Sunday, October 5, 2025
HomeBeritaAktivis GSF: Israel mencuri laptop dan HP kami selama ditahan

Aktivis GSF: Israel mencuri laptop dan HP kami selama ditahan

Para aktivis yang ikut dalam Armada Keteguhan Dunia (Global Solidarity Flotilla) menceritakan pengalaman mereka selama serangan Israel terhadap kapal-kapal mereka dan masa penahanan yang mereka alami sesudahnya.

Sejak Rabu malam pekan lalu, otoritas Israel merebut 42 kapal milik armada tersebut ketika sedang berlayar di perairan internasional menuju Jalur Gaza.

Ratusan aktivis internasional yang berada di atas kapal ditangkap.

Kementerian Luar Negeri Turki menyatakan, Sabtu kemarin, bahwa sebanyak 137 aktivis yang ditahan oleh Israel karena keterlibatan mereka dalam armada itu telah tiba kembali di Turki setelah dideportasi.

Aktivis Turki Iqbal Gurbanar mengatakan, tindakan Israel sekali lagi memperlihatkan betapa lemahnya negara itu di hadapan opini publik dunia sekaligus menyingkap wajah aslinya.

“Mereka ingin membuat kami menangis, tetapi kami justru tertawa dan bernyanyi. Mereka terkejut—bertanya-tanya bagaimana kami bisa tetap tegar seperti itu. Mereka sengaja membuat kami kelaparan; dalam satu ruangan berisi 14 orang, hanya ada satu piring makanan. Bahkan makanan itu nyaris tak bernilai gizi,” ujarnya.

Ia menambahkan, para tahanan tidak diberi air bersih, dan seluruh obat-obatan mereka disita serta dibuang di depan mata mereka.

“Mereka mencuri semua barang kami—laptop, ponsel, dan pengisi daya—dan menaruhnya di tas mereka sendiri. Pencurian tampaknya sudah menjadi bagian dari watak mereka. Mereka mencuri segalanya dari rakyat Palestina—bahkan tanah air mereka,” katanya.

Runtuhnya citra Israel di Eropa

Aktivis lain, Zeynep Dilek Tek Ocak, mengaku tidak pernah menyangka Israel akan menunjukkan “kegilaan seperti itu” dalam sebuah armada yang diikuti perwakilan dari 72 negara.

“Setelah kami memprotes pidato yang disampaikan oleh apa yang mereka sebut ‘Menteri Genosida’ Itamar Ben Gvir, kekerasan terhadap kami meningkat. Kami meneriakkan slogan-slogan dan tidak membiarkannya berbicara lama. Ia marah besar—dan setelah itu tekanan terhadap kami semakin brutal,” tuturnya.

Ocak menambahkan, di antara para peserta armada terdapat anggota parlemen, pemimpin serikat pekerja, pengacara, dan perwakilan dari berbagai profesi.

“Saat kami berada di sel tahanan, semua berkata: ketika kembali ke negara masing-masing, kami akan menyingkap wajah asli Israel,” imbuhnya.

Di Turki, katanya, pihaknya sudah tahu siapa mereka sebenarnya. Tapi di Eropa, citra Israel sangat berbeda.

“Kini, citra itu telah runtuh total. Israel sendiri yang membawa awal dari kejatuhannya,” ujarnya.

Sementara itu, aktivis Osman Çetin Kaya menceritakan bahwa ia berada di kapal utama armada, yang menjadi sasaran pertama pasukan Israel.

“Prajurit Israel menarik kapal kami ke pelabuhan mereka dan memborgol tangan kami, seolah itu akan mempermalukan kami. Ketika kami menolak dan melawan, kekerasan mereka justru meningkat. Kami dipindahkan ke kamp penahanan, lalu ke penjara. Semua barang pribadi kami disita dan dijarah,” katanya.

Menurutnya, para tahanan terus berada di bawah tekanan.

“Sepanjang malam kami terus dipindahkan dari satu tempat ke tempat lain. Mereka tidak memberi kami ketenangan barang sesaat,” ujarnya.

Bagian dari penderitaan yang dialami warga Palestina

Aktivis Turki Ayçin Kant Oğlu mengatakan bahwa apa yang mereka alami selama penahanan merupakan cerminan kecil dari penderitaan rakyat Palestina sehari-hari.

“Kami telah melakukan apa yang harus kami lakukan, dan kami kembali tanpa rasa takut. Mereka melakukan hal-hal yang sangat rendah secara moral. Di tempat penahanan perempuan, mereka menggantung spanduk besar bergambar Gaza yang hancur dan menuliskan kalimat: ‘Selamat datang di Gaza.’ Itu adalah puncak dari kebiadaban,” ujarnya.

Ia menambahkan bahwa di dinding-dinding sel ada tulisan dengan darah—para ibu yang ditahan menulis nama anak-anak mereka.

“Kami diberi air kotor dan diperintahkan minum dari toilet. Kami bertahan sekitar 40 jam tanpa makanan,” katanya.

Kant Oğlu juga mengungkap adanya pemeriksaan telanjang terhadap para perempuan.

“Mereka menanggalkan semua pakaian kami. Di setiap pos pemeriksaan kami diperiksa berulang kali—bahkan mereka memeriksa mulut kami dan sela gigi kami. Mereka memperlakukan kami seperti teroris. Kami berteriak di wajah mereka bahwa kami bukan penjahat—justru merekalah yang melanggar hukum dan menculik orang,” tegasnya.

Aktivis asal Argentina Gonzalo de Britoro menuturkan bahwa para tentara Israel memperlakukan dirinya dengan kasar.

“Mereka sangat agresif terhadap para aktivis,” katanya.

Sementara aktivis asal Prancis keturunan Maroko, Yassine Benjeloun, mengungkapkan bahwa para aktivis dilarang mengonsumsi obat-obatan mereka sendiri dan baru diberi air minum setelah 32 jam penahanan.

“Selain perlakuan buruk, kami juga disiksa. Tim penembak jitu bersama anjing polisi kerap menerobos ke dalam ruang tahanan di tengah malam, membangunkan kami, dan melarang kami tidur lagi,” tambahnya.

Aktivis dan jurnalis Italia Lorenzo Agostino juga menggambarkan kekerasan yang dialami para tahanan.

“Mereka memperlakukan kami seolah kami kelompok teroris. Mereka menendang orang-orang, tidak memberi air bersih selama lebih dari dua hari, dan menggunakan setiap kesempatan untuk mempermalukan kami semua,” ujarnya.

Dari Kuwait, aktivis Mohammad Jamal menceritakan bahwa sekitar 700 personel pasukan khusus Israel terlibat dalam operasi penangkapan itu.

“Sekitar 20 tentara merebut kapal yang kami tumpangi. Kami dibiarkan di bawah terik matahari selama 12 jam dari titik penahanan hingga Pelabuhan Ashdod. Kami diperlakukan dengan sangat buruk dan tidak diberi makanan, hanya air. Setibanya di Ashdod, perlakuan polisi lebih kasar lagi,” katanya.

Menurut Jamal, sejumlah aktivis dipukul dan dihina.

“Tampak jelas para tentara berada di bawah tekanan opini publik internasional,” ujarnya.

Perlakuan kasar dan penghinaan

Dua aktivis lainnya, warga Amerika Windfield Beaver dan warga Malaysia Hazwani Helmi, mengatakan kepada Reuters di bandara bahwa mereka melihat aktivis lingkungan asal Swedia Greta Thunberg mendapat perlakuan buruk.

“Ia didorong dan dipaksa mengenakan bendera Israel,” kata mereka.

Menurut lembaga hak asasi Israel Adalah, yang memberikan bantuan hukum bagi para aktivis, sebagian dari mereka tidak diberi akses ke pengacara, air, obat-obatan, maupun kesempatan untuk menggunakan toilet.

Lembaga itu menambahkan bahwa para aktivis dipaksa berlutut dengan tangan terikat menggunakan tali plastik selama sedikitnya 5 jam, setelah beberapa di antara mereka meneriakkan slogan ‘Kebebasan untuk Palestina’.

Kementerian Luar Negeri Turki melaporkan, di antara para aktivis yang tiba di Bandara Istanbul pada Sabtu lalu terdapat 36 warga negara Turki, serta peserta dari AS, Uni Emirat Arab, Aljazair, Maroko, Italia, Kuwait, Libya, Malaysia, Mauritania, Swiss, Tunisia, dan Yordania.

Armada Keteguhan Dunia yang berangkat pada akhir Agustus lalu merupakan upaya terbaru aktivis internasional untuk menantang blokade laut Israel atas Jalur Gaza—wilayah yang kini dilanda genosida brutal oleh pasukan pendudukan Israel.

Lebih dari 67.000 orang telah gugur, puluhan ribu lainnya terluka, dan sebagian besar infrastruktur Gaza hancur, menciptakan krisis kemanusiaan yang belum pernah terjadi sebelumnya.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Terpopuler