Oleh: Faroukou Mintoiba
Ada krisis yang mudah menembus tajuk utama, dan ada pula yang, meskipun penuh tragedi, justru tenggelam dalam kesunyian. Krisis Sudan masuk kategori terakhir. Lebih dari dua tahun perang saudara, 13 juta warga mengungsi, kelaparan meluas, tuduhan genosida mencuat—namun dunia seolah menoleh ke arah lain. Padahal, Sudan pernah berharap pada sebuah titik balik.
Revolusi 2019 menyalakan harapan ketika kaum muda berjuang untuk kebebasan, keadilan, dan diakhirinya kekuasaan militer. Kini, harapan itu tinggal kenangan jauh. Negara itu terperosok dalam spiral kekerasan, kelaparan, dan ketegangan diplomatik. Jalan keluarnya pun kian kabur.
Perang yang terjadi dalam bayangan
Sejak April 2023, Sudan dicabik konflik antara angkatan bersenjata reguler dan Pasukan Dukungan Cepat (RSF), dua bekas sekutu rezim Omar al-Bashir yang tumbang. Konflik yang memasuki tahun ketiga ini memperlihatkan karakter sebagai perang “di balik pintu tertutup”.
Ini adalah konflik kotor dan menghancurkan, di mana warga sipil bukan sekadar korban tambahan, melainkan sasaran utama. Pertempuran antara tentara Sudan dan RSF tak menunjukkan tanda-tanda mereda. Pemerkosaan, penyiksaan, dan pembantaian—PBB menyebutnya sebagai “krisis kemanusiaan terburuk dalam ingatan dunia.”
Angkanya berbicara: lebih dari 150.000 tewas, 13 juta mengungsi, kamp-kamp hancur, kota-kota luluh akibat serangan drone. Khartoum tinggal kenangan. Port Sudan kini menjadi pusat administrasi, meski tetap diteror serangan udara. Negara itu ibarat tanah tandus tak berpenghuni.
Maret 2025, tentara reguler merebut sebagian Khartoum. Beberapa pihak menyambutnya sebagai titik balik. Namun pada April, 480 warga sipil tewas dalam beberapa hari di Darfur Utara. Sekitar 450.000 pengungsi dari Kamp Zamzam kembali melarikan diri. Mei lalu, serangan terhadap sebuah penjara dan kamp pengungsian menewaskan lebih dari 30 warga sipil. Aksi-aksi kebiadaban ini dilakukan tanpa mengindahkan hukum internasional. Saat dua kubu berebut wilayah, justru rakyatlah yang tumbang, melarikan diri, atau tewas ketakutan.
Darurat kemanusiaan yang belum pernah terjadi
Ketika membahas krisis kemanusiaan, kita kerap menyebut Suriah atau Yaman. Namun kini Sudan menjadi pusat krisis pengungsian terbesar di dunia.
Lebih dari 13 juta orang meninggalkan rumah mereka, baik di dalam negeri maupun melintasi perbatasan. Sementara kelaparan mengintai, anak-anak tampak semakin kurus. Hampir separuh penduduk, menurut Program Pangan Dunia, hidup dalam kelaparan—kelaparan yang mematikan, dan tampaknya tidak akan berhenti.
Pada hari-hari tertentu, yang dipikirkan bukan lagi makan, tetapi bagaimana tetap hidup. Rumah sakit luluh lantak. Lembaga kemanusiaan berusaha bertahan… tetapi akses yang tertutup dan kondisi keamanan yang buruk membuat bantuan hampir mustahil diberikan. Karavan bantuan dijarah atau dihadang, sementara jalan-jalan menjadi sasaran serangan.
Lebih buruk lagi, perempuan dan anak-anak menanggung dampak terberat: pemerkosaan sistematis, pernikahan paksa, perekrutan tentara anak, dan berbagai bentuk kekerasan lainnya. Kekacauan ini berlangsung secara sistematis. Kisah-kisah yang mengerikan itu kian lazim terdengar. Jalinan sosial Sudan retak di depan mata dunia.
Papan catur geopolitik yang mengeras
Perang Sudan kini bukan lagi semata urusan internal. Di papan catur tragis ini, berbagai pihak menggerakkan bidaknya. Mei lalu, Pemerintah Sudan memutus hubungan dengan Uni Emirat Arab karena dugaan dukungan terhadap RSF, termasuk pasokan amunisi, drone, dan dana. Sudan bahkan menuduh Abu Dhabi terlibat genosida di Mahkamah Internasional (ICJ), meski pengadilan menyatakan tidak berwenang menangani kasus tersebut. Keputusan itu bukan hanya penolakan, tetapi juga sinyal tentang lemahnya hukum internasional ketika menghadapi tragedi di Afrika.
RSF sendiri makin percaya diri hingga membentuk apa yang dapat disebut sebagai pemerintahan tandingan—kekuatan dan legitimasi paralel. Kenya, yang diduga mendukung RSF, menjadi sorotan Khartoum. Iran ikut masuk dalam kalkulasi regional, sementara Mesir berjaga di perbatasannya. Sudan terus terpecah, sementara kekuatan besar memosisikan diri di atas reruntuhan sebuah negara.
Negara-negara tetangga menghadapi banjir pengungsi dan ketegangan lintas batas yang meningkat. PBB, Uni Afrika, dan para tetangga menyerukan gencatan senjata—namun tak ada yang mendengarkan. Ketika logika senjata mendominasi, suara perdamaian mengecil menjadi bisikan. Jika tak ada tindakan, konflik ini bisa menjadi pemicu ketegangan regional yang meluas.
Sunyi dari komunitas internasional
Yang paling menggentarkan adalah keheningan. Keheningan memekakkan dari komunitas internasional. Tidak ada gelombang kemarahan viral. Tidak ada pertemuan darurat. Tidak ada kampanye “Peace for Sudan.” Jurnalis tak bisa masuk ke lapangan. Tanpa gambar, tanpa emosi, tanpa aksi. Kamera meninggalkan Khartoum. Rasa peduli seakan ikut mengungsi. Liputan media juga kian selektif. Ketika Eropa tersengal, isu itu memenuhi halaman berita. Ketika Sudan berdarah, ia sekadar catatan kaki.
Mengapa ada sikap abai semacam ini? Sudan tak kalah strategis dibanding Ukraina atau Gaza. Letaknya di persimpangan Afrika Timur dan dunia Arab, berbatasan dengan Laut Merah, kaya sumber daya… tetapi tak menjadi pusat perhatian. Absennya respons tegas dunia, ditambah dukungan diam-diam beberapa negara terhadap kelompok bersenjata, memperpanjang dan memperparah krisis. Menyatakan “keprihatinan” jelas tidak lagi cukup.
Selama bertahun-tahun, sejumlah wilayah Sudan bergantung pada keberadaan LSM dan lembaga kerja sama internasional seperti USAID. Mereka bukan hanya penyedia makanan atau layanan kesehatan, tetapi juga pemberi lapangan kerja, pelatihan, dan kesempatan bagi generasi muda. Penarikan mereka meninggalkan ruang kosong yang besar. Program dihentikan, hidup terhenti. Bantuan memang tak bisa menyelesaikan semuanya, tetapi dalam kondisi negara yang praktis tidak berfungsi, bantuan sering kali menjadi harapan terakhir.
Rakyat yang ditinggalkan
Apa yang tersisa ketika negara runtuh, kekuatan asing berperang melalui perpanjangan tangan, dan dunia menutup mata? Yang tersisa adalah satu bangsa—lelah, tangguh, tetapi sendirian. Perlu ditegaskan: perang ini bukan perang rakyat Sudan. Ini adalah perang ego, perang perebutan kekuasaan dua jenderal yang mengorbankan negaranya demi tahta tanpa masa depan. Rakyat Sudan tidak menginginkan perang ini. Mereka menghadapinya. Setiap hari.
Dan ini bukan sekadar konflik jauh. Ini tragedi kemanusiaan, sebuah bangsa yang disandera, peringatan bagi kawasan. Membiarkan Sudan runtuh berarti mempertaruhkan stabilitas regional. Jika konflik terus berlanjut—yang tampaknya sangat mungkin—perang ini bisa merembet. Chad, Sudan Selatan, Ethiopia, Mesir… semua berada di garis depan. Pengungsi berdatangan massal. Senjata beredar. Ketegangan meningkat. Jika ledakan regional terjadi, krisis Sudan tak lagi menjadi urusan satu negara, melainkan bencana satu benua.
Karena itu, diperlukan mediasi serius yang menghasilkan rencana perdamaian nyata. Selama suara rakyat Sudan tenggelam oleh dentuman bom dan diabaikan kekuatan luar, perang ini akan terus memicu kekacauan dan keputusasaan. Dunia masih punya pilihan: bergerak sekarang, atau menyaksikan satu negara runtuh—dan bersamanya, stabilitas sebuah kawasan.
Penulis adalah ilmuwan politik, aktivis dan penulis, pemegang gelar master dalam Studi Afrika dan Hubungan Internasional dari Universitas Istanbul Ticaret


