Di tengah kehancuran dan sesudah berakhirnya serangan Israel atas Jalur Gaza, kebutuhan masyarakat tidak hanya berhenti pada pangan atau tempat berlindung.
Yang jauh lebih mendesak adalah rasa aman secara psikologis serta peningkatan kesadaran sosial.
Dari ruang-ruang yang luluh lantak itu, muncul sebuah kelompok relawan muda yang menyebut diri mereka “Tim Perubahan” (Xchange Gaza)—mengusung pesan pemberdayaan dari masyarakat, untuk masyarakat.
Tim ini lahir di masa perang, berawal dari interaksi langsung dengan para pengungsi dan korban.
“Gagasan ini bukan muncul tiba-tiba. Ia lahir dari temuan di lapangan tentang kebutuhan yang kerap tak terlihat: keamanan digital, perlindungan perempuan dari eksploitasi, dukungan psikologis untuk anak-anak. Ini isu-isu yang tidak selalu masuk ke daftar prioritas lembaga-lembaga yang bergerak di bidang bantuan kemanusiaan,” ujar Islam Al-Masar’i, pendiri tim, kepada Al Jazeera Net.
Dari situlah sekelompok pemuda dan pemudi berkumpul, meyakini bahwa pertukaran pengetahuan dan pengalaman merupakan pintu utama perubahan sosial.
Mereka memilih nama Xchange, untuk menegaskan makna perubahan itu sendiri. Sasaran mereka luas: perempuan, anak-anak, hingga para remaja.
Walaupun dihimpit gempuran udara, pemadaman listrik total, dan minimnya sumber daya, Tim Perubahan berhasil menyelenggarakan puluhan lokakarya psikososial dan edukasi di berbagai wilayah Gaza—dari utara hingga selatan.
Topiknya beragam: keamanan digital, mitigasi eksploitasi daring, kesehatan mental bagi pengungsi, hingga kegiatan pengembangan diri bagi perempuan dan anak muda di kamp-kamp penampungan.
“Semua kerja kami murni sukarela, tanpa pendanaan apa pun. Tapi kami lanjutkan, karena kami melihat ada kekosongan besar yang perlu diisi. Kami menghadapi hambatan logistik besar, mulai dari transportasi hingga menyiapkan perlengkapan sederhana. Semua itu kami lewati dengan tekad dan dukungan masyarakat,” kata Masar’i.
Respons yang mengharukan
Yang paling mencolok dari pengalaman tim ini adalah besarnya antusiasme warga, terutama keluarga yang kehilangan banyak hal selama perang.
“Semenjak perang dimulai, baru kali ini saya melihat anak saya tertawa tulus. Kegiatan ini bukan hanya hiburan, tapi penyalur napas setelah berbulan-bulan ketakutan,” kata Umm Khaled, ibu dari salah satu peserta.
Tim mencatat bahwa efek psikologis positif terlihat dari setiap sesi. Banyak keluarga yang datang dalam jumlah besar, meskipun kondisi sulit.
Mereka menyampaikan rasa terima kasih karena kegiatan-kegiatan ini bersifat manusiawi, gratis, serta digerakkan kaum muda.
Shaima, salah satu peserta lokakarya teknologi, berbagi pengalamannya.
“Workshop kecerdasan buatan itu membuka jalan baru buat saya. Dulu saya tak tahu apa pun soal pemrograman. Sekarang saya benar-benar ingin belajar lebih jauh,” katanya.
Sementara itu, Mahmud, peserta lokakarya keamanan digital, mengaku bahwa sebelumnya ia tak tahu cara melindungi diri dari pemerasan daring.
“Sekarang saya malah bisa membantu orang lain,” ungkapnya.
Masalah pendanaan yang menghambat
Meski upaya mereka mencolok, Tim Perubahan menghadapi kendala finansial yang mengancam kelangsungan inisiatif ini.
Upaya membangun kemitraan dengan lembaga lokal dan internasional belum menghasilkan dukungan nyata.
Bantuan terbatas justru datang dalam bentuk dukungan moral dari beberapa pihak, termasuk “Komite Populer untuk Pengungsi” yang menyediakan ruang bagi sebagian kegiatan.
“Kami butuh kemitraan nyata agar bisa berkembang dan berkelanjutan. Kami tidak bisa selamanya mengandalkan tenaga relawan, apalagi dengan meningkatnya permintaan masyarakat,” ujar Dima Al-Hajj Ahmad, koordinator hubungan masyarakat tim.
Program-program Tim Perubahan disusun berdasarkan kebutuhan langsung di lapangan.
Bukan melalui pola baku, tetapi melalui dialog dengan warga di tempat pengungsian dan sesi curah pendapat internal untuk menyusun prioritas.
Kontennya dibuat sesederhana mungkin, disampaikan dengan metode interaktif, dan dikelola dengan pembagian tugas yang fleksibel.
“Kami percaya pada perencanaan, bahkan ketika kami bekerja tanpa listrik atau dukungan finansial. Kami menolak bekerja secara acak. Bagi kami, organisasi dan kreativitas adalah cara mengatasi kekurangan sumber daya,” kata Nermin Salama, koordinator media sosial.
Kisah-kisah yang menguatkan
Meski relatif baru, dampak tim ini mulai terasa nyata. Seorang ibu mengisahkan bahwa putranya—yang mengalami gangguan psikologis pascapengungsian—mulai pulih setelah mengikuti beberapa lokakarya dukungan mental.
Contoh lain datang dari Abdullah Al-Khatib, penanggung jawab cabang Gaza. Ia bercerita tentang seorang pemuda yang menjadi korban eksploitasi digital.
Setelah mengikuti lokakarya, pemuda itu kini bergabung sebagai relawan untuk mengedukasi orang lain.
“Itu pencapaian terbesar bagi kami,” katanya.
Muhammad Abu Al-Kas, salah satu anggota tim, juga menceritakan bahwa beberapa peserta kini berubah menjadi pelatih lokal.
Mereka memimpin lokakarya serupa di daerah mereka masing-masing—sebuah bentuk “perubahan berantai” yang mereka banggakan.
Tim Perubahan berharap mendapatkan dukungan institusional yang dapat menjamin keberlangsungan inisiatif ini, terutama di tengah meningkatnya krisis dan kebutuhan psikososial masyarakat Gaza.
Di saat sebagian besar perhatian dunia tertuju pada bantuan darurat, kehadiran tim ini menjadi pengingat bahwa kesadaran digital, dukungan psikologis, dan keamanan daring adalah benteng pertama bagi masyarakat Gaza dalam membangun kembali dirinya setelah perang.


