Saturday, November 22, 2025
HomeBeritaHari Anak Sedunia, 350 anak Palestina berada di penjara Israel

Hari Anak Sedunia, 350 anak Palestina berada di penjara Israel

Setiap 20 November, Hari Anak Sedunia kembali membuka luka bagi rakyat Palestina.

Peringatan ini, yang semestinya menjadi momentum untuk menjamin perlindungan anak, justru mengingatkan akan berlanjutnya pelanggaran yang dilakukan Israel terhadap anak-anak Palestina—khususnya mereka yang menderita dalam penjara tanpa pengadilan.

Ketika PBB menyerukan agar dunia mendengarkan suara anak-anak dan memastikan hak mereka dihormati.

Puluhan ribu anak di Tepi Barat dan Jalur Gaza justru membayar harga mahal—baik dengan tubuh maupun nyawa—akibat praktik kolonialisme. Rintihan mereka seperti tak terdengar.

Menurut data Klub Tahanan Palestina dan lembaga-lembaga pendamping tahanan hingga 5 November lalu, Israel menahan sekitar 350 anak Palestina, mayoritas tanpa proses pengadilan.

Mereka dikurung dalam kondisi keras, serupa yang dialami para tahanan dewasa.

Lonjakan penahanan administratif

Direktur Program Akuntabilitas pada Gerakan Internasional Pembela Anak (DCI)–Palestina, Ayed Abu Qutaish, menjelaskan kepada Al Jazeera bahwa 48 persen anak yang ditahan kini berada dalam kategori penahanan administratif, sementara hanya sekitar 20 anak yang divonis dengan hukuman bervariasi.

Sisanya masih berada dalam tahanan di Penjara Ofer di barat Ramallah serta Penjara Megiddo di Israel utara.

Gerakan Internasional Pembela Anak mendefinisikan penahanan administratif sebagai penahanan tanpa dakwaan maupun pengadilan, berdasarkan “berkas rahasia” yang bahkan tak bisa diakses oleh tahanan atau pengacaranya.

Berdasarkan perintah militer Israel, penahanan ini dapat diperpanjang tanpa batas, dengan durasi tiap keputusan maksimal enam bulan.

Sebelum Oktober 2023, anak-anak yang ditahan secara administratif tidak pernah melebihi 2 persen dari total anak tahanan.

“Kini jumlahnya mencapai puluhan,” kata Abu Qutaish.

Ia menambahkan, sejumlah anak yang telah menyelesaikan masa hukuman formal justru kembali ditahan melalui perintah administratif.

Data lembaga tahanan menunjukkan bahwa total tahanan Palestina di penjara Israel mencapai sekitar 9.250 orang, dengan lebih dari 3.360 orang di antaranya merupakan tahanan administratif.

Sementara itu, sejak dimulainya perang di Gaza, tercatat sekitar 20.500 kasus penahanan, termasuk lebih dari 1.630 anak.

Isolasi penuh dan perlakuan yang semakin keras

Abu Qutaish mengungkapkan bahwa pola kekerasan yang sudah lama diterapkan terhadap anak-anak sebelum Oktober 2023 tetap berlangsung hingga kini.

Para tahanan anak berada dalam isolasi total dari dunia luar—tanpa kunjungan keluarga, tanpa akses komunikasi, tanpa televisi atau radio.

Bahkan saat—jarang—bertatap muka dengan pengacara, percakapan dibatasi hanya mengenai aspek hukum kasus mereka.

“Pengacara dilarang keras menyampaikan kabar apa pun tentang keluarga mereka,” ujarnya.

Ia menambahkan, banyak anak yang memasuki penjara sebelum usia dewasa kemudian beranjak menjadi dewasa di balik jeruji.

Beberapa dipindahkan ke penjara dewasa, bahkan dijatuhi hukuman seumur hidup atas peristiwa yang terjadi ketika mereka masih anak-anak.

Jumlah anak yang divonis sebenarnya sedikit, bukan karena rendahnya dakwaan, melainkan karena kerasnya tuntutan jaksa militer Israel.

Situasi ini membuat banyak pengacara memilih menunda persidangan. Jika sebelumnya dakwaan seperti pelemparan batu hanya berujung hukuman sekitar empat bulan, kini jaksa menuntut hukuman satu tahun penjara.

Tuduhan paling umum saat ini adalah “penghasutan” melalui unggahan atau interaksi di media sosial—khususnya Facebook dan Instagram—dengan ancaman hukuman hingga enam bulan.

Laporan Lembaga Addameer menyebutkan bahwa perintah militer Israel memungkinkan penahanan anak berusia 14–18 tahun hingga 48 jam tanpa harus dibawa ke hadapan hakim.

Untuk anak di bawah 14 tahun, batasnya 24 jam. Sistem peradilan militer untuk anak telah berlangsung sejak 1967, namun standar perlakuannya jauh berbeda dibanding hukum sipil Israel sendiri.

Meski hukum Israel mendefinisikan anak sebagai individu di bawah 18 tahun, perintah militer hanya mengakui anak hingga usia 16 tahun.

Pada 2009, Israel membentuk pengadilan militer khusus anak. Namun menurut Addameer, fungsi pengadilan ini lebih menonjolkan “kepentingan keamanan Israel” daripada prinsip perlindungan anak sebagaimana diatur hukum internasional.

Ragam pelanggaran berat

Selain temuan Abu Qutaish, berbagai organisasi HAM seperti Addameer, Klub Tahanan, serta Kantor Informasi Tahanan, mendokumentasikan sederet pelanggaran yang dialami anak-anak, antara lain:

  • pemukulan saat penangkapan, interogasi, maupun di dalam penjara;
  • penggerebekan rumah pada malam hari dan pemborgolan dengan plastik;
  • penghinaan dan penggunaan kata-kata kasar;
  • ancaman pembunuhan dan kekerasan seksual;
  • penahanan dalam kondisi yang tidak manusiawi.

Pada pekan ini, Pusat Informasi Tahanan merilis kesaksian anak-anak yang dibebaskan dari kamp penahanan Sde Teiman—fasilitas buruk yang digunakan untuk menahan warga Gaza.

Kesaksian tersebut menyebut bentuk penyiksaan ekstrem, seperti pemukulan, penyetruman, pencegahan tidur melalui “ruang disko” dengan suara keras, pemborgolan berjam-jam, hingga serangan menggunakan anjing.

Anak-anak yang gugur

Data Gerakan Internasional Pembela Anak mencatat 2.507 anak Palestina gugur sejak tahun 2000, tidak termasuk korban di Gaza selama dua tahun perang saat ini.

Di Tepi Barat saja, sejak 2024 hingga 2025 tercatat 139 anak terbunuh, termasuk 27 yang berusia di bawah 15 tahun.

Kampanye Nasional untuk Pemulangan Jenazah Syuhada memperingatkan peningkatan signifikan kasus pembunuhan anak secara langsung serta keberlanjutan kebijakan Israel menahan jenazah mereka.

Sepanjang November ini saja, 6 anak dibunuh dan jenazah mereka ditahan, sehingga total anak yang jenazahnya masih ditahan mencapai 73, dari keseluruhan 752 jenazah yang masih berada di lemari pendingin dan “makam bernomor” milik Israel.

Sementara itu di Gaza, UNICEF melaporkan bahwa lebih dari 64.000 anak antara lain terbunuh, terluka, atau cacat, dan lebih dari 58.000 anak kehilangan salah satu atau kedua orang tua dalam agresi yang terus berlangsung.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Terpopuler