Bertolak belakang dengan pernyataan resmi pemerintah Israel, rangkaian operasi militer yang masih dijalankan pasukan pendudukan di Jalur Gaza menunjukkan adanya pelanggaran nyata terhadap perjanjian gencatan senjata.
Menurut analis militer, Mayor Jenderal (Purn) Faiz al-Duwairi, apa yang terjadi di lapangan bukan sekadar operasi “defensif”, melainkan upaya sistematis untuk mengosongkan sejumlah kawasan dari penduduknya dan menempatkan wilayah-wilayah tersebut di bawah kontrol militer Israel.
Dalam analisis terbarunya mengenai dinamika perang di Gaza, al-Duwairi menegaskan bahwa operasi penghancuran dan peledakan rumah-rumah warga yang dilakukan tentara Israel bukan tindakan sporadis.
Ia melihatnya sebagai strategi untuk memperluas cakupan wilayah yang berada dalam genggaman militer Israel.
Sehingga kelak wilayah itu dapat dijadikan bahan tawar-menawar saat memasuki fase kedua perjanjian.
Al-Duweiri menilai tindakan tersebut bertentangan dengan prinsip dasar gencatan senjata.
“Gencatan senjata berarti penghentian total seluruh operasi militer dari kedua belah pihak,” ujarnya.
Namun, menurut dia, Israel sengaja menciptakan situasi yang memungkinkan dilakukannya serangan baru melalui kelompok-kelompok milisi yang berafiliasi dengannya di Gaza, sehingga setiap insiden dapat dijadikan alasan untuk memperluas cakupan operasi.
Israel, lanjutnya, berupaya meraih keuntungan cepat di bawah payung gencatan senjata.
Ia mencontohkan bagaimana keluarga-keluarga di kawasan Shaja’iyya dipaksa meninggalkan rumah mereka hanya karena adanya satu operasi di satu titik.
Sehingga kawasan tersebut menjadi area kosong yang sulit untuk dikembalikan kepada penduduk pada tahap berikutnya.
“Dengan begitu, Israel dapat menukar kawasan-kawasan ini pada fase kedua, daripada menarik pasukannya dari garis kuning seperti disepakati,” kata al-Duweiri.
Ratusan pelanggaran
Data yang dihimpun Kantor Media Pemerintah di Gaza memperkuat analisis tersebut.
Sejak gencatan senjata mulai berlaku pada 10 bulan lalu, tercatat 400 pelanggaran dilakukan Israel, mengakibatkan 300 warga Palestina gugur dan ratusan lainnya terluka.
Sementara itu, militer Israel menyatakan bahwa Brigade Kfir tengah beroperasi di sekitar garis kuning untuk menghancurkan infrastruktur yang disebut digunakan untuk operasi perlawanan.
Mereka mengklaim menemukan sejumlah senjata dan bahan peledak.
Namun, operasi Israel di lapangan menunjukkan pola yang lebih luas. Militer terus memperbesar kawasan garis kuning—zona yang menurut perjanjian berada di bawah kendali Israel—yang kini mencakup 53 persen wilayah Gaza.
Di sejumlah daerah seperti Shuja’iyya dan Beit Hanoun di utara, serta Khan Younis di selatan, terjadi serangkaian serangan dan penghancuran rumah-rumah warga dengan alasan adanya “ancaman keamanan”.
Realitas ini menunjukkan bahwa kendati gencatan senjata telah disepakati, dinamika di lapangan memperlihatkan Israel justru memperkuat posisinya.
Bagi warga Gaza, hal ini berarti babak baru dari ketidakpastian, sementara masa depan pembicaraan fase kedua kian dipenuhi tanda tanya.


