Wednesday, December 10, 2025
HomeBeritaBagaimana lembaga masyarakat sipil lindungi sektor pendidikan dan kebudayaan di Yerusalem

Bagaimana lembaga masyarakat sipil lindungi sektor pendidikan dan kebudayaan di Yerusalem

Kebijakan diskriminatif yang diterapkan otoritas pendudukan di Yerusalem terus menekan warga Palestina yang setiap hari berhadapan dengan kekurangan layanan dasar.

Dalam situasi seperti itu, lembaga-lembaga Palestina menjadi garda terdepan untuk mempertahankan kehidupan yang kian rapuh di bawah bayang-bayang marginalisasi.

Di tengah lebar­nya jurang kualitas dalam sektor pendidikan dan kebudayaan, lembaga-lembaga yang bergerak di dua bidang ini memikul tanggung jawab berlipat.

Mereka dituntut menyediakan layanan yang tak mampu —atau tak ingin— disediakan oleh otoritas resmi, dan pada saat yang sama menjadi penopang utama bagi ketahanan masyarakat setempat.

Salah satu yang paling menonjol adalah Yayasan Faisal al-Husseini, berdiri pada 2002. Lembaga ini memfokuskan kerja pada peningkatan mutu pendidikan di sekolah-sekolah Palestina di Yerusalem.

Programnya menitikberatkan pada pengembangan pembelajaran berbasis riset dan keterampilan berpikir tingkat tinggi.

Program itu juga memastikan lingkungan sekolah yang aman, suportif, serta mampu memenuhi kebutuhan emosional, sosial, dan akademik para pelajar.

Bekerja dengan sekolah-sekolah di bawah payung pendidikan Palestina, yayasan ini menyediakan pelatihan guru, pengembangan infrastruktur, serta dukungan darurat.

Semua itu dijalankan dalam kerangka visi jangka panjang: membangun pendidikan yang berlandaskan pemikiran kritis, riset ilmiah, serta penguatan identitas Palestina.

Pendidikan yang menjamin anak-anak memahami narasi mereka sendiri sekaligus menjaga nilai demokrasi, kesetaraan, dan hak-hak anak.

Fakta kesenjangan yang menganga

Kepada Al Jazeera, Ketua Dewan Yayasan Faisal al-Husseini, Abdul Qader al-Husseini, menjelaskan bahwa kesenjangan terbesar justru muncul pada aspek infrastruktur.

Kekurangan ruang kelas menjadi persoalan mendesak. Data menunjukkan lebih dari 9.000 anak usia sekolah terpaksa belajar di luar Yerusalem, jumlah yang terus meningkat dari sekitar 6.000 anak kurang dari satu dekade lalu.

Untuk mengejar pertumbuhan penduduk, diperlukan sedikitnya 80 ruang kelas baru setiap tahun.

Kebutuhan ini sebagian ditopang lembaga masyarakat sipil dan organisasi internasional, menyusul kelalaian otoritas pendudukan dalam menjalankan kewajibannya. Bahkan, alih-alih membangun, otoritas justru memerangi sekolah-sekolah Palestina: menutup sekolah yang dikelola lembaga lokal dan membatasi sekolah-sekolah UNRWA.

Menurut al-Husseini, kebijakan ini berdampak langsung pada mutu pendidikan. Hal itu tercermin dari rendahnya capaian siswa dalam ujian internasional.

Penyebabnya beragam: hambatan dalam merekrut guru berkualifikasi tinggi, tekanan terhadap sekolah yang mengajarkan kurikulum Palestina.

Selain itu juga upaya sistematis memberlakukan kurikulum yang mendowngrade identitas Palestina dan mendorong anak-anak untuk melebur dalam sistem ekonomi-sosial yang meminggirkan mereka.

Tantangan yang menggunung

Lembaga pendidikan di Yerusalem menghadapi tantangan pada berbagai lapis: membangun jejaring solidaritas antarsekolah, menggelar kampanye penyadaran publik atas ancaman terhadap sistem pendidikan Palestina, hingga menyediakan pelatihan yang sejalan dengan perkembangan teknologi dan kebutuhan pasar.

Selain itu, ada keharusan membangun fasilitas yang layak agar proses belajar berlangsung optimal dan menghasilkan generasi yang mampu mengendalikan masa depan mereka sendiri—bukan sekadar menjadi pelengkap dalam sistem yang mendiskriminasi.

Hambatan lain muncul dari minimnya pendanaan, tingginya inflasi, dan naiknya biaya pembangunan akibat dilarangnya para pekerja dari Tepi Barat memasuki Yerusalem.

Faktor-faktor ini memperlambat pembangunan infrastruktur dan menaikkan biaya secara signifikan.

Ketika ditanya apakah beban kerja semakin berat seiring meningkatnya tekanan terhadap sekolah-sekolah Palestina yang mempertahankan kurikulum nasional, al-Husseini mengakui ruang gerak makin sempit.

Namun ia menegaskan bahwa kemampuan lembaga untuk beradaptasi juga meningkat.

“Kami tetap optimistis. Masyarakat Yerusalem memiliki daya tahan tinggi untuk menggagalkan upaya apa pun yang bertujuan melemahkan dan memecah belah mereka,” katanya.

Menguasai seni bertahan

Dalam ranah kebudayaan, Direktur Teater Nasional Palestina (El-Hakawati), Amer Khalil, menegaskan pentingnya peran lembaga budaya dalam menjaga narasi Palestina.

Beragam karya seni—termasuk teater, musik, dan seni pertunjukan—menjadi medium untuk mempertahankan kisah, memori, dan identitas.

Dua karya terbaru teater tersebut, “Al-Manshiyya” dan “Fusyfusa’ al-Quds” (Mosaik Yerusalem), merupakan contoh bagaimana produksi artistik digunakan sebagai alat perlawanan naratif.

Menurut Khalil, lembaga budaya di Yerusalem telah mahir mempraktikkan “seni mengelak”.

Sebuah kemampuan untuk terus bekerja dan berkarya di tengah tekanan politik dan upaya sistematis menghapus identitas budaya Palestina.

“Setiap lembaga telah menemukan caranya sendiri untuk bertahan. Serangan terhadap kebudayaan Palestina bukanlah hal baru, dan kami telah belajar bagaimana melanjutkan pekerjaan tanpa menghentikan denyut kehidupan budaya kota ini,” ujarnya.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Terpopuler