Thursday, October 30, 2025
HomeBeritaAlbanese: Rencana Trump untuk Gaza, sebuah penghinaan

Albanese: Rencana Trump untuk Gaza, sebuah penghinaan

Pernyataan keras kembali dilontarkan oleh Francesca Albanese, Pelapor Khusus PBB untuk Hak Asasi Manusia di wilayah pendudukan Palestina.

Dalam wawancara dengan iPaper Inggris, ia menyebut rencana perdamaian untuk Gaza yang digagas mantan Presiden AS Donald Trump sebagai “penghinaan terburuk” yang pernah ia saksikan sepanjang hidupnya.

“Saya tidak percaya pada proses perdamaian ini, karena saya tidak mempercayai orang-orang yang menanganinya. Tidak ada perdamaian yang dapat dibangun di atas pelanggaran hukum internasional,” tegasnya.

Menurut Albanese, Israel tidak menginginkan keberadaan rakyat Palestina di Gaza, dan hal itu sudah jelas sejak lama.

Ia juga menolak penyebutan “gencatan senjata” dalam rencana tersebut, sebab yang terjadi di Gaza “bukan perang antara dua negara atau dua tentara, melainkan serangan terhadap rakyat yang hidup di bawah pendudukan dan terkurung dalam ghetto sejak 1948,” katanya.

Dalam laporan iPaper yang ditulis oleh korespondennya di Afrika Selatan, Joe Walsh, disebutkan bahwa rencana yang diusung pemerintahan Trump itu dikhawatirkan akan melanjutkan proses “pembersihan etnis” terhadap warga Palestina di Jalur Gaza.

Sejak menjabat pada Maret 2022, Francesca Albanese kerap menjadi sasaran kampanye hitam dan tekanan politik karena pandangannya yang menuntut penghentian pendudukan Israel dan penegakan keadilan bagi rakyat Palestina.

Meski bekerja di bawah mandat PBB, Albanese tidak berbicara atas nama organisasi itu secara resmi.

Namun, pernyataannya yang menuduh Israel melakukan genosida di Gaza sejak serangan 7 Oktober 2023 membuatnya menjadi target kecaman keras, terutama dari pemerintah Israel dan sekutunya.

“Penghinaan yang mengerikan”

Dalam wawancara yang sama, ia mengibaratkan keterlibatan Israel dalam pembicaraan gencatan senjata dengan analogi tajam.

“Ini seperti membiarkan kaum Hutu menentukan masa depan kaum Tutsi setelah genosida Rwanda. Bisakah Anda membayangkan membahas masa depan bangsa Yahudi bersama Nazi? Ini penghinaan yang mengerikan,” ujarnya.

Artikel tersebut juga menyoroti pernyataan Brent Bozell, calon duta besar pemerintahan Trump untuk Afrika Selatan, yang secara terbuka menyatakan bahwa salah satu misinya adalah menekan pemerintah Afrika Selatan agar menarik gugatan terhadap Israel di Mahkamah Internasional (ICJ).

Albanese menanggapi dengan nada getir.

“Bayangkan betapa menyedihkannya ketika sebuah negara membangun kebijakan luar negerinya dengan menghancurkan sistem internasional dan mencegah para korban genosida mendapatkan keadilan. Betapa menyedihkan bahwa Amerika Serikat telah menurunkan dirinya ke level seperti ini,” katanya.

Pada Juli lalu, Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio mengumumkan sanksi terhadap Francesca Albanese, menudingnya “bersikap bias terhadap Israel” dan “menyerang kebijakan AS.”

Akibat sanksi itu, Albanese tidak lagi dapat mengakses kantornya di New York dan terpaksa melanjutkan pekerjaannya dari Afrika Selatan.

Ia membandingkan langkah Washington itu dengan “metode mafia” di Italia, negara asalnya:

“Ketika mafia ingin menghentikan seseorang dari memperjuangkan keadilan, mereka akan menghancurkan reputasinya terlebih dahulu,” terangnya.

Dalam penutup wawancara, Albanese menegaskan bahwa memberi Israel peran utama dalam menentukan masa depan rakyat Palestina adalah keputusan yang tidak dapat diterima.

“Sungguh tak masuk akal memberi wewenang kepada negara yang telah diajukan ke dua pengadilan internasional atas tuduhan genosida dan kejahatan perang untuk menentukan masa depan rakyat yang menjadi korbannya,” pungkasnya.

Bagi Francesca Albanese, keadilan bagi Palestina bukan sekadar wacana hukum, melainkan ujian bagi integritas moral sistem internasional. Dan dalam pandangannya, dunia kini sedang gagal menghadapi ujian itu.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Terpopuler