Kapal solidaritas “Madeleine” tengah berlayar menuju Jalur Gaza dengan misi kemanusiaan untuk menembus blokade yang telah mencekik kehidupan di wilayah tersebut selama hampir dua dekade.
Namun, kekhawatiran akan serangan dari militer Israel kembali mencuat, mengingat sejarah kekerasan terhadap armada serupa, termasuk tragedi “Mavi Marmara” pada 2010 silam.
Dalam program Ma Wara al-Khabar yang ditayangkan Al Jazeera, sejumlah aktivis dan analis mengingatkan bahwa jika Israel benar-benar menyerang “Madeleine”, maka tindakan tersebut akan tergolong sebagai kejahatan perang dan pelanggaran terhadap hukum internasional.
Mereka menilai, berdasarkan pengalaman masa lalu, ancaman Israel bukan sekadar gertakan.
Kapal “Madeleine” bukan hanya membawa bantuan, tetapi juga pesan solidaritas. Kapal ini mencoba menembus sunyi dunia internasional yang selama ini hanya menyaksikan dari jauh penderitaan rakyat Gaza akibat pemboman, kelaparan, dan pengusiran paksa.
Tiago Ávila, aktivis asal Brasil yang berada di atas kapal, menyatakan bahwa mereka sepenuhnya menyadari potensi ancaman dari Israel.
Ia mengatakan bahwa penumpang kapal terdiri dari warga sipil dari tujuh negara yang menjalankan misi damai, bukan militer, untuk membuka koridor kemanusiaan.
“Jika Israel menyerang, itu berarti mereka menyerang misi kemanusiaan, dan itu adalah kejahatan perang,” tegas Ávila.
Lebih lanjut, Ávila menyampaikan bahwa mereka kini berada sekitar 140 mil laut dari pesisir Gaza dan masih dalam wilayah perairan internasional.
Ia menegaskan bahwa tujuan mereka adalah menuju perairan teritorial Palestina, bukan Israel.
Menurutnya, setiap tindakan penghadangan dari Israel akan menjadi pelanggaran terhadap putusan Mahkamah Internasional dan mencerminkan kejahatan baru di tengah pengepungan brutal atas Gaza yang bahkan telah memutus suplai makanan dan air.
Meski demikian, risiko konfrontasi tetap tinggi. Menteri Pertahanan Israel, Yoav Gallant, telah memerintahkan militer untuk mencegah kedatangan kapal “Madeleine”.
Menanggapi hal itu, Ávila menyatakan bahwa pihaknya telah menyiapkan prosedur darurat untuk melindungi diri, walau mereka menyadari risiko tertinggi.
“Israel bisa saja membunuh semua orang di atas kapal,” katanya.
Di sisi lain, media Israel melaporkan bahwa angkatan laut negara itu telah menggelar latihan penyergapan kapal di lepas pantai Ashdod, yang diduga sebagai bagian dari persiapan untuk menghadang “Madeleine”.
Komite Internasional untuk Mengakhiri Blokade Gaza melaporkan bahwa kapal “Madeleine” mengalami gangguan sinyal berat yang mereka yakini sebagai upaya sabotase dari pihak Israel.
Seorang dokter asal Prancis yang turut serta di atas kapal mengatakan bahwa sebuah drone terus mengawasi kapal selama berjam-jam.
Lorena Delgado, anggota parlemen Swedia yang mendukung misi ini, menyatakan bahwa Israel memiliki sejarah panjang dalam melakukan kekerasan terhadap aktivis sipil.
“Penolakan terhadap kapal ‘Madeleine’ adalah kejahatan lain dalam rangkaian kejahatan terhadap rakyat Palestina yang tengah mengalami genosida,” katanya.
Delgado juga mengkritik keras sistem apartheid yang diterapkan Israel dan menolak klaim bahwa negara tersebut adalah demokrasi sejati.
Ia berharap solidaritas masyarakat sipil Eropa terus berlanjut, dan mendorong pemerintah-pemerintah untuk bertindak sesuai hukum internasional.
Sementara itu, pengamat politik dari Universitas Sorbonne, Dr. Mohamed Henid, menilai bahwa misi “Madeleine” telah berhasil secara moral dengan keberangkatannya dari pelabuhan Eropa menuju Gaza.
Namun, ia memperkirakan Israel akan mengulangi pola yang sama seperti dalam tragedi “Mavi Marmara” tahun 2010 yang menewaskan sembilan aktivis.
Henid juga mengecam keras sikap dunia Arab yang dinilainya pasif dan diam atas penderitaan rakyat Gaza.
“Ketika masyarakat sipil di Barat bergerak, dunia Arab justru lumpuh secara politik, kelembagaan, dan sipil,” ujarnya.