Wednesday, December 10, 2025
HomeBeritaPidato perang atau tekanan negosiasi? Netanyahu dan Zamir tingkatkan ancaman terhadap Gaza

Pidato perang atau tekanan negosiasi? Netanyahu dan Zamir tingkatkan ancaman terhadap Gaza

Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan Kepala Staf Angkatan Bersenjata Eyal Zamir kembali mengisyaratkan kemungkinan dimulainya lagi operasi militer di Jalur Gaza.

Sinyal itu muncul ketika Washington dan Dewan Keamanan PBB bersiap membahas tahap berikut dari perjanjian gencatan senjata dan pertukaran tahanan.

Dalam pernyataan yang dikutip sejumlah media Israel, Netanyahu mengatakan bahwa dirinya “tidak tahu sampai kapan gencatan senjata akan bertahan”.

Ia menegaskan bahwa Israel “tidak dapat melepaskan fase menjadikan Gaza kawasan bebas senjata”, dan menyebut bahwa isu tersebut akan dibahas dalam sidang kabinet keamanan (kabinett).

Pernyataan itu beriringan dengan berbagai bocoran yang menyebut Netanyahu mengaitkan peralihan menuju fase kedua perjanjian.

Hal itu dengan dimulainya proses perlucutan senjata kelompok perlawanan, meski jasad tiga warga Israel yang ditawan masih berada di dalam Gaza.

Menurut koresponden Al Jazeera untuk wilayah Palestina, Elias Karam, perkembangan ini mencerminkan “indikasi Israel membuka kembali kemungkinan opsi militer”.

Netanyahu dinilai tengah “menetapkan prasyarat” bagi komunitas internasional dan Amerika Serikat (AS), sekaligus memajukan isu perlucutan senjata sebagai syarat wajib sebelum ada kemajuan lain dalam implementasi perjanjian.

Dalam konteks yang sama, Eyal Zamir melontarkan pernyataan tegas. Ia berkata bahwa “pemerintahan Hamas tidak akan terus berlangsung, sekalipun membutuhkan waktu”.

Militer tengah bersiap untuk “serangan besar” guna menguasai wilayah-wilayah di belakang “garis kuning”—zona yang sempat ditinggalkan pasukan Israel dalam reposisi terakhir.

Harian Times of Israel mengutip Zamir yang, dalam tinjauan lapangan di Rafah, menyampaikan bahwa militer berupaya mengendalikan “medan strategis dan akses menuju Gaza” untuk mencegah Hamas membangun ulang kekuatan.

“Garis kuning” yang dimaksud membatasi wilayah Gaza yang berada di bawah kendali Hamas dan zona penyangga yang saat ini dikuasai militer Israel.

Zona tersebut mencakup sekitar 53 persen luas jalur itu dan ditandai blok-blok beton berwarna kuning.

Elias Karam menambahkan bahwa Netanyahu dan Zamir kini “mencoba menciptakan kondisi”—baik untuk publik internasional maupun domestik—agar opsi kembali berperang tetap berada di atas meja, lewat penyanderaan isu politik dan keamanan pada tuntutan perlucutan senjata.

Sementara itu, Israel juga menyampaikan keberatan atas usulan kehadiran pasukan multinasional yang dirancang untuk mengelola fase transisi.

Tel Aviv menilai konsep itu mengandung sejumlah problem yang dapat menghambat implementasi kesepakatan.

Karam juga menyoroti bahwa status para pejuang Hamas yang tersisa di Rafah berpotensi menjadi “hambatan tambahan” bagi keberlangsungan gencatan senjata.

Mengingat belum adanya kejelasan mengenai masa depan mereka dan dampaknya terhadap proses deeskalasi.

Gencatan senjata diberlakukan pada 10 Oktober tahun lalu, dua tahun setelah agresi yang disebut banyak pihak sebagai tindakan pemusnahan massal terhadap warga Gaza.

Kesepakatan itu lahir dari perundingan di Sharm el-Sheikh yang dimediasi Qatar, Mesir, dan Turki, sebagai bagian dari rencana 20 butir yang digagas Presiden Amerika Serikat Donald Trump.

Dalam perkembangan lain, lembaga penyiaran Israel melaporkan bahwa Tel Aviv pada detik-detik terakhir meningkatkan tekanan terhadap pemerintahan Trump.

Tujuannya untuk melunakkan rumusan rancangan resolusi AS yang akan diajukan ke Dewan Keamanan pada Senin mendatang.

Draf itu memuat rencana pembentukan pasukan multinasional di Gaza, serta mencantumkan sinyal yang lebih jelas mengenai hak menentukan nasib sendiri dan pembentukan negara Palestina.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Terpopuler