Di tengah kehancuran besar-besaran yang melanda Gaza Utara, Jurnalis Foto Palestina, Ali Hassan Jadallah, berdiri di depan rumahnya yang hancur. Perasaannya campur aduk antara kaget dan rindu, antara kenangan yang jelas dalam jiwanya dan kenyataan yang pahit dan menyakitkan.
Momen yang ditunggu-tunggu ini tidak seperti yang dibayangkan. Rumahnya dan rumah keluarganya hancur, dan kenangan indah masa lalu telah terhapus sepenuhnya, setelah rudal-rudal Israel merampas semua yang dia miliki: ayahnya, ketiga saudaranya, saudari perempuannya, dan kehidupan lamanya.
Pada 11 Oktober 2023 lalu, tentara Israel membombardir rumah keluarga Jadallah, menewaskan ayahnya dan empat saudaranya, di lingkungan Sheikh Radwan di bagian barat laut Kota Gaza.
Kematian tanpa terkecuali
Jadallah, seorang fotografer Anadolu Agency berusia 35 tahun, telah meliput banyak perang di Jalur Gaza, tetapi perang ini berbeda. Ini adalah “perang pembantaian” seperti yang ia gambarkan, tak menyisakan siapa pun dan tidak meninggalkan.
Ini adalah perang terhadap manusia dan batu, dan perang terhadap jurnalis yang menjadi target langsung. Lebih dari 200 rekan jurnalisnya tewas, dan kini ia adalah salah satu yang selamat, tetapi dia membayar harga yang sangat mahal.
Dengan suara parau dan nada sedih, Ia mengungkapkan sambil merenungi puing-puing rumah keluarganya yang dulunya penuh kehidupan.
“Saya tidak hanya kehilangan rumah saya, tapi saya kehilangan segalanya. Saya kehilangan ayah, tiga saudara laki-laki saya, dan saudari saya.
Bahkan ibu saya ditarik keluar dalam keadaan terluka dari bawah puing-puing, sementara dia sedang sakit”, katanya kepada koresponden Anadolu Agency.
Perang dan Kehilangan
Jadallah menceritakan detail-detail kepedihan, ketika rumahnya berubah menjadi tumpukan puing dalam sekejap mata, dan ketika dia kehilangan keluarganya dalam sekejap tanpa bisa mengambil jenazah saudarinya hingga saat ini.
“Saya terlibat dalam perang di berbagai front, perang pendudukan yang menargetkan kita semua, perang dan kehilangan keluarga saya, dan perang merawat ibu saya yang terluka dan sakit. Saya berada di antara api yang tak kenal ampun, di antara kepedihan yang tak berujung”, kata
Jadallah menggambarkan perasaan yang tidak pernah hilang darinya sejak awal perang ketika orang-orang yang dia cintai pergi tanpa kembali.
Setelah beberapa bulan mengungsi, Jadallah akhirnya kembali ke Gaza Utara, bukan untuk mencari kehidupan baru, tetapi untuk menggali sisa-sisa kehidupan, mencari jejak apa pun yang menghubungkannya dengan keluarganya yang hilang di bawah reruntuhan.
Pertama-tama, dia pergi ke rumahnya yang hancur, berjalan di atas puing-puingnya, ia tidak menemukan apa-apa selain kehancuran dan kenangan-kenangan yang berserakan yang masih menggantung di tempat itu.
Kemudian dia pergi ke rumah keluarganya, tempat dia kehilangan orang-orang yang dicintainya, dan di sana dia diliputi perasaan campur aduk antara kesedihan, kerinduan, dan ketidakberdayaan.
“Saya kembali untuk berziarah ke makam, menyapa kepada mereka, membacakan Al-Fatihah untuk arwah mereka, dan berbicara sebentar dengan mereka. Saya tahu mereka tidak akan menjawab, tapi saya perlu memberitahu mereka betapa saya merindukan mereka,” ucapnya lirih.
Namun yang paling mengganggunya adalah nasib saudarinya, Dua’a, yang jenazahnya hingga kini belum ditemukan. “Saya berharap bisa menemukan setidaknya sebagian dari tubuhnya, agar saya bisa menguburkannya dengan hormat,” katanya bersedih.
Istanbul, Tempat Perlindungan Keluarga
Di tengah kehancuran, Jadallah menemukan sedikit pelipur lara. Istri dan anak-anaknya berhasil meninggalkan Gaza menuju Istanbul pada awal perang, berkat upaya Anadolu Agency.
Setelah beberapa waktu, ibunya yang sakit bergabung dengan mereka, sementara dia menetap sendirian di Gaza, berjuang untuk beradaptasi dengan realitas yang sulit dan tak tertahankan.
“Saya tidak bisa mengatakan bahwa saya kembali ke Gaza Utara di antara keluarga dan orang-orang yang saya cintai, karena saya telah kehilangan keluarga saya, tapi masih ada orang-orang yang dicintai di sini,” katanya dengan suara antara sedih dan perasaan Syukur.
Saat ini, fotografer Palestina ini hidup di antara perasaan harapan dan kesedihan yang bertentangan. Ia mencoba menghadapi kenyataan yang menyakitkan itu.
“Situasinya sangat sulit, pahit dan menyakitkan. Perasaan kesepian itu membunuh”, akunya.
“Ketika saya masuk ke rumah saya dan rumah keluarga saya, saya mengingat semuanya, saya ingat saat pemboman, saya ingat bagaimana saya mengeluarkan ayah dan saudara-saudara saya dari bawah puing-puing, dan bagaimana saya berhasil menarik ibu saya yang terluka dari bawah reruntuhan. Itu adalah perasaan yang tidak bisa digambarkan dengan kata-kata,” kata Jadallah.
“Rasanya yang aneh, kembali ke tempat yang menyaksikan rasa sakit terbesar dalam hidupmu, berdiri di tempat anda kehilangan segalanya, mencoba untuk merasakan sesuatu dari masa lalu di tengah kehancuran ini. Tidak ada kata-kata yang cukup untuk menggambarkan perasaan ini”, ia sempat berhenti sejenak lalu melanjutkan.
Perjalanan Mengungkap Kebenaran
Pada akhirnya, terlepas dari semua kehilangan dan rasa sakit, Ali Jadallah masih membawa kameranya, mendokumentasikan apa yang tersisa dari Gaza. Menceritakan kisah-kisah rakyat Palestina, karena ia tahu bahwa kebenaran harus diungkapkan. Tetapi sekarang ia bukan hanya seorang fotografer yang mendokumentasikan penderitaan orang lain, ia sendiri telah menjadi bagian dari cerita itu.
Sejak seminggu yang lalu, warga Palestina terus kembali dari selatan dan tengah Gaza ke provinsi Gaza dan Utara. Sebagai bagian dari kesepahaman gencatan senjata antara Hamas dan Israel yang mulai berlaku pada 19 Januari lalu.
Pada 19 Januari, kesepakatan gencatan senjata di Jalur Gaza dan pertukaran tahanan antara Hamas dan Israel mulai berlaku. Kesepakatam itu mencakup 3 tahap yang masing-masing berlangsung selama 42 hari, dengan negosiasi selama tahap pertama untuk memulai tahap kedua dan ketiga, dengan mediasi Mesir dan Qatar serta dukungan Amerika Serikat.
Sejak 7 Oktober 2023 hingga 19 Januari 2025, Israel dengan dukungan Amerika, telah melakukan genosida di Gaza, yang mengakibatkan lebih dari 159.000 warga Palestina tewas dan terluka, sebagian besar adalah anak-anak dan wanita, dan lebih dari 14.000 orang hilang.