Saturday, November 15, 2025
HomeBeritaEconomist: Gaza jadi wilayah dengan bom tak meledak terbanyak di dunia

Economist: Gaza jadi wilayah dengan bom tak meledak terbanyak di dunia

Majalah The Economist memperingatkan bahwa Jalur Gaza yang hancur akibat perang berpotensi menjadi kawasan dengan jumlah bom tak meledak (UXO) terbesar di antara seluruh zona konflik di dunia.

Dalam laporannya, majalah itu menekankan bahwa sisa-sisa bahan peledak merupakan ancaman jangka panjang yang paling mematikan: ia terus menewaskan dan melukai warga sipil meskipun serangan udara telah berhenti.

Ancaman di bawah reruntuhan

Menurut The Economist, bahaya terbesar kini tersembunyi di balik puing-puing bangunan.

Sebagian amunisi yang dijatuhkan militer Israel dilengkapi dengan mekanisme peledak berpenundaan, sehingga meledak di dalam struktur bangunan atau jauh di bawah permukaan tanah.

Situasi ini menciptakan medan berbahaya yang hampir mustahil dipetakan secara akurat.

Data PBB menunjukkan lebih dari 53 orang meninggal dan ratusan lainnya cedera akibat sisa-sisa perang yang telah berlangsung dua tahun di Gaza.

Organisasi-organisasi kemanusiaan memperkirakan angka sebenarnya jauh lebih tinggi, mengingat keterbatasan akses dan sistem pelaporan.

Salah satu kasus yang disorot adalah tragedi yang menimpa dua bocah kembar, Yahya dan Nabila al-Syarbasi, masing-masing berusia enam tahun.

Keduanya mengalami luka serius setelah tanpa sadar bermain dengan sebuah bom yang mereka kira sebagai mainan.

Berdasarkan data PBB dan perkiraan lapangan lembaga kemanusiaan, total amunisi tak meledak di Gaza diperkirakan melebihi 7.000 ton.

Sekitar 40 persen wilayah permukiman diyakini tercemar oleh sisa-sisa bahan peledak, dengan konsentrasi lebih dari 3.000 ton terkumpul di Beit Hanoun, Beit Lahiya, dan Jabalia.

Tantangan berat pembersihan ranjau

Organisasi Humanity & Inclusion memperkirakan proses pembersihan total dapat memakan waktu antara 20 hingga 30 tahun, kecuali jika ada intervensi teknik berskala besar dan cepat dari komunitas internasional.

Niek Orr, pakar penjinakan amunisi dari organisasi tersebut, mengatakan bahwa pembersihan penuh mustahil dilakukan karena banyak bahan peledak tertanam jauh di bawah permukaan tanah.

“Kita akan terus menemukannya selama beberapa generasi. Situasinya mirip dengan yang dialami kota-kota di Inggris setelah Perang Dunia II,” ujar Orr.

Majalah itu juga mencatat bahwa PBB masih berjuang untuk membersihkan amunisi tak meledak di Mosul, kendati kota itu dibebaskan dari ISIS melalui operasi militer yang jauh kurang intens dibanding serangan di Gaza.

Jika Mosul saja masih menjadi tantangan, situasi Gaza dipandang jauh lebih berat dan berbahaya.

Inggris telah berkomitmen memberikan 4 juta pound sterling (sekitar 5,25 juta dolar AS) untuk mendukung upaya penjinakan oleh PBB.

Namun The Economist menegaskan bahwa hambatan utama justru datang dari pembatasan Israel terhadap masuknya para ahli dan peralatan penting yang dibutuhkan.

Selain itu, warga Palestina juga dilarang mengikuti pelatihan teknis untuk penanganan bahan peledak.

Banyak peralatan yang diperlukan masuk dalam daftar Israel mengenai barang “berpenggunaan ganda”—yakni barang yang bisa dipakai untuk keperluan sipil maupun militer—sehingga dilarang masuk Gaza.

Akibatnya, tim penjinak harus berinovasi menggunakan sumber daya seadanya, seperti mengisi ulang kantong makanan bekas dengan pasir untuk dijadikan pelindung sederhana saat menangani bahan peledak.

Meski alat dan dana tersedia, tantangan pembersihan di Gaza tetap colossal. Berbeda dengan Mosul, di mana warga bisa dievakuasi sementara proses pembersihan berlangsung, Gaza tidak memiliki kawasan aman bagi penduduknya.

Sebagian besar wilayah hancur total, membuat upaya penjinakan bahan peledak berlangsung di tengah populasi yang tidak memiliki tempat untuk berpindah.

The Economist menyimpulkan bahwa Gaza akan menanggung beban risiko amunisi tak meledak selama puluhan tahun mendatang.

Tanpa dukungan internasional yang kuat—serta kebijakan yang mengizinkan akses peralatan dan keahlian—wilayah itu akan tetap menjadi salah satu kawasan paling berbahaya di dunia pascakonflik.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Terpopuler