partai.
Beberapa tokoh menolak undangan menghadiri acara resmi yang dihadiri presiden dan wakil jaksa agung, menandakan adanya perebutan pengaruh dan ego politik di tengah situasi nasional yang rapuh.
Kofman menilai, ironi ini terjadi justru saat militer Israel menghadapi tantangan berat dalam kesiapan tempurnya.
Sejak Oktober 2023, kekurangan amunisi dan perlengkapan pelindung terus menghantui pasukan, hingga pemerintah terpaksa meminta bantuan darurat dari Amerika Serikat (AS).
Meski 2 tahun telah berlalu, tak ada satu pun pejabat politik yang benar-benar bertanggung jawab atas kegagalan melindungi warga dan tentara, ujarnya.
Kehadiran Presiden AS Donald Trump, tulis Kofman, memang sempat memberikan efek menenangkan bagi keluarga sandera dan pasukan, menciptakan “rasa aman sementara”.
Namun, ketegangan politik domestik yang dipicu oleh perang dan kegagalan intelijen belum juga reda.
Kofman menutup tulisannya dengan catatan muram: Israel kini dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan mendasar—tentang reformasi wajib militer, mekanisme promosi perwira, dan arah kebijakan pertahanan ke depan.
Namun, selama politik tetap terbelah dan setiap peristiwa tragis dijadikan panggung untuk citra, sulit berharap akan lahir introspeksi yang jujur dari para penguasa negeri itu.