Israel menyerahkan 165 jenazah warga Palestina yang selama ini mereka tahan sejak pecahnya perang genosida di Jalur Gaza pada 7 Oktober 2023.
Penyerahan itu dilakukan sebagai bagian dari kesepakatan pertukaran tahanan yang menyertai gencatan senjata antara kelompok perlawanan Palestina dan Israel, sekitar dua pekan lalu.
Namun, di balik penyerahan itu, terungkap fakta yang mengguncang nurani. Setiap jenazah yang diterima menunjukkan tanda-tanda siksaan berat dan, dalam banyak kasus, dugaan kuat telah dieksekusi di lapangan.
Fakta ini diungkapkan oleh Samah Hamad, ahli forensik dan anggota Komite Pengelolaan Jenazah, dalam wawancara khusus dengan Al Jazeera Net.
Menurut Hamad, sebagian besar jenazah ditemukan dalam keadaan mengenaskan.
Mata tertutup, tangan terikat ke belakang, bahkan ada yang dengan tali melilit leher, tulang remuk, luka sayatan di kepala dan perut, serta kulit yang terbakar dan wajah nyaris tak bisa dikenali.
Berikut petikan wawancara lengkapnya.
Berapa jumlah jenazah yang telah diserahkan Israel melalui Komite Internasional Palang Merah?
Sampai hari ini kami telah menerima 165 jenazah syuhada yang sebelumnya ditahan Israel dari berbagai lokasi di Jalur Gaza selama dua tahun terakhir perang pemusnahan.
Berapa total jenazah yang seharusnya diserahkan berdasarkan kesepakatan pertukaran tahanan?
Menurut informasi dari Komite Internasional Palang Merah, Israel berkewajiban menyerahkan 450 jenazah berdasarkan kesepakatan gencatan senjata dan pertukaran tahanan.
Apakah ada perkiraan jumlah total jenazah yang masih ditahan Israel?
Data resmi dari Kementerian Kesehatan, Kantor Media Pemerintah, dan Pertahanan Sipil menunjukkan sekitar 10 ribu warga Gaza hilang sejak perang dimulai.
Namun kami tidak memiliki angka pasti berapa di antara mereka yang sebenarnya sudah gugur dan jenazahnya ditahan oleh Israel.
Rezim pendudukan sengaja menerapkan kebijakan kabur dan penuh kerahasiaan dalam urusan kemanusiaan ini.
Apakah kebijakan itu juga mencakup penyerahan jenazah tanpa identitas pribadi?
Tentu saja. Seharusnya Palang Merah menekan Israel agar menyerahkan data pribadi setiap syuhada bersama jenazahnya.
Syuhada kami bukan sekadar angka. Israel juga berjanji menyediakan alat uji DNA portabel untuk membantu identifikasi, tetapi sampai kini mereka tidak menepati janji itu. Di Gaza, alat semacam itu tidak tersedia.
Dengan kondisi seperti itu, berapa banyak jenazah yang sudah berhasil diidentifikasi?
Hingga kini baru 31 jenazah yang berhasil kami kenali, dan itu pun dengan cara-cara sederhana.
Kami tidak memiliki fasilitas forensik memadai. Israel justru memperumit keadaan: kami menerima jenazah dengan ibu jari tangan kanan dan kiri dipotong, begitu pula jari kaki terbesar di kedua kaki.
Ada juga bekas pengambilan sampel DNA di bagian atas paha. Itu artinya Israel sebenarnya sudah memiliki seluruh data identitas, tetapi memilih menyimpannya.
Bagaimana proses yang dilakukan tim Anda untuk mengenali jenazah?
Kami menggunakan cara-cara manual. Setiap jenazah difoto dengan resolusi tinggi dan diunggah di situs Sehati milik Kementerian Kesehatan setelah diverifikasi oleh tim forensik. Kami mendata tanda-tanda fisik khas, pakaian, atau barang pribadi seperti cincin atau ponsel. Setiap jenazah diberi kode khusus.
Kami juga menayangkan foto-foto itu di ruang besar di Kompleks Medis Nasser, Khan Younis, agar keluarga yang kehilangan bisa melihat.
Setiap hari, antara 300 hingga 500 orang datang dengan harapan mengenali sanak keluarga mereka.
Apakah ada kisah yang paling membekas dari proses identifikasi itu?
Ya, satu di antaranya adalah jenazah Bahaauddin Shadiq Al-Khatib, 45 tahun, dari Rafah. Kami menerima jenazahnya pada 18 Oktober lalu.
Dari hasil pemeriksaan, besar kemungkinan ia dieksekusi di lapangan. Saat keluarga melihat fotonya, ruang itu dipenuhi tangis dan jeritan. Awalnya mereka tak percaya, tapi kemudian sang istri mengenali pakaian yang ia kenakan.
Al-Khatib adalah mantan tahanan yang pernah dibebaskan dalam Pertukaran Shalit tahun 2011.
Ia sebelumnya juga pernah selamat dari upaya pembunuhan oleh Israel, meninggalkan bekas luka dan operasi di kaki kanannya—semua itu membantu memastikan identitasnya.
Apa saja tanda-tanda penyiksaan dan eksekusi yang ditemukan di tubuh para syuhada?
Israel menyerahkan jenazah dalam kantong plastik, dengan kondisi tidak layak dan melanggar kehormatan jenazah.
Panas dan kelembapan membuat kulit rusak, sehingga beberapa luka sulit dibedakan. Namun secara umum, kami menemukan tanda-tanda berikut:
- Mata tertutup kain atau perban.
- Tangan dan kaki terikat, sebagian dengan borgol plastik.
- Luka tusuk di wajah, dada, dan leher.
- Luka bakar di berbagai bagian tubuh.
- Luka terbuka di perut, yang mungkin menunjukkan pengambilan organ atau pembedahan sebelum kematian.
Salah satu jenazah bahkan masih terikat tali di lehernya, menunjukkan tanda-tanda mati tercekik atau digantung.
Apakah ada prosedur khusus untuk menangani jenazah yang belum teridentifikasi?
Ya. Kami sudah memutuskan untuk memakamkan jenazah yang belum dikenali dan telah lebih dari lima hari disimpan di Kompleks Medis Nasser.
Pemakaman akan dilakukan secara terhormat di pemakaman khusus di Deir al-Balah, Jalur Gaza tengah.
Setiap jenazah akan dimakamkan di liang tersendiri, dengan batu nisan berisi kode dan informasi yang kami miliki, sehingga data tetap tercatat di basis data resmi.
Mengapa menurut Anda Israel menahan data identitas para syuhada dan menyerahkan jenazah tanpa nama?
Itu bagian dari kebijakan sistematis untuk menghina martabat rakyat Palestina—bahkan setelah mereka mati.
Israel tahu bahwa dengan menyembunyikan identitas, mereka memperpanjang penderitaan keluarga yang menunggu kabar.
Mereka juga sadar Gaza tidak memiliki sarana forensik memadai, sehingga banyak jenazah akhirnya dikubur tanpa nama dan tanpa perpisahan terakhir.
Bagaimana langkah hukum untuk menindaklanjuti temuan ini?
Komite Pengelolaan Jenazah mencakup perwakilan dari Kementerian Kesehatan, Wakaf, Dalam Negeri, Kehakiman, Kejaksaan, dan juga Palang Merah.
Kami memiliki penasihat hukum dan berencana menyusun berkas lengkap untuk dibawa ke lembaga internasional. Ini bukan hanya isu kemanusiaan, tapi juga bukti kejahatan perang yang sistematis.