Dalam perjalanan menuju Desa Al-Mughayyir, sebuah perkampungan kecil di timur laut Ramallah, obrolan di dalam taksi seakan hanya berputar pada satu hal: operasi militer yang baru saja meninggalkan jejak luka di desa itu.
Sejak Kamis pagi hingga Minggu kemarin, pasukan Israel menguasai desa, menggeledah rumah-rumah, dan menebar ketakutan.
Dua perempuan yang duduk di kursi belakang bercerita bagaimana rumah mereka digeledah.
Mereka harus menahan rasa malu ketika diperiksa secara kasar oleh tentara perempuan Israel yang menyertai pasukan.
Seorang sopir lain, sambil berbincang dengan rekannya, mengisahkan rasa cemasnya pada sang putri kecil yang masih ingin bermain sepeda di halaman rumah, tanpa mengerti mengapa sang ayah melarangnya keluar.
Perjalanan yang berliku
Al-Mughayyir berjarak hanya 27 kilometer dari Ramallah dan Al-Bireh. Jarak yang di tempat lain bisa ditempuh dalam 25 menit, di Tepi Barat memerlukan hampir satu setengah jam.
Jalan-jalan utama terputus oleh pos pemeriksaan dan jalan khusus bagi pemukim, membuat warga harus berputar jauh melalui jalur pedesaan.
Sejak serangan Israel ke Gaza, tentara juga menutup akses utama dari Al-Mughayyir ke kawasan Lembah Yordan.
Warga yang bekerja di wilayah itu terpaksa menempuh rute berkelok melalui desa-desa lain, dengan ongkos dan waktu perjalanan yang kian berlipat. Semua itu dipandang sebagai bagian dari strategi pemiskinan sistematis.
Minggu pagi, ketika tentara menarik diri, penduduk berbondong ke ladang mereka di sisi timur desa.
Pemandangan yang mereka dapati membuat dada sesak: lebih dari 12.000 pohon buah ditebang dan digusur buldoser, seakan untuk menghapus bukti bahwa tanah itu pernah hidup dan ditanami.
Bagi warga, setiap pohon adalah penanda sejarah. Mereka tumbuh bersama pohon-pohon itu, mengukur usia, bahkan mengingat peristiwa penting dalam hidup dengan merujuk pada pohon yang mereka rawat.
Seorang perempuan berusia sekitar 40 tahun berdiri di samping batang pinus yang tercabut dari tanah.
“Sejak aku membuka mata di dunia ini, pohon ini sudah ada,” katanya dengan mata berkaca.
Di desa ini, tanggal dan peristiwa kerap dikenang melalui duka. Seorang ibu, misalnya, menandai kabar dari putranya yang dipenjara.
“Hari ketika Hamdan Abu Aliya gugur, aku menerima telepon dari teman anakku yang baru bebas, untuk menanyakan keadaanku,” katanya.
Penetapan hari
Keluarga besar Abu Aliya juga menyimpan luka yang masih basah. Pada April 2024, Jihad Abu Aliya ditembak mati di atap rumahnya ketika berusaha membela tanah desa dari serangan pemukim.
Peristiwa itu menjadi semacam titik balik dalam ingatan kolektif Al-Mughayyir. Kini, di halaman rumah keluarga itu, warga bergantian datang memberi dukungan setelah melewati hari-hari penuh ketegangan selama operasi militer.
Para lelaki desa berkumpul di antara batang-batang zaitun yang sudah tak lagi berdaun, pepohonan yang mereka tanam dan rawat selama puluhan tahun.
Kini, yang tersisa hanya tunggul-tunggul gersang, seakan menegaskan upaya menghapus jejak keberadaan mereka di tanah ini.
Ketika tamu-tamu disuguhi kopi oleh salah seorang putra keluarga Abu Aliya, sebuah mobil pemukim Israel berhenti di kejauhan.
Sang pengemudi turun, membuat gerakan tangan yang mengejek, bahkan melontarkan ancaman.
Sekelompok pemuda desa mendekat, menampakkan jumlah mereka untuk menunjukkan bahwa mereka tidak sendirian. Pemukim itu akhirnya pergi, tapi rasa was-was tetap menggantung.
Dalam suasana yang berat itu, pasangan muda Samah dan Sana Abu Aliya mencoba menata awal rumah tangga mereka.
Mereka baru menikah kurang dari sebulan, namun bukan kelembutan dan ketenangan yang mereka rasakan.
Sejak hari-hari pertama, kehidupan perkawinan mereka justru diguncang oleh ketakutan, penggusuran, dan deru buldoser di ladang keluarga.
Saat-saat mencekam
Sana Abu Aliya masih mengingat jelas detik-detik pertama operasi militer itu. Ia terbangun oleh telepon yang memperingatkan bahwa rumahnya telah terkepung pemukim dari segala arah.
Tidak lama berselang, pasukan Israel bersama rombongan pemukim menyerbu lahan desa dan menerobos masuk rumah-rumah, dimulai dari rumah tempat Sana tinggal bersama keluarga suaminya.
Tentara menggeledah setiap ruangan, memeriksa identitas penghuni, sambil meninggalkan jejak kerusakan.
Seorang perwira bahkan melontarkan ejekan bernada sinis kepada pemilik rumah.
“Rumahmu besar dan indah,” ujarnya sambil menyiratkan ancaman.
Para pemukim pun terang-terangan menakut-nakuti, bahwa rumah itu bisa menjadi sasaran serangan berikutnya.
Setelah pasukan melanjutkan penggeledahan ke rumah lain, keluarga Abu Aliya naik ke atap untuk melihat kondisi sekitar.
Saat itulah seorang pemukim tiba-tiba melepaskan tembakan. Peluru nyaris mengenai keluarga.
Seorang perempuan yang tengah hamil tujuh bulan terjatuh akibat panik, namun mereka tidak bisa memanggil ambulans untuk memastikan keselamatan dirinya dan janin yang dikandung.
“Ketika air mata pertama jatuh menyaksikan pohon-pohon dicabut, kami hanya bisa berucap Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un. Kami akan menanam kembali. Tapi hati terasa hancur mengingat kerja keras bertahun-tahun lenyap begitu saja. Namun bagi saya, biarlah harta dunia hilang, asal tidak menetes darah dari para pemuda desa,” kata Sana dengan suara bergetar.
Teror yang disengaja
Rumah keluarga besar Abu Aliya sudah lama menjadi sasaran. Sang pemilik rumah, Abdul Latif, memiliki saudara dengan disabilitas.
Justru keadaan itu kerap dijadikan alasan bagi tentara untuk mengincar kamar sang penyandang disabilitas.
Setiap penggerebekan, ruangannya selalu dijadikan titik pertama operasi, seolah dijadikan medan latihan untuk menebar rasa takut.
Sana mengenang satu malam yang paling menegangkan. Seorang pemukim mendekat dengan buldoser hingga hanya beberapa meter dari tembok rumah.
Cahaya sorot diarahkan ke jendela, sementara kamera mereka merekam dan memotret isi rumah.
“Kami semua merasa dinding bisa runtuh kapan saja,” ujarnya.
Perempuan-perempuan di desa bercerita hal serupa. Foto-foto mereka sengaja diambil lalu disebar lewat kanal Telegram milik kelompok pemukim.
Bagi masyarakat yang menjunjung tinggi nilai kesopanan, aksi itu adalah penghinaan dan provokasi.
Bagi para lelaki, itu adalah bentuk teror yang sengaja ditujukan untuk menguji batas kesabaran mereka.
Sementara itu, anak-anak menangis ketakutan. Banyak suami terjebak di luar desa saat penggerebekan berlangsung, tidak bisa segera pulang untuk melindungi keluarga.
Beberapa pemuda nekat menembus pegunungan dengan berjalan kaki agar bisa kembali.
Sebagian dari mereka dikejar tentara dan pemukim, ada yang berhasil lolos dengan susah payah, berlari tanpa senjata di antara tebing gelap, hanya selangkah dari maut.
Bagi warga Palestina, beban penderitaan datang dari 2 arah. Dari Gaza, kabar kematian dan kehancuran terus berdatangan.
Dari Tepi Barat, mereka berhadapan dengan agresi pemukim yang dilindungi tentara. Kedua realitas itu saling bertumpuk, meninggalkan luka ganda.
Namun, di Al-Mughayyir, yang tampak justru keteguhan: setiap upaya perampasan selalu disambut dengan kesiapsiagaan untuk mempertahankan desa.
Sore itu, sebelum jurnalis meninggalkan desa, suasana kembali menegang. Ponsel warga berbunyi hampir bersamaan.
Sebuah rekaman suara beredar, berisi panggilan bagi seluruh penduduk untuk berkumpul membela desa.
Para pemuda melaporkan adanya kerumunan pemukim di kawasan Khilayil, seolah-olah sedang bersiap melancarkan serangan baru.
Di Al-Mughayyir, kecemasan tak pernah benar-benar berlalu. Setiap hari, setiap malam, bisa menjadi awal dari tiga hari mencekam berikutnya.