Osama Qashoo, pencipta Gaza Cola asal Palestina, mengungkapkan bahwa ia akan menggunakan keuntungan dari penjualan minuman ringan tersebut untuk membantu membangun kembali Rumah Sakit al-Karama di Gaza Utara, yang hancur akibat serangan pasukan Israel.
Menurut laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), sistem kesehatan Gaza berada di ambang kehancuran karena serangan Israel yang terus menargetkan fasilitas kesehatan, termasuk rumah sakit.
Qashoo berharap keuntungan dari Gaza Cola bisa digunakan untuk membangun kembali Rumah Sakit al-Karama, meskipun hingga kini ia belum bisa memastikan berapa lama dan berapa banyak biaya yang dibutuhkan.
“Rumah sakit ini sudah hancur berantakan tanpa alasan yang jelas, seperti banyak rumah sakit lainnya di Gaza,” kata Qashoo, yang juga seorang pembuat film, aktivis hak asasi manusia, dan kini produsen minuman berkarbonasi.
Ia memilih Rumah Sakit al-Karama karena, meskipun kecil, rumah sakit ini dianggap lebih mudah untuk dikelola dan biayanya tidak terlalu besar.
Namun, Qashoo mengakui bahwa ia belum bisa memastikan berapa banyak dana yang dibutuhkan untuk merekonstruksi rumah sakit tersebut.
“Kita harus memiliki imajinasi… kita harus bermimpi, kalau tidak, kita tidak bisa hidup,” ujarnya.
Saat ini, tim Qashoo sudah membangun rumah sakit lapangan sementara di lokasi lain di Gaza menggunakan parasut sumbangan dari bantuan internasional sebagai bahan untuk membangun tempat berlindung darurat.
Qashoo pertama kali mencetuskan ide untuk Gaza Cola pada November 2023. Kaleng merah yang digunakan untuk minuman ini menampilkan bendera Palestina, tulisan “Gaza Cola” dalam kaligrafi Arab, dan pola yang terinspirasi dari keffiyeh, syal tradisional Palestina yang menjadi simbol perlawanan.
Bagi Qashoo, Gaza Cola lebih dari sekadar minuman. Ia melihat produk ini sebagai bentuk pernyataan terhadap perusahaan-perusahaan besar yang berinvestasi dalam perdagangan senjata.
“Ini pertanyaan tentang martabat. Apakah mereka melihat apa yang dilakukan oleh uang mereka? Uang mereka merusak, menghancurkan rumah dan lingkungan kita. Mereka perlu sadar bahwa keserakahan mereka menyebabkan genosida terhadap kami,” tegas Qashoo.
Qashoo adalah pendukung gerakan Boikot, Divestasi, dan Sanksi (BDS). Ia juga ikut mendirikan International Solidarity Movement (ISM) pada tahun 2001 dan terlibat dalam Gaza Freedom Flotilla pada tahun 2010.
Asli Nablus, Tepi Barat, Qashoo telah tinggal di Inggris selama lebih dari 18 tahun setelah terpaksa melarikan diri dari Palestina, akibat ditembak, dipenjara, dan disiksa oleh pasukan Israel.
Tahun lalu, ia membuka Palestine House di London, sebuah pusat politik dan budaya bagi warga Palestina dan para pendukungnya.
Coca-Cola, yang selama ini menjadi sasaran seruan boikot BDS, memiliki pabrik di pemukiman industri Atarot yang terletak di Yerusalem Timur yang diduduki Israel.
Qashoo memandang Coca-Cola sebagai simbol perusahaan besar yang tidak peduli terhadap kemanusiaan. Ini bukan kali pertama Coca-Cola, bersama dengan perusahaan besar lain, menjadi target boikot. Beberapa tahun lalu, merek-merek seperti McDonald’s, Coca-Cola, dan PepsiCo juga mendapat kecaman karena terus beroperasi di Rusia setelah invasi ke Ukraina pada 2022.
Hingga akhir tahun lalu, Gaza Cola sudah terjual lebih dari 500.000 kaleng. Minuman ini dijual online, dengan harga 30 poundsterling untuk satu kemasan 24 kaleng dan 12 poundsterling untuk enam kaleng.
Gaza Cola telah dipasarkan ke seluruh Inggris, serta dikirim ke negara-negara lain seperti Spanyol, Australia, Afrika Selatan, dan Kuwait.
Sayangnya, meskipun teman dan keluarga Qashoo di Gaza dan Tepi Barat sangat ingin mencobanya, mereka kemungkinan besar tidak akan mendapatkan kesempatan untuk mencicipi minuman tersebut.