Hujan pertama yang mengguyur Jalur Gaza pada awal musim dingin membawa babak baru dari penderitaan panjang warga yang terusir akibat perang pemusnahan Israel.
Dalam hitungan menit, kamp-kamp pengungsian menjelma menjadi kubangan lumpur; puluhan tenda yang menampung ribuan keluarga tergenang air dan nyaris tak lagi mampu berdiri.
Bagi masyarakat Gaza yang sudah terhimpit perang, kelaparan, dan penyakit, hujan tak lagi menjadi pertanda musim yang penuh harapan.
Ia berubah menjadi ancaman baru yang membayangi tubuh-tubuh letih yang hidup di atas reruntuhan.
Tenda-tenda yang ditelan lumpur
Dalam beberapa jam saja, air hujan menerobos tenda-tenda lusuh yang selama ini hanya bertahan berkat tambalan kain dan tiang seadanya.
Air melarutkan sisa-sisa alas tidur para pengungsi, menyeret barang-barang sederhana yang mereka bawa ketika melarikan diri dari gempuran.
Di media sosial, beredar luas gambar dan rekaman anak-anak yang mengibaskan selimut basah mereka.
Para ibu berjuang menyelamatkan sedikit harta benda di dalam tenda yang lantainya telah berubah menjadi kolam lumpur.
Seiring derasnya hujan, tagar “Gaza Tenggelam”, “Musim Dingin Pengungsi”, dan “Tenda yang Terendam” memenuhi lini masa.
Banyak aktivis menuduh Israel terus melanjutkan perang pemusnahan melalui kelaparan, dingin, dan penyakit, dengan membiarkan ratusan ribu warga hidup tanpa tempat berlindung yang layak dan tanpa bantuan darurat.
Mereka menggambarkan kondisi Gaza pada awal badai musim dingin ini: tenda-tenda roboh di atas penghuninya, tanah yang berubah menjadi jebakan lumpur, dan gelombang pengungsian yang terus berulang.
Dalam sebuah video yang menyayat hati, tampak anak-anak menggigil hebat, beberapa menangis.
Sementara lainnya mengucap kalimat yang seharusnya tak pernah keluar dari mulut seorang bocah: “Lebih baik mati daripada seperti ini.”
Para ibu berusaha menutup tubuh anak-anak mereka dengan kain robek yang tak kuasa menahan hujan maupun dingin.
Aktivis menegaskan, seluruh warga Gaza kini berhadapan langsung dengan bencana tanpa perlindungan, tanpa bantuan, tanpa tempat aman untuk berlindung.
Mereka menilai situasi ini bukan sekadar keterbatasan sumber daya, melainkan bentuk kelalaian yang disengaja, yang menelantarkan satu bangsa dalam menghadapi hujan, lapar, dan hawa beku.
Pertanyaan pun bersahutan: Di mana organisasi hak asasi manusia internasional? Di mana Perserikatan Bangsa-Bangsa dan lembaga-lembaga kemanusiaannya ketika Gaza menghadapi keadaan seperti ini?
Pemandangan yang mengiris hati
Dalam komentar yang meluas di platform daring, banyak warganet menyebut apa yang terjadi di Gaza sebagai salah satu episode paling menyakitkan sejak perang meletus.
Luka fisik mungkin bisa pulih perlahan, tetapi melihat anak-anak tenggelam saat mereka tidur atau mendapati alas tidur berubah menjadi genangan air—semua itu meninggalkan perih yang tak kunjung sembuh.
“Ini tragedi yang tak sanggup digambarkan kata-kata. Tenda-tenda yang compang-camping itu kini roboh karena hujan deras. Orang-orang yang kelelahan tak tahu ke mana harus berlindung dari air yang kembali mengalir masuk,” tulis seorang pengguna.
Yang lain menggambarkan momen ketika hujan turun.
“Saat hujan datang, kami diliputi ketakutan. Saya bangun tergesa, memeriksa tenda dan sekelilingnya, melihat titik-titik bocor, mengangkat barang-barang. Kebasahan masih lebih baik daripada tenggelam,” tulisnya.
Seorang aktivis menulis bahwa di antara lumpur dan dingin, para pengungsi menjalani babak baru penderitaan yang tak kunjung berakhir.
“Menunggu perlindungan yang tak pernah tiba, dan kehangatan yang tak juga datang,” terangnya.
Penderitaan yang melampaui batas
Aktivis menggambarkan situasi Gaza sebagai bencana yang sulit digambarkan dengan kata-kata.
Gambar dan rekaman dari dalam kamp memperlihatkan betapa rapuhnya tenda-tenda yang menjadi tempat berlindung keluarga-keluarga yang terusir.
Pada gelombang hujan pertama saja, tenda-tenda itu berubah menjadi perangkap lumpur dan air, membuat anak-anak dan perempuan berhadapan langsung dengan dingin yang kejam.
Hujan yang di tempat lain jatuh di atas atap rumah, di Gaza mengenai tubuh pengungsi secara langsung—membasahi selimut, pakaian, dan harapan kecil yang mereka genggam.
Tanah yang diinjak retak dan menyerap air, berubah menjadi bubur lumpur yang bercampur air mata, dingin, dan rasa lapar.
Para aktivis menegaskan, tragedi ini bukan sekadar tenda yang tergenang, tetapi runtuhnya seluruh sarana kehidupan dasar.
Situasi ini menggambarkan betapa berat penderitaan warga Gaza dalam setiap detik yang mereka jalani.
Bagi banyak orang, apa yang terjadi bukan hanya persoalan cuaca ekstrem, melainkan kelanjutan dari pengepungan yang mencekik seluruh aspek kehidupan di Gaza.
Selain itu juga memaksa warganya menghadapi musim dingin tanpa dinding, tanpa perlindungan, dan tanpa kebutuhan dasar untuk bertahan hidup.
Dengan kondisi yang semakin memburuk, berbagai organisasi lokal dan aktivis menyerukan intervensi kemanusiaan segera.
Mereka memperingatkan bahwa tenda-tenda yang sudah rapuh itu mungkin tidak akan mampu menahan gelombang hujan berikutnya.
Ribuan keluarga kini berada di ambang bahaya tenggelam, kedinginan, dan terusir untuk kesekian kalinya bahkan di dalam pengungsian mereka sendiri.


