Wednesday, November 26, 2025
HomeBeritaLaporan lapangan ungkap rencana pengusiran di Tepi Barat

Laporan lapangan ungkap rencana pengusiran di Tepi Barat

Dengan perhatian dunia tersedot ke arah Jalur Gaza, peringatan baru dari lembaga hak asasi manusia dan warga Palestina menyebut bahwa Tepi Barat kini berada dalam momen paling berbahaya dalam bertahun-tahun terakhir.

Di tengah meluasnya permukiman ilegal Israel, meningkatnya serangan para pemukim, dan percepatan laju pengusiran paksa, terbentuk gambaran sebuah kejahatan yang perlahan tetapi pasti mendorong warga Palestina keluar dari tanah mereka.

Dalam sebuah pengarahan publik yang digelar kemarin (Senin) oleh Crisis Action, organisasi internasional yang berfokus pada perlindungan warga sipil di wilayah konflik, para pakar HAM dan tokoh komunitas dari Palestina menyampaikan gambaran lapangan yang getir.

Acara tersebut dipandu dari kantor organisasi di New York oleh aktris dan aktivis Amerika Serikat, Susan Sarandon.

Melalui forum itu, mereka menuturkan pengalaman pribadi dari desa-desa di Tepi Barat, termasuk kawasan Lembah Yordan (al-Aghwar).

Mereka memperlihatkan kehidupan harian penuh penggerebekan rumah, pengusiran, dan terhambatnya operasi kemanusiaan.

Inti dari seluruh kesaksian itu menghadirkan satu kesimpulan serupa.

Yaitu apa yang terjadi di Tepi Barat bukanlah rangkaian insiden terpisah, melainkan proses panjang “aneksasi merayap”.

Di mana kekuatan militer Israel digunakan untuk mengubah peta geografi sekaligus demografi.

Pengusiran 53 komunitas

Busra al-Khalidi, Kepala Kebijakan di Oxfam untuk wilayah Palestina dan Israel, menyatakan bahwa aneksasi Tepi Barat telah berlangsung nyata di lapangan, meski acap kali disamarkan dalam wacana diplomatik internasional.

“Negara-negara harus berhenti bersembunyi di balik ambiguitas politik. Mereka harus menyatakan dengan tegas bahwa pendudukan dan perluasan pos-pos permukiman itu ilegal. Kekerasan terhadap warga sipil Palestina dan pengusiran paksa tidak boleh dinormalisasi ataupun diredam seolah masalah kecil,” ujarnya.

Menurut al-Khalidi, pendudukan tersebut tidak hanya terus berjalan dengan tenang, tetapi semakin mendalam dan meluas.

Hal itu akibat puluhan tahun pembiaran oleh komunitas internasional.

Ia mengingatkan bahwa Mahkamah Internasional dalam putusan tahun 2004, 2024, dan 2025 telah menegaskan bahwa kebijakan aneksasi Israel tidak sah.

Namun negara-negara, katanya, “lebih memilih mengelola krisis ketimbang mengakhirinya.”

Dari perspektif hukum internasional, Allegra Pacheco, pengacara HAM asal Amerika Serikat (AS), menambah penjelasan lebih jauh.

Ia menyinggung aneksasi wilayah seluas 70 kilometer persegi dari Yerusalem Timur dan bagian lain dari Tepi Barat.

“Sebanyak 53 komunitas — kebanyakan komunitas Badui — telah benar-benar terusir. Kami mendampingi mereka sepenuhnya atau sebagian. Ribuan orang terpaksa melarikan diri untuk menyelamatkan nyawa akibat serangan para pemukim,” ujarnya.

Di kota-kota Tepi Barat, lanjutnya, tentara Israel telah membuat 35.000 warga Palestina mengungsi sejak Januari lalu, terutama dari kamp-kamp di Jenin dan Tulkarem.

“Kita menyaksikan gelombang perpindahan paksa di seluruh wilayah Tepi Barat,” imbuhnya.

Pacheco, yang memimpin West Bank Protection Consortium — aliansi LSM internasional dan donor yang memberikan dukungan perlindungan kepada warga Palestina — juga menolak pernyataan Presiden AS Donald Trump yang menyebut “tidak ada aneksasi.”

“Pesan saya kepada Trump: aneksasi itu sudah terjadi dan terus berlangsung. Itu berarti kontrol permanen oleh kekuatan pendudukan, dan hal itu sepenuhnya bertentangan dengan hukum internasional. Kita tidak ingin aneksasi Tepi Barat menjadi harga yang harus dibayar demi gencatan senjata di Gaza,” katanya.

Kesaksian warga: Pengusiran dan kekerasan harian

Dari Lembah Yordan, Aliyah Malihat, aktivis komunitas, menuturkan pengalaman pribadi yang menggambarkan kerasnya pengusiran paksa terhadap keluarga-keluarga Palestina.

Ia menceritakan bagaimana keluarganya diusir dari kamp-kamp pengungsian di Jericho, lalu diusir lagi dari kawasan al-Ma’arijat setelah para pemukim menyerbu daerah itu pada Juli lalu.

“Para pemukim mendobrak rumah-rumah, menjarah ternak, melepaskan tembakan, mengancam perempuan, dan menembak dengan dalih mempertahankan diri,” katanya.

Malihat kini bekerja bersama komunitas Badui dan para penggembala yang terusir.

Ia membantu mereka mempertahankan tanah dan mata pencaharian di tengah meningkatnya tekanan permukiman dan kampanye pembongkaran rumah.

Dari desa at-Tuwani di pegunungan Hebron Selatan, aktivis Muhammad al-Huraini menggambarkan dokumentasi pelanggaran sebagai “bentuk perlawanan terbuka.”

Ia menyinggung partisipasinya dalam film dokumenter No Other Land, pemenang Oscar 2024, yang dianggapnya bukan sekadar karya seni, tetapi bukti nyata praktik pembersihan etnis dan apartheid oleh para pemukim.

Al-Huraini menceritakan bahwa para pembuat film — Basil al-Adra dan Hamdan Bilal — turut menjadi target setelah kemenangan Oscar.

Bilal bahkan diculik dari rumahnya dan ditahan selama 24 jam setibanya dari Amerika Serikat.

Tanpa menutup pengalaman pribadinya, al-Huraini mengatakan bahwa siapa pun dan apa pun yang dilakukan, menjadi orang Palestina saja dianggap sebagai kejahatan oleh pendudukan Israel.

“Saya sendiri mengalami serangan dan beberapa kali ditangkap, terutama saat saya masih berusia 14 tahun. Itu adalah momen-momen paling menakutkan dan gila dalam hidup saya,” ungkapnya.

Tanggung jawab internasional yang tertahan

Pacheco menegaskan bahwa warga Palestina berhak memperoleh perlindungan dari kekerasan yang mereka hadapi setiap hari.

Ia memberi contoh situasi berbahaya yang jamak terjadi.

“Ketika seorang pemukim menyerbu rumah warga Palestina, dan korban mencoba mendorong pemukim itu keluar dari rumahnya sendiri, warga Palestina itu bisa ditangkap dengan tuduhan menyerang pemukim. Ia bisa ditembak dan dibunuh, dan hal ini sudah terjadi berkali-kali,” tegasnya.

Ia menambahkan bahwa tentara Israel sering terlibat langsung atau membiarkan serangan pemukim berlangsung tanpa intervensi.

Karena itu, ia menekankan kebutuhan mendesak adanya perlindungan internasional.

“Masyarakat internasional harus menyediakan perlindungan bagi warga Palestina. Seperti halnya di Gaza, pasukan penjaga perdamaian internasional harus menjadi preseden yang juga diterapkan di Tepi Barat,” terangnya.

Bagi al-Khalidi, pendekatan diplomasi yang halus tidak akan mengubah kenyataan bahwa kebijakan yang diterapkan Israel bukan sekadar pelanggaran.

Tetapi “kebijakan yang menghancurkan kemungkinan berdirinya negara Palestina yang layak.”

“Mengapa negara-negara tidak bergerak? Tanpa akuntabilitas, pendudukan akan berjalan dengan sendirinya, dan bantuan kemanusiaan hanya menjadi plester di atas luka yang sengaja dibiarkan terbuka,” tanyanya.

Jika negara-negara menerima putusan Mahkamah Internasional, lanjutnya, maka kebijakan luar negeri mereka harus mencerminkannya.

Kesesuaian dengan hukum internasional berarti tidak memberikan dukungan — langsung maupun tidak langsung — kepada permukiman ilegal dan tidak ikut serta dalam proyek-proyek yang menghapus keberadaan Palestina.

Di penghujung pengarahan, para peserta menyampaikan satu pesan tegas: akuntabilitas bukan tindakan simbolis, melainkan langkah penyelamatan.

Mereka menuntut penghentian perdagangan dengan permukiman ilegal Israel, mempersyaratkan kerja sama internasional sesuai hukum internasional, dan mendukung mekanisme pemantauan dan akuntabilitas yang efektif.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Terpopuler