Saturday, November 22, 2025
HomeBeritaBagaimana Gaza menyambut Hari Anak Sedunia?

Bagaimana Gaza menyambut Hari Anak Sedunia?

Huda Kashko pagi itu tengah menyiapkan donat untuk putranya, Salim, sebagai bekal kegiatan rekreasi yang digelar taman kanak-kanak dalam rangka Hari Anak Sedunia, yang diperingati setiap 20 November.

Di sekelilingnya, 2 anaknya—Salim dan Maria—mengitari meja seperti dua anak burung yang baru saja lolos sejenak dari cengkeraman perang yang telah menelan hampir semua hal yang mereka cintai.

Di ruang sempit tempat ia mengungsi di gedung Kementerian Agama, kawasan Zeitun, Huda menyangka hidup akhirnya memberinya kesempatan bernapas setelah berbulan-bulan dihantam serangan militer.

Ia kehilangan rumah, tetapi di ruangan itu ia menyangka bisa menyusun kembali serpihan rasa aman.

Dua anaknya tertawa sambil mencelupkan jari ke adonan, sebuah momen hangat yang seolah menjadi gelang penyelamat terakhir di tengah lautan kekerasan.

Namun, satu serangan udara memutus segalanya. Adonan itu tak sempat mengembang, dan keceriaan terakhir itu tak sempat menjelma menjadi perayaan kecil.

Ledakan melahap seluruh ruang. Salim meninggal seketika. Maria hilang—hingga ditemukan pagi berikutnya, pada hari ketika dunia berbicara tentang hak-hak anak.

Ia ditemukan petugas pertahanan sipil, terbujur kaku di dekat mainan kecilnya. Huda, yang dibawa dengan tandu, hanya mampu memberi petunjuk.

“Maria tadi bermain di pojok itu, cari di sana,” katanya.

Antara lumpuh dan luruh

Tubuh dua bersaudara itu terbaring dalam kantong plastik putih di lantai rumah sakit—ukuran yang tak pernah cocok dengan usia mereka.

Sementara itu, Huda dirawat dengan patah tulang dan memar setelah reruntuhan bangunan roboh menimpanya.

Saat kami duduk di samping ranjangnya, kata pertama yang keluar dari bibirnya hanyalah panggilan seorang ibu kepada dua anak yang tak mungkin kembali.

“Yamma, yamma. Saya tidak merasakan hati saya, ini sakit, sakit sekali,” ,” bisiknya lirih, matanya liar mencari sesuatu yang tidak lagi ada di dunia ini.

Ketika ditanya apa arti Hari Anak baginya kini, air matanya pecah.

“Anak siapa yang mereka rayakan? Mereka membunuh kedua anak saya di Hari Anak Sedunia,” tanyanya.

Keinginan Huda hari itu sederhana: memberikan Salim donat agar ia bisa merayakan bersama teman-temannya.

Keinginan kecil yang berubah mustahil. Salim dan Maria kini menjadi dua nama baru dalam daftar yang terus memanjang—lebih dari 20.000 anak telah tewas, menurut kantor media pemerintah Gaza.

Di tempat yang sama, dalam serangan yang sama, Hala Abu Samra berlari di antara deretan tubuh yang ditutupi kain di lantai rumah sakit, mencari keluarganya.

Ia menatap satu wajah demi wajah, seperti berharap tatapannya bisa menghidupkan salah satunya.

Ia akhirnya mengenali ayahnya, meski wajahnya hangus terbakar.

“Ayah, aku hidup, jangan takut,” ia memeluknya dan berbisik.

Lalu ia mencari ibu dan dua saudara perempuannya. Yang ia temukan hanyalah nama mereka, tertulis di atas kafan putih.

Beberapa jam kemudian kami menemuinya. Trauma telah membekukan tubuhnya. Kata-katanya muncul patah-patah, jauh lebih tua dari usianya.

“Apa salah saya? Mengapa harus hidup sebagai yatim? Bagaimana saya akan hidup tanpa ibu? Bagaimana?” tanyanya.

Deretan pertanyaan tanpa jawaban

Pertanyaan seperti itu menggantung tanpa jawaban di seluruh Gaza. Hala hanyalah satu dari puluhan ribu anak yang kehilangan orang tua.

Menurut catatan lembaga setempat, sekitar 56.350 anak kini menjadi yatim sebagian atau sepenuhnya—salah satu gelombang kehilangan terbesar yang disebabkan satu perang dalam sejarah modern.

Sebagian anak kehilangan nyawa. Sebagiannya kehilangan dunia tempat mereka tumbuh. Dan sebagian lainnya tetap hidup, tetapi dengan kehidupan yang tak lagi utuh.

Di antara mereka adalah si kembar Muhammad dan Akram Jundiyah, berusia satu tahun empat bulan.

Mereka lahir prematur setelah ibunya menghirup gas beracun saat perang. Sejak itu mereka menderita kerusakan otak dan kekurangan oksigen.

Di tenda pengungsian di Gaza Barat, mereka hidup dalam kondisi yang jauh dari layak: tanpa susu, tanpa popok, tanpa gizi, tanpa lingkungan yang bisa menghentikan kemunduran fisik mereka.

Keduanya sebenarnya sudah mendapat rujukan pengobatan ke luar negeri berbulan-bulan lalu, tetapi Israel tetap menutup pintu, seperti halnya ribuan kasus lainnya.

Di daftar tunggu yang berisi lebih dari 5.200 anak yang membutuhkan evakuasi medis segera, kesempatan itu tetap menjadi pintu yang tak pernah dibuka.

Di Stadion Palestina—yang kini berubah menjadi kamp pengungsian besar—masa kecil luruh di antara lorong-lorong tenda.

Anak-anak tumbuh dengan bahu dan pikiran yang lebih tua dari usia mereka. Senyum jarang muncul. Bermain menjadi barang mewah.

Perang menumpuk beban di punggung mereka: menjadikan anak perempuan ibu-ibu kecil, dan anak laki-laki penanggung jawab keluarga.

Fragmen-fragmen mimpi masa kecil

Di salah satu sudut, Benan menggenggam sebatang kayu, menggambar di pasir sebuah rumah—tempat ia berharap bisa berlindung.

Ia menggambar ranjang, televisi untuk menonton kartun, dan meja belajar tempat ia menaruh mimpi-mimpi kecil. Semua itu hanya bayangan jauh yang tak dapat dijangkau.

Tak jauh darinya, seorang bocah memegang sepotong roti kering, dengan tatapan yang menyimpan kepedihan lebih banyak daripada kata-kata.

Ketika ditanya, “Apa mimpimu hari ini sebagai seorang anak?”, ia menjawab lirih.

“Aku ingin makan ayam dan daging”, jawabnya.

Sebuah keinginan sederhana di banyak tempat, tetapi menjadi kemewahan tak terjangkau bagi banyak keluarga di Gaza, yang harga pangan dan kelangkaannya melampaui kemampuan mereka.

Tiga anak lain memasuki gerbang pusat pengungsian membawa tas sekolah kecil di punggung mereka, menuju tenda belajar sederhana di pinggir lapangan. Mereka mencoba mengejar pelajaran setelah dua tahun tanpa pendidikan.

Masing-masing punya cita-cita. Ibrahim Abu Khair ingin menjadi dokter. Ahmed bercita-cita menjadi polisi.

Seorang lagi ingin menjadi guru. Mereka memelihara mimpi-mimpi itu seperti benih kecil yang mereka rawat agar tetap hidup di tengah puing-puing.

“Apakah kalian mencintai Gaza?” tanya kami.

Mereka menjawab serempak, hampir tersinggung.

“Tentu, ini negeri kami,” jawabnya.

Ibrahim menambahkan, “Bagaimanapun bentuknya, kami tetap mencintainya.”

Perang mungkin berhasil merampas rumah, sekolah, permainan, dan bahkan masa kecil mereka.

Tetapi tidak mampu menghapus satu hal: kecintaan mereka pada tanah yang, meski hancur, tetap mereka pikul dalam hati dan di atas bahu kecil mereka.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Terpopuler