Monday, November 10, 2025
HomeBeritaDari tumpukan reruntuhan ke ruang kelas: Kisah kebangkitan pendidikan di Gaza

Dari tumpukan reruntuhan ke ruang kelas: Kisah kebangkitan pendidikan di Gaza

Setelah dua tahun perang pemusnahan di Jalur Gaza, dan di tengah perjanjian gencatan senjata yang mulai berlaku, kehidupan perlahan berdenyut kembali di dunia pendidikan di wilayah yang hancur itu.

Upaya dilakukan untuk menghidupkan kembali sistem pendidikan yang porak-poranda, di tengah kehilangan besar.

Baik dari sisi manusia, seperti guru, siswa, dan akademisi; maupun dari sisi fisik, berupa ratusan sekolah dan universitas yang berubah menjadi puing-puing.

Untuk memahami situasi terkini dan rencana pemulihan, Al Jazeera Net mewawancarai Menteri Pendidikan dan Pendidikan Tinggi Palestina di Ramallah, Dr. Amjad Barham, mengenai kondisi pendidikan di Gaza.

Selain itu juga membahas strategi pemerintah untuk membangun kembali sistem pendidikan sekolah dan universitas yang menjadi salah satu sektor paling terdampak oleh perang.

Berikut petikan wawancaranya:

Bagaimana anda menggambarkan kondisi pendidikan di Gaza saat ini, setelah 2 tahun perang dan tiga tahun ajaran yang terganggu?

Kondisinya sangat buruk. Kami berbicara tentang 427 gedung sekolah, sebagian rusak sebagian, sementara 293 sekolah keluar dari layanan karena hancur total.

Sekolah-sekolah yang tersisa—baik milik pemerintah maupun milik UNRWA (Badan PBB untuk Pengungsi Palestina)—saat ini menampung para pengungsi yang kehilangan rumah mereka. Dalam kondisi seperti ini, pendidikan tatap muka hampir mustahil dilakukan.

Di tingkat universitas, 80 persen bangunan hancur, sebagian lagi lenyap sepenuhnya dari peta, seperti halnya Gaza Intermediate College.

Saat ini, kami menghadapi kesulitan besar untuk mengembalikan perkuliahan tatap muka di universitas-universitas itu.

Bahkan pendidikan daring sulit dijalankan, terutama bagi fakultas yang membutuhkan laboratorium atau kegiatan praktik, seperti pendidikan, kedokteran, sains terapan, dan teknik.

Masalah lain yang kami hadapi adalah banyaknya pengungsi yang kini tinggal di kampus-kampus yang masih berdiri.

Jumlah siswa di Gaza mencapai 720.000 orang, separuhnya bersekolah di sekolah pemerintah dan separuh lagi di sekolah UNRWA.

Sementara itu, 88.000 mahasiswa tercatat di perguruan tinggi.

Kami juga kehilangan banyak tenaga pendidik dan akademisi. Selama perang ini, 1.037 guru gugur bersama keluarganya, dan 20.000 siswa meninggal dunia.

Selain itu, tentara Israel secara langsung menargetkan akademisi terkemuka di Gaza, sosok-sosok yang memiliki kontribusi penting dalam riset ilmiah di tingkat internasional.

Apa saja langkah yang dilakukan selama masa perang untuk menjaga keberlangsungan pendidikan?

Kami bekerja di 2 lini: pendidikan dasar-menengah dan pendidikan tinggi. Setelah seluruh kegiatan pendidikan terhenti selama beberapa bulan pertama perang, kami memutuskan untuk beralih ke sistem sekolah virtual.

Sambil mengaktifkan kembali kegiatan universitas melalui pembelajaran jarak jauh, baik dengan universitas di Palestina maupun universitas-universitas Arab lainnya.

Dalam bidang pendidikan tinggi, kami mencatat keberhasilan besar. Hampir semua mahasiswa di dalam Gaza kembali kuliah melalui universitas-universitas Palestina.

Adapun mahasiswa yang mengungsi ke luar Gaza — sebagian besar di Mesir (sekitar 4.500 orang) — kami daftarkan di universitas Mesir dan universitas internasional lewat perjanjian khusus yang memungkinkan mereka kuliah sebagai mahasiswa tamu.

Prioritas diberikan bagi mahasiswa tingkat akhir. Kini, banyak di antara mereka yang sudah lulus dan memasuki dunia kerja.

Tantangan terbesar kami adalah menghidupkan kembali pendidikan sekolah di tengah perang.

Pada tahun pertama, sulit menemukan tempat yang aman, sehingga tahun ajaran pertama hilang sepenuhnya.

Namun pada awal tahun ajaran berikutnya, September 2024, kami meluncurkan rencana sekolah virtual untuk menebus kehilangan tersebut.

Tahun ajaran dibagi menjadi 2 untuk mengganti materi yang hilang, disertai paket-paket pembelajaran untuk mata pelajaran inti, serta dukungan berupa pusat belajar tatap muka bagi siswa yang memungkinkan.

Untuk menjalankan sistem ini, kami merekrut 3.000 guru dari Tepi Barat. Tantangan teknis besar kami hadapi—pemadaman listrik, gangguan internet, hingga perpindahan pengungsi—namun kami tetap berhasil.

Sekitar 400.000 siswa kembali mengikuti pelajaran, separuhnya di bawah naungan UNRWA.

Sekolah virtual ini meniru sistem sekolah nyata: lengkap dengan kepala sekolah dan guru. Model ini terbukti efektif untuk menebus kehilangan belajar tahun pertama.

Kendala terbesar muncul pada paruh kedua tahun ajaran 2024–2025, ketika serangan Israel kembali meningkat dan pengungsian terus terjadi.

Meski begitu, sebagian besar siswa mampu menyelesaikan kewajiban akademik berkat dukungan 630 pusat belajar tatap muka yang berpindah mengikuti lokasi pengungsian.

Semua upaya itu berpuncak pada pelaksanaan ujian akhir sekolah menengah (Tawjihi) pada masa gencatan senjata kedua, Januari 2025, mencakup tiga kelompok ujian:

  1. Ujian bagi 2.000 siswa yang gagal ujian 2023.
  2. Ujian untuk 27.000 siswa tahun ajaran 2023–2024.
  3. Ujian bagi 31.000 siswa tahun ajaran 2024–2025.

Apa tantangan dan keberhasilan utama dari pengalaman ini?

Pada awalnya, kami mengandalkan paket pembelajaran cetak yang bersifat sederhana dan bisa dipelajari mandiri, sebab Israel melarang masuknya kertas ke Gaza.

Kami juga membangun platform daring yang bisa digunakan tanpa koneksi internet (offline) untuk mengatasi pemadaman listrik dan gangguan jaringan.

Tantangan lain datang dari serangan siber yang menargetkan sistem pendaftaran, hingga kami harus membangun ulang sistem yang lebih aman.

Meski begitu, kelanjutan pendidikan, meski hanya virtual, menjadi terapi psikologis bagi para siswa.

Banyak dari mereka tidak yakin akan mampu mengikuti ujian akhir, namun hasilnya luar biasa — membawa kebahagiaan besar bagi mereka dan keluarga masing-masing.

Secara administratif, bagaimana proses penerbitan ijazah dan pendaftaran dilakukan?

Kami bekerja dengan dua mekanisme. Pertama, mengirimkan daftar kelulusan dari Tepi Barat ke Gaza melalui lembaga internasional.

Kedua, pengesahan dan penyerahan ijazah langsung di Gaza dengan cap resmi dari kementerian.

Apakah ada rencana untuk menutup kekurangan tenaga pengajar? Bagaimana dengan masalah anggaran?

Kami kehilangan sekitar 300 sekolah lengkap — bangunan, guru, siswa, dan stafnya — dari total 427 sekolah. Sekolah-sekolah itu benar-benar lenyap dari catatan.

Bagi 70.000 siswa yang lulus ujian akhir, rencana pertama kami adalah mengembalikan mereka ke universitas-universitas di Gaza.

Karena kondisi keuangan mereka sulit, kami mengupayakan bantuan biaya kuliah. Tanpa biaya ini, universitas sulit mempertahankan staf dan merekrut dosen baru.

Kami juga menandatangani kesepakatan dengan para pengusaha Palestina di Amerika Serikat (AS) untuk membantu membayar biaya kuliah para mahasiswa.

Upaya ini tengah berjalan, dan diharapkan dapat menghidupkan kembali universitas serta membuka lapangan kerja bagi dosen baru.

Untuk pendidikan dasar dan menengah, kami juga menyiapkan rencana perekrutan guru baru sesuai kebutuhan.

Apakah sanksi terhadap UNRWA menambah beban bagi pemerintah anda?

Kami mengadakan pertemuan koordinatif rutin dengan UNRWA. Hingga kini, belum ada perubahan besar dalam pelaksanaan pendidikan tatap muka di sekolah-sekolah mereka.

Kami berharap UNRWA terus memikul tanggung jawabnya, sebab sekolah-sekolah mereka menampung setengah dari jumlah siswa Gaza. Jika mereka berhenti, bebannya akan langsung berlipat pada kami.

Setelah gencatan senjata, apa rencana anda untuk membangun kembali sistem pendidikan Gaza?

Rencana kami berfokus pada pemulihan pendidikan tatap muka penuh pada 2026, melalui program “Bantuan Darurat Pendidikan”.

Saat ini, 22.000 siswa sudah kembali belajar di ruang kelas, dan target kami adalah 380.000 siswa pada tahun depan—artinya 100 persen sekolah, baik negeri maupun UNRWA, kembali beroperasi.

Kami tengah melakukan pendataan kerusakan sekolah untuk menyusun prioritas pembangunan.

Rekonstruksi memang jangka panjang, namun saat ini kami menargetkan tahap darurat, dengan membangun sekolah-sekolah sementara di lahan sekolah yang hancur.

Sekolah sementara ini lebih layak dibanding tenda atau kontainer, karena lebih aman secara iklim dan lebih nyaman bagi siswa dan guru.

Satu sekolah bisa digunakan tiga kali rotasi belajar setiap hari untuk menampung lebih banyak murid.

Kami juga melakukan pendataan tenaga pendidik untuk mengetahui kebutuhan dan segera merekrut tambahan guru.

Sementara pembangunan berjalan, sistem sekolah virtual tetap berlanjut, sampai kondisi memungkinkan untuk beralih sepenuhnya ke tatap muka.

Hal yang sama kami lakukan di universitas: memetakan kerusakan bangunan dan mengembangkan laboratorium virtual untuk fakultas kedokteran, teknik, dan sains terapan, agar kegiatan belajar-mengajar bisa berjalan kembali.

Semua itu tentu membutuhkan dana besar. Dari mana sumber pembiayaannya?

Kami sudah menyusun rencana dan mulai mengimplementasikannya untuk meyakinkan para donor bahwa program ini layak didukung.

Belum ada angka pasti mengenai total anggaran, namun kami berupaya menggalang dana dari lembaga-lembaga Arab serta institusi lokal Palestina.

Israel masih melarang masuknya buku dan alat tulis ke Gaza. Bagaimana anda mengatasinya?

Masalah ini memang masih berlangsung. Kami berusaha memasukkan kertas dan perlengkapan belajar dalam jumlah terbatas.

Kami juga telah bertemu dengan lembaga internasional seperti UNDP, UNICEF, dan UNESCO untuk mengizinkan masuknya 49 truk perlengkapan pendidikan.

Kami berharap gencatan senjata bertahan dan tidak terjadi serangan baru, agar kami dapat menekan lebih jauh untuk memasukkan lebih banyak pasokan.

Selama 2 tahun perang, siswa dan guru mengalami trauma mendalam. Apakah ada rencana dukungan psikologis bagi mereka?

Apa yang dialami para siswa dan guru di luar batas nalar manusia. Karena itu, sebagian dari program kami adalah pemulihan psikososial — mengintegrasikan kembali mereka ke dalam kehidupan masyarakat melalui kegiatan pendidikan.

Kami juga tengah mengembangkan program terapi bersama lembaga-lembaga internasional, karena sumber daya kami sendiri tidak mencukupi untuk menangani semua dampak perang secara menyeluruh.

“Yang kami lakukan bukan sekadar membangun sekolah, tetapi membangun kembali kehidupan,” tutur Dr. Amjad Barham menutup percakapan.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Terpopuler