Sejak pendudukan Tepi Barat pada 1967, ratusan ribu warga Palestina telah menjalani proses hukum di pengadilan militer Israel.
Mereka diadili jauh dari prinsip keadilan universal, dan banyak di antara mereka dijatuhi hukuman berat berdasarkan undang-undang dan perintah militer Israel, atau peraturan warisan masa Mandat Inggris.
Menurut organisasi HAM Israel B’Tselem, yurisdiksi pengadilan militer mencakup pelanggaran yang dianggap “berkaitan dengan keamanan”—yakni segala bentuk perlawanan terhadap pendudukan—serta pelanggaran yang dianggap “mengancam ketertiban umum”, termasuk pelanggaran lalu lintas.
Dalam laporannya, B’Tselem menyebut bahwa praktik “penahanan hingga akhir proses hukum”—yakni penahanan sampai putusan akhir dijatuhkan—merupakan salah satu aspek paling bermasalah dari sistem ini.
“Dari luar, pengadilan militer tampak seperti lembaga peradilan pada umumnya, dengan jaksa, pengacara pembela, hakim, dan prosedur hukum yang terkesan formal. Namun di balik tampilan ‘resmi’ itu, bekerja salah satu alat penindasan paling bengis dari rezim pendudukan,” tulis organisasi itu.
Semua hakim dan jaksa di pengadilan militer adalah warga Israel—tentara yang mengenakan seragam militer—sementara orang-orang Palestina selalu berdiri di kursi terdakwa, dan dalam sebagian besar kasus, berakhir dengan vonis bersalah.
Berikut penjelasan mengenai bagaimana para tahanan Palestina diadili, serta dasar hukum yang digunakan pengadilan Israel dalam menjatuhkan putusan terhadap mereka.
Berapa jumlah tahanan Palestina di penjara Israel?
Hingga akhir Oktober 2025, jumlah total tahanan dan narapidana Palestina di penjara-penjara Israel telah melampaui 9.250 orang, menurut data Nadi al-Asir (Klub Tahanan Palestina).
Dari jumlah itu, hanya 1.242 orang (sekitar 13%) yang telah dijatuhi hukuman; 3.368 orang (36%) ditahan secara administratif tanpa dakwaan resmi.
1.205 orang dikategorikan Israel sebagai “kombatan ilegal” (unlawful combatants), termasuk beberapa tahanan dari Lebanon dan Suriah.
Angka ini belum mencakup semua warga Gaza yang kini ditahan di kamp-kamp militer Israel.
Di mana para tahanan diadili dan seperti apa struktur pengadilannya?
Di Tepi Barat terdapat 2 pengadilan militer tingkat pertama:
- Pengadilan Militer Ofer, yang terletak di Penjara Ofer, sebelah barat Ramallah.
- Pengadilan Militer Salem, dekat kota Jenin.
Selain itu, terdapat pula:
- Pengadilan Militer Banding, yang berkedudukan di Kamp Ofer dan menjadi otoritas bagi kedua pengadilan utama tadi.
- Pengadilan Militer untuk Proses Penahanan dan Interogasi, berlokasi di pusat-pusat penyelidikan Shin Bet (dinas keamanan Israel) seperti Jalameh, Petah Tikva, Ashkelon, dan Maskubiyah di Yerusalem.
- Dua pengadilan administratif, masing-masing di Kamp Ofer dan Penjara Negev, yang mengurus kasus penahanan administratif.
- Sejak 2009, terdapat pula pengadilan militer khusus untuk anak-anak, yang juga berlokasi di Kamp Ofer.
Sidang dapat digelar dengan kehadiran tahanan (yang seringkali memerlukan perjalanan berhari-hari dalam kondisi memprihatinkan), atau dilakukan secara in absentia (tanpa kehadiran terdakwa), bahkan lewat sambungan video.
Apakah para tahanan mendapat kesempatan pembelaan yang adil?
Prosedur pengadilan berbeda tergantung pada status tahanan: apakah mereka ditahan administratif tanpa dakwaan atau diadili dengan berkas perkara terbuka.
Penahanan administratif dikeluarkan oleh dinas intelijen Israel atau langsung oleh Menteri Pertahanan, dengan alasan keberadaan “bukti rahasia” yang diklaim menunjukkan bahwa tahanan tersebut mengancam keamanan.
Setiap keputusan penahanan berlaku enam bulan, namun dapat diperpanjang berkali-kali, bahkan bertahun-tahun.
Menurut Klub Tahanan Palestina, pengadilan administratif hanyalah “formalitas semu”, dengan semua elemen—hakim, jaksa, pengacara, dan tahanan—hadir dalam sidang yang tidak mencerminkan prinsip dasar peradilan yang adil.
Tidak ada dakwaan resmi, tidak ada saksi yang dapat dikonfrontasi, dan tahanan maupun pengacaranya tidak diizinkan melihat berkas rahasia yang digunakan untuk menahannya.
Dalam sistem ini, keputusan memperpanjang atau menghentikan penahanan berada sepenuhnya di tangan dinas intelijen Israel.
Sementara pengadilan dengan dakwaan resmi berlaku bagi mereka yang dituduh melakukan pelanggaran tertentu.
Dalam kasus seperti ini, tahanan boleh menunjuk pengacara untuk membela dirinya, dan keluarga kadang diizinkan hadir.
Namun dalam banyak kasus, pengacara memilih menempuh “kesepakatan pengakuan bersalah” (plea bargain).
Tujuannya, demi mempercepat proses yang seringkali tidak berpihak dan untuk menghindari penderitaan tahanan akibat berulang kali dibawa ke ruang sidang di bawah perlakuan kasar.
Apa peran para pengacara?
Dalam kasus penahanan administratif, peran pengacara sangat terbatas. Mereka tidak memiliki akses terhadap berkas kasus dan hanya dapat mengajukan banding atas keputusan penahanan atau memperkarakannya ke pengadilan lebih tinggi.
Untuk kasus dengan dakwaan, lembaga-lembaga seperti Otoritas Urusan Tahanan Palestina dan Klub Tahanan Palestina menugaskan pengacara untuk mendampingi para tahanan, termasuk mengajukan banding atas putusan pengadilan.
Namun efektivitas langkah hukum itu sering kali minim, karena pengadilan berada di bawah sistem militer yang tunduk sepenuhnya pada keputusan komando tentara.
Setelah perang genosida di Gaza, bahkan kunjungan pengacara ke penjara-penjara menjadi semakin sulit karena pembatasan ketat dari otoritas Israel.
Apa dasar hukum yang digunakan pengadilan militer Israel?
Dalam wilayah pendudukan, komandan militer Israel berfungsi sekaligus sebagai otoritas eksekutif, legislatif, dan yudikatif, dengan kekuasaan menerbitkan atau mengubah perintah militer kapan pun dianggap perlu untuk “kepentingan keamanan Israel”.
Menurut Lembaga al-Damir untuk Pembelaan Hak Asasi dan Perawatan Tahanan, Israel telah menyiapkan sistem peradilan militer ini jauh sebelum 1967.
Dokumen rencana rinci untuk mendirikan pengadilan militer telah disusun sejak 1963.
Segera setelah pendudukan Tepi Barat pada Juni 1967, komandan militer Israel mengeluarkan 3 deklarasi militer:
- Menetapkan kekuasaan militer atas wilayah pendudukan untuk tujuan administrasi dan keamanan.
- Membentuk sistem pengadilan militer di wilayah yang baru diduduki.
- Mengatur prosedur hukum di depan pengadilan militer, termasuk definisi “kejahatan” dan jenis hukuman yang akan dijatuhkan.
Peneliti urusan tahanan, Munqidz Abu Athwan, menjelaskan kepada Al Jazeera Net bahwa Israel menerapkan kombinasi dari perintah militer modern dan hukum warisan kolonial Inggris.
Termasuk konsep penahanan administratif yang dulu digunakan pemerintah Mandat Inggris.
“Seluruh sistem ini sangat represif, bahkan seorang anak yang melempar batu bisa dipenjara berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun. Semua tergantung pada penilaian subjektif komandan militer dan wilayah operasi,” ujarnya.
Abu Athwan menambahkan bahwa Israel kini sedang membahas undang-undang hukuman mati bagi tahanan Palestina di Knesset.
Ini merupakan satu-satunya bentuk hukuman yang membutuhkan persetujuan parlemen. Untuk jenis hukuman lain, keputusan tetap di tangan otoritas militer.
Menurutnya, warga Palestina di Yerusalem Timur dan wilayah 1948 (Israel modern) yang dituduh melakukan perlawanan terhadap pendudukan pun diadili dengan prinsip yang sama.
“Secara bentuk, pengadilan mereka tampak sipil, tapi secara substansi tetap menggunakan hukum militer yang berlaku di Tepi Barat,” ujarnya.
Apa peran lembaga-lembaga HAM?
Berbagai lembaga Palestina yang menangani urusan tahanan menyediakan bantuan hukum, menunjuk pengacara, dan mendokumentasikan pelanggaran terhadap para tahanan.
Lembaga-lembaga seperti Klub Tahanan Palestina, al-Damir, dan Komisi Urusan Tahanan secara rutin menerbitkan laporan dan menyerahkannya kepada media serta organisasi HAM internasional.
Namun sejak pecahnya perang di Gaza, Komite Internasional Palang Merah dilarang Israel mengunjungi tahanan Palestina.
Lembaga-lembaga lokal berulang kali meminta Palang Merah menegaskan status pembatasan itu secara terbuka, namun tanpa hasil.
Bagaimana kondisi tahanan asal Gaza?
Menurut Lembaga al-Damir untuk Hak Asasi Manusia di Gaza, sejak 7 Oktober 2023 Israel telah melakukan praktik penghilangan paksa terhadap warga Gaza yang ditangkap.
Mereka dipindahkan ke lokasi yang dirahasiakan tanpa akses pengacara maupun lembaga internasional, termasuk Palang Merah.
Pada Februari 2024, Knesset menyetujui pembacaan awal rancangan undang-undang yang meniadakan hak hukum dasar bagi tahanan Gaza, termasuk hak atas pembelaan hukum dan pengadilan yang adil.
Bagi mereka yang disebut Israel sebagai “kombatan ilegal”, dasar hukumnya adalah Undang-Undang Tahun 2002 yang memungkinkan penahanan tanpa batas waktu terhadap siapa pun yang diduga terlibat dalam “aksi permusuhan” terhadap Israel.
Tahanan jenis ini bisa ditahan tanpa dakwaan, tanpa bukti yang dapat diperiksa di pengadilan, karena seluruh berkas mereka diklaim sebagai “rahasia keamanan”.
Sejak 2005, hukum ini diterapkan secara luas terhadap warga Gaza, membuat mereka kehilangan hak atas peninjauan hukum dan sidang yang adil.
Lebih jauh, pada 26 Oktober 2025, Knesset menyetujui rancangan awal “Undang-Undang Pasukan Elite”.
Undang-undang itu akan membentuk pengadilan khusus bagi warga Palestina yang diduga terlibat dalam serangan 7 Oktober 2023.
Rancangan hukum itu berangkat dari asumsi bahwa peristiwa 7 Oktober merupakan “genosida terhadap bangsa Yahudi”.
Sehingga memungkinkan Israel menggunakan Undang-Undang Pencegahan dan Hukuman atas Kejahatan Genosida 1950. Hukum yang awalnya dibuat untuk menuntut penjahat perang Nazi.


