Pakar militer dan strategi asal Yordania, Mayor Jenderal Purnawirawan Fayez al-Duwairi, mengungkap bahwa operasi militer terbaru Israel di Jalur Gaza membawa perubahan mendasar dibandingkan pendudukan Israel sebelumnya atas Gaza yang berlangsung hingga 2005.
Operasi militer terbadu Israel itu diberi nama Arabat Gideon atau Chariots of Gideon
Dalam analisisnya, Duwairi menilai operasi ini bukan hanya serangan militer semata, melainkan bagian dari strategi tiga tahap yang dirancang untuk mencapai kontrol penuh atas Gaza.
Strategi tersebut mencakup: penguasaan lapangan, pengusiran massal penduduk, dan penghancuran menyeluruh atas infrastruktur serta kepemimpinan Hamas.
Menurutnya, kendati operasi ini diprediksi akan berhenti begitu tercapai kesepakatan pertukaran tawanan, sebelum itu, Israel akan melanjutkan agresinya mengikuti skenario militer yang terstruktur dan terencana.
Dalam keterangannya kepada Al Jazeera, Duwairi menjelaskan bahwa tahap pertama berfokus pada penciptaan kondisi yang memaksa eksodus warga Gaza melalui penggunaan kekuatan tembakan secara masif.
Ia mengutip jumlah korban yang terus bertambah — dalam sehari terakhir tercatat 148 orang meninggal dan 280 lainnya luka-luka — sebagai bukti bahwa taktik ini bertujuan menekan populasi sipil agar mengungsi.
Israel, kata Duwairi, telah menentukan empat titik pengungsian utama: tiga di wilayah selatan dan satu di utara Gaza.
Lokasi-lokasi tersebut, menurutnya, bersifat sementara, namun bagian dari rencana besar untuk mengumpulkan lebih dari 900.000 warga Palestina di satu kawasan terbatas di dekat poros Morag–Salahuddin, di selatan Gaza.
Tahap kedua, menurutnya, adalah penghancuran struktur komando dan kontrol Hamas. Tahap ini mencerminkan ambisi Israel untuk menghapus perlawanan bersenjata dari akar, bukan hanya meredamnya.
Adapun tahap terakhir adalah penguatan kendali wilayah, yang menurut Duwairi, membuka jalan bagi pendudukan permanen atas Gaza dalam bentuk baru, berbeda dari model sebelumnya.
Militer Israel sendiri telah mengumumkan bahwa mereka melakukan operasi darat besar-besaran di wilayah utara dan selatan Jalur Gaza, sebagai bagian dari Operasi Arabat Gideon.
Dalam satu pekan terakhir, menurut laporan militer Israel, sebanyak 670 sasaran di Gaza telah dibombardir dalam persiapan untuk operasi darat.
Duwairi mengungkap bahwa terdapat lima divisi militer Israel yang dikerahkan di berbagai zona — utara, tengah, dan selatan Gaza.
Setiap divisi mengerahkan sepertiga kekuatannya (setara satu brigade) di lapangan. Dengan demikian, kekuatan yang terlibat di tahap awal operasi mencakup sekitar lima brigade tempur.
Dalam perspektif strategisnya, Duwairi menilai bahwa skenario pendudukan kali ini sangat berbeda dari periode pendudukan Israel sebelumnya (1967–2005).
Dulu, Israel menduduki wilayah namun tetap membiarkan warga Palestina tinggal di dalamnya.
Kini, kata dia, Israel berusaha merebut wilayah sambil mengosongkannya dari penduduk aslinya — sebuah pergeseran radikal dalam pendekatan militer dan politik terhadap Gaza.
Ia menyebutkan bahwa ini bukan kali pertama Israel mencoba menyingkirkan penduduk Palestina secara paksa.
Beberapa opsi telah dicoba dalam beberapa tahun terakhir, seperti mendorong eksodus ke Yordania dan Mesir — yang ditolak — serta gagasan memindahkan mereka ke provinsi Anbar di Irak atau ke Somalia, yang juga tidak berhasil.
Kini, kata Duwairi, opsi yang dibidik adalah mendorong satu juta warga Palestina untuk berpindah ke Libya.
Ia menilai bahwa perubahan strategi dari sekadar pendudukan menjadi pengosongan demografis adalah titik balik berbahaya dalam pendekatan Israel terhadap Gaza.
“Inilah perbedaan mendasarnya. Pendudukan dulu menyasar wilayah. Pendudukan hari ini menyasar wilayah dan menyingkirkan manusia darinya,” ujar Duwairi menegaskan.