Thursday, November 13, 2025
HomeBeritaUjian musim dingin pertama: Gaza terancam tenggelam

Ujian musim dingin pertama: Gaza terancam tenggelam

Menjelang musim dingin yang kerap datang sebagai “tamu berat” bagi warga Palestina di Jalur Gaza, para pengungsi sibuk memperkuat tenda-tenda lusuh mereka.

Mereka tahu, hari-hari penuh penderitaan menanti: air hujan akan merembes dari atas, sementara air limbah siap menggenangi dari bawah.

Kekhawatiran meningkat di kamp-kamp pengungsian yang berdiri di dekat kolam penampungan air hujan.

Pemerintah kota di Gaza memperingatkan potensi banjir akibat meluapnya kolam tersebut, yang bisa menenggelamkan jalan-jalan dan tempat penampungan sementara di sekitarnya.

Lebih dari dua juta penduduk Gaza kini menatap musim dingin dengan rasa cemas. Dua tahun agresi Israel telah meluluhlantakkan seluruh infrastruktur sipil tanpa tanda-tanda perbaikan.

Tak ada sistem drainase, tak ada saluran air, dan tak ada jaminan bahwa rumah atau tenda mereka akan aman ketika hujan pertama turun.

Infrastruktur yang hancur

Di kawasan Sheikh Radwan, bagian utara Kota Gaza, pemandangan kehancuran terlihat nyata. Sisa reruntuhan operasi darat besar-besaran Israel pada Agustus lalu masih berserakan.

Selama operasi itu, pasukan Israel menghancurkan seluruh jaringan pembuangan yang mengalirkan air dari kolam ke pantai.

Akibatnya, permukaan air naik ke tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya—menjadi ancaman banjir begitu musim hujan tiba.

Juru bicara Pemerintah Kota Gaza, Husni Mahna, menyebutkan bahwa sekitar 85 persen infrastruktur layanan publik di kota terbesar di Jalur Gaza itu telah rusak berat.

Empat kolam utama penampung air hujan—yang berfungsi sebagai benteng pelindung kota saat musim hujan—hancur total.

“Israel menghancurkan lebih dari 15 ribu meter jaringan drainase air hujan, 180 ribu meter jaringan limbah, serta 1.600 titik pembuangan dari total 4.400,” ujarnya kepada Al Jazeera Net.

Ia menambahkan, sejumlah besar stasiun pompa dan pengolahan air juga hancur atau tidak berfungsi.

Kerusakan itu membuat sistem drainase kota lumpuh sebagian besar atau bahkan sepenuhnya.

Mahna memperingatkan, dengan kondisi ini, banyak kawasan berisiko tinggi—terutama wilayah rendah dan yang hancur akibat perang—akan terendam air kotor saat badai pertama datang.

Krisis di kamp-kamp pengungsi

Kondisi serupa terjadi di Kamp Jabalia, utara Gaza. Para pengungsi terpaksa kembali ke sekitar kolam Abu Rashid, yang juga berfungsi menampung air hujan, meski kolam itu rusak akibat serangan udara.

Data dari Kementerian Pemerintahan Lokal Gaza menunjukkan tingkat kerusakan yang luar biasa:.

Lebih dari 700 ribu meter jaringan air dan jumlah serupa jaringan limbah hancur, disertai kerusakan lebih dari 3 juta meter jaringan jalan.

Tak hanya itu, 725 sumur air utama kini tak berfungsi, dan 134 proyek air bersih hancur.

Empat kepala lembaga lokal tewas akibat serangan Israel, dan 176 pegawai pelayanan publik turut terbunuh.

Total kerugian awal sektor pelayanan publik dan kota diperkirakan mencapai 6 miliar dolar AS.

Pemerintah kota di berbagai wilayah Gaza kini memperingatkan potensi meluasnya banjir akibat saluran yang tersumbat dan sistem drainase yang runtuh.

Banjir dari kolam penampungan yang rusak bisa membawa air limbah ke jalan, rumah, dan kamp-kamp pengungsi—menciptakan risiko langsung bagi keselamatan dan kesehatan warga.

“Jaringan pembuangan sekarang tidak mampu menampung volume air tambahan, karena kerusakan begitu luas dan tidak ada pasokan energi untuk mengoperasikan stasiun-stasiun pompa,” kata seorang pejabat setempat.

Kebutuhan mendesak

Kementerian Pemerintahan Lokal menyebut, agar Gaza tidak tenggelam, dibutuhkan peralatan dan bahan yang sangat spesifik:

  • pipa dan saluran dengan berbagai ukuran,
  • penutup lubang pembuangan,
  • pompa baru dengan kapasitas berbeda,
  • bahan bangunan untuk memperkuat kolam penampungan,
  • sumber energi alternatif seperti generator dan panel surya,
  • bahan bakar dalam jumlah besar untuk menjalankan pompa,
  • alat berat untuk penggalian dan pembersihan saluran,
  • serta perlengkapan pendukung seperti baterai dan pelumas.

Namun semua kebutuhan itu terhambat. Israel melarang masuknya bahan dan peralatan tersebut—dengan alasan “penggunaan ganda”—sejak awal perang.

Larangan itu melumpuhkan kemampuan pemerintah kota untuk melakukan perawatan darurat sebelum musim dingin datang, meningkatkan risiko bencana yang tak terelakkan.

Di seluruh Jalur Gaza, ratusan ribu tenda kini berdiri di atas tanah becek, menampung keluarga-keluarga yang kehilangan rumah. Banyak di antaranya sudah lapuk, tidak lagi layak huni.

Ismail al-Thawabteh, Direktur Kantor Media Pemerintah Gaza, mengatakan kepada Al Jazeera Net bahwa warga kini memerlukan sekitar 300 ribu tenda baru.

“Selama dua tahun agresi, pasukan Israel menghancurkan rata-rata 367 unit rumah setiap hari. Artinya, 394 keluarga kehilangan tempat tinggal setiap hari, dan setiap tiga hari, satu pusat pengungsian diserang,” ujarnya.

Sebagian besar pengungsi, katanya, kini tinggal di tenda-tenda yang berumur lebih dari dua tahun dan rusak karena cuaca ekstrem.

“Mereka kini paling rentan terhadap kematian, penyakit, atau tenggelam saat musim dingin tiba,” katanya.

Pemerintah kota memperingatkan bahwa puluhan ribu pengungsi masih tinggal di daerah tanpa akses air bersih maupun sanitasi setelah jaringan dasar dihancurkan.

Dalam seruannya kepada PBB, lembaga kemanusiaan, dan negara-negara donor, Pemerintah Kota Gaza menekankan bahwa waktu hampir habis.

“Gaza berdiri di ambang musim dingin paling berbahaya dalam beberapa decade. Dunia harus bertindak sekarang, sebelum penderitaan berubah menjadi bencana kemanusiaan dan lingkungan yang tak terkendali,” demikian pernyataan mereka.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Terpopuler