Wednesday, November 26, 2025
HomeBeritaJerusalem Post: Bentrokan di terowongan Rafah nyaris buyarkan gencatan Gaza

Jerusalem Post: Bentrokan di terowongan Rafah nyaris buyarkan gencatan Gaza

Harian Jerusalem Post mempublikasikan sebuah laporan investigatif karya koresponden militernya, Yonah Jeremy, yang menyoroti pertempuran tak terduga namun berdampak besar.

Pertempuran itu berlangsung di bawah tanah, di wilayah timur Kota Rafah, Gaza selatan.

Laporan itu menggambarkan situasi lapangan yang tidak banyak terungkap publik sejak gencatan senjata diberlakukan awal Oktober lalu.

Menurut surat kabar tersebut, sekitar 200 pejuang Hamas “secara tidak sengaja” terjebak di area yang berada di bawah kendali Israel saat gencatan senjata mulai berlaku.

Situasi yang kemudian menjadi salah satu isu paling sensitif dan menentukan dalam kalkulasi keamanan dan politik sepanjang pekan-pekan berikutnya.

Dalam kunjungan lapangannya ke Rafah pada Minggu lalu, sang koresponden menyebut ia berada hanya 600 meter dari lokasi kontak senjata sehari sebelumnya.

Pada insiden tersebut, pasukan dari Brigade Golani dan Nahal menewaskan 11 pejuang Hamas dan menangkap 6 lainnya yang mencoba keluar dari jaringan terowongan.

Kolonel Adi Gonen, komandan Brigade Golani, mengatakan bahwa tujuan mereka adalah “menemukan dan menghancurkan musuh atau menerima penyerahan diri mereka”.

Ia menyebut total 17 pejuang Hamas terbunuh atau menyerah pada hari itu.

Konfrontasi tersebut memicu ancaman Hamas untuk menarik diri dari kesepakatan gencatan senjata.

Isu kelompok pejuang yang terperangkap itu bahkan mengguncang arena politik Israel dan Amerika Serikat (AS).

Menurut Jerusalem Post, 2 utusan AS—Jared Kushner dan Steven Witkoff—terbang ke Yerusalem untuk membujuk Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu.

Mereka mengizinkan para pejuang keluar menuju wilayah yang dikuasai Hamas di Gaza, dengan syarat mereka menyerahkan senjata kepada pihak Mesir.

Usulan tersebut memicu perpecahan di pemerintahan Israel, termasuk penolakan keras dari dua menteri garis keras, Bezalel Smotrich dan Itamar Ben-Gvir.

Kerumitan bertambah akibat pernyataan yang dianggap “kontradiktif” dari Kepala Staf Angkatan Bersenjata Israel, Letjen Herzi Halevi (dalam teks asli disebut Eyal Zamir).

Pernyataan itu kadang terlihat terbuka pada opsi membiarkan para pejuang keluar, namun pada kesempatan lain menyatakan tekad untuk “menghabisi atau memaksa mereka menyerah”.

Sumber militer yang tak disebutkan namanya mengatakan bahwa keberadaan kelompok itu terungkap melalui penelusuran terowongan menggunakan teknologi canggih.

Setelah itu, militer mulai melakukan operasi sistematis untuk mempersempit ruang gerak mereka, memutus terowongan satu demi satu.

Sumber tersebut menyebut kelompok yang terperangkap terdiri atas pejuang berpengalaman dan terlatih.

Mereka dipimpin sosok penting yang kemungkinan komandan batalion—berbeda dengan sebagian besar rekrutan baru Hamas yang masih berusia sangat muda.

Laporan itu mengemukakan tiga kemungkinan: para pejuang itu tidak mengetahui bahwa gencatan senjata sudah dekat; atau mereka memperkirakan dapat keluar kemudian; atau mereka berasumsi Israel akan membiarkan mereka pergi demi menjaga gencatan senjata tetap utuh.

Namun, menurut sumber itu, kelompok tersebut kini mengalami kekurangan makanan, air, dan penurunan moral.

Beberapa di antara mereka yang keluar, katanya, melakukannya karena berada di ambang kelaparan atau karena tekanan operasi Israel yang telah masuk lebih dalam ke jaringan terowongan.

Drone Israel tipe Hermes 450–Zik disebut berhasil menarget sebagian pejuang begitu mereka muncul ke permukaan.

Sementara mereka yang berhasil ditangkap dibawa ke kantor intelijen Shin Bet untuk diinterogasi.

Militer Israel memperkirakan puluhan lainnya tewas dan terkubur di bawah tanah.

Situasi ini kemudian dimanfaatkan Israel sebagai tekanan terhadap Hamas untuk mengembalikan jenazah tentara Israel yang masih ditahan.

Sebuah “kartu tawar-menawar” yang sebelumnya diyakini menjadi senjata diplomasi Hamas.

Laporan itu menegaskan bahwa meski gencatan senjata berlaku, militer Israel tetap menjaga kesiagaan tinggi dan mempertahankan kehadiran di sejumlah area Rafah yang jauh dari permukiman penduduk.

Investigasi Jerusalem Post juga menyebut tidak ada persiapan nyata Israel untuk menyambut kehadiran pasukan internasional yang rencananya ditempatkan pada awal 2026, sehingga memunculkan keraguan atas realisme tenggat tersebut.

Pada akhirnya, surat kabar itu menyimpulkan bahwa pertempuran di bawah tanah di Rafah menjadi ujian krusial bagi daya tahan gencatan senjata.

Semua pihak sempat berada di tepi eskalasi besar, namun para pemimpin Israel, Palestina, dan aktor-aktor regional akhirnya memilih menahan diri dan membiarkan dinamika di lapangan bergerak sebagaimana adanya.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Terpopuler