Friday, December 26, 2025
HomeBeritaThe Intercept: Rencana Trump bikin dunia berpaling dari akuntabilitas Israel

The Intercept: Rencana Trump bikin dunia berpaling dari akuntabilitas Israel

Pada September lalu, dunia sempat menyaksikan tanda-tanda yang belum pernah terjadi sebelumnya terkait kesiapan komunitas internasional untuk mengambil langkah hukuman terhadap Israel.

Uni Eropa kala itu terlihat siap mempertimbangkan penangguhan sejumlah perjanjian dagang sebagai respons atas pelanggaran di Jalur Gaza.

Di Washington, jumlah anggota parlemen Partai Demokrat yang mendukung pembatasan pengiriman senjata ke Israel juga mencapai rekor tertinggi.

Namun, momentum tersebut tidak bertahan lama. Memasuki Oktober, gairah internasional untuk meminta pertanggungjawaban Israel perlahan meredup, seiring pengumuman Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump mengenai pelaksanaan rencana perdamaiannya di Gaza.

Perubahan drastis ini menjadi sorotan dalam sebuah artikel yang dimuat situs The Intercept, ditulis oleh jurnalis Jonah Valdez.

Menurut Valdez, suasana yang sebelumnya sarat dengan kesiapan untuk melakukan akuntabilitas internasional justru berganti menjadi dorongan untuk kembali pada “status quo”.

Rencana Trump, tulisnya, seolah menyediakan payung politik yang memungkinkan banyak pihak menutup mata terhadap realitas yang terjadi di lapangan.

Kembali ke pola lama

Artikel tersebut mencatat bahwa hanya sepekan setelah rencana Trump mulai dijalankan, para anggota parlemen Eropa telah membekukan berbagai usulan sanksi terhadap Israel.

Sebulan kemudian, pemerintah Jerman mengumumkan pencabutan larangan ekspor senjata, yang disusul dengan persetujuan parlemen terhadap kesepakatan senilai 3,5 miliar dollar AS untuk memperluas sistem pertahanan rudal guna melindungi Israel.

Di saat yang sama, ajang Eurovision tetap mengizinkan Israel berpartisipasi, meskipun sebelumnya sejumlah negara Eropa menyuarakan ancaman boikot.

Dewan Keamanan PBB pun akhirnya memberikan pengesahan terhadap rencana Trump tersebut.

Dalam konteks Amerika Serikat, artikel ini menyoroti mandeknya pembahasan rancangan undang-undang “larangan bom untuk Israel”.

Padahal, berbagai survei menunjukkan bahwa mayoritas warga AS menentang perang di Gaza.

Sejak Trump mengklaim telah menghadirkan “perdamaian” di wilayah tersebut, rancangan undang-undang itu hanya berhasil menarik dukungan dua anggota kongres tambahan.

Tarik Kenney-Shawa, peneliti di lembaga riset Al-Shabaka, menyebut gencatan senjata yang diklaim tersebut justru melumpuhkan gerakan aktivis dan opini publik.

Menurutnya, kesepakatan itu berfungsi sebagai “katup pelepas” yang menurunkan tekanan masyarakat, sebagaimana dikutip dalam artikel tersebut.

Padahal, lanjut Kenney-Shawa, militer Israel terus melanggar kesepakatan melalui serangan hampir setiap hari di Gaza, yang menewaskan ratusan warga Palestina.

Selain itu, blokade ilegal terhadap bantuan kemanusiaan masih berlangsung, sementara pelanggaran oleh pemukim Israel di Tepi Barat terus meningkat.

Josh Ruebner, Direktur Kebijakan di Middle East Understanding Institute, menilai rencana Trump telah menjadi dalih yang nyaman bagi anggota Kongres untuk berpaling dari kenyataan.

“Faktanya, senjata buatan Amerika masih digunakan hampir setiap hari untuk membunuh warga Palestina,” ujarnya.

Perebutan narasi

Valdez menulis bahwa surutnya perhatian internasional dan kemarahan publik atas situasi di Gaza memberi peluang bagi Israel dan sekutunya untuk merebut kembali kendali atas narasi politik dan media.

Upaya ini dilakukan setelah lebih dari dua tahun perang yang oleh banyak pihak disebut sebagai genosida di Gaza.

Salah satu momentum penting adalah konferensi Federations of Jewish Communities of North America yang digelar pada November.

Dalam forum tersebut, Sarah Hurwitz—penulis pidato mantan Presiden AS Barack Obama—menyalahkan aplikasi TikTok atas melemahnya posisi Israel di mata generasi muda Amerika.

Hurwitz menyebut bahwa generasi muda “dibombardir sepanjang hari” oleh video-video pembantaian di Gaza, yang menurutnya menghambat terjadinya “dialog rasional” tentang Israel, khususnya di kalangan Yahudi muda.

Narasi serupa kembali muncul beberapa pekan kemudian dari mantan Menteri Luar Negeri AS Hillary Clinton.

Dalam konferensi yang diselenggarakan media Israel Hayom, milik donatur sayap kanan pro-Israel Miriam Adelson, Clinton menyatakan bahwa kepedulian generasi muda Amerika terhadap Gaza dipicu oleh media sosial.

Ia bahkan menyebut tayangan kekerasan yang disiarkan secara langsung sebagai “propaganda semata” dan “ancaman bagi demokrasi”.

Clinton dikenal luas sebagai pendukung pengakuan Yerusalem sebagai ibu kota abadi Israel, pembela pembangunan tembok pemisah di wilayah Palestina, serta penentang hasil pemilu Palestina yang memenangkan Hamas.

Artikel The Intercept menyoroti bahwa baik Hurwitz maupun Clinton mengabaikan gelombang represi terhadap kebebasan berekspresi, yang menargetkan para pendukung Palestina di AS dan negara-negara lain.

Keduanya, menurut artikel tersebut, juga memanfaatkan kekhawatiran atas keselamatan warga Yahudi untuk membenarkan pembatasan terhadap suara-suara pro-Gaza.

Munculnya generasi baru

Meski demikian, Valdez menegaskan bahwa berbagai langkah untuk menekan gerakan pro-Palestina tidak sepenuhnya berhasil.

Sejumlah analis menilai Israel dan para pendukungnya semakin sulit merebut kembali dominasi narasi publik.

Kenney-Shawa menilai bahwa Israel tidak lagi memiliki “kekebalan” tradisional dalam politik Amerika.

Ia melihat adanya pergeseran mendasar yang dipicu oleh perubahan generasi dalam kesadaran politik.

“Generasi sebelumnya tumbuh dengan sekumpulan mitos tentang Israel. Sementara generasi sekarang dibesarkan dengan fakta-fakta baru yang membuka realitas kebijakan Israel,” ujarnya.

Artikel tersebut juga mencatat hasil survei yang kian banyak menunjukkan bahwa warga Amerika—baik dari kalangan kiri maupun kanan—mulai menolak apa yang disebut sebagai “hubungan istimewa” antara Washington dan Tel Aviv, yang selama ini diwujudkan dalam bentuk bantuan dana miliaran dollar AS setiap tahun.

Perubahan sikap ini dinilai berpotensi memengaruhi pemilihan paruh waktu mendatang, bahkan pemilihan presiden AS tahun 2028, sebagai cerminan dari pergeseran struktural dalam opini publik Amerika Serikat.

Rencana Trump (kiri) terkait Gaza berkontribusi pada penurunan tekanan internasional terhadap pemerintahan Netanyahu (Sumber: Aljazeera.net)

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Terpopuler