Thursday, August 28, 2025
HomeBeritaAnak-anak Gaza terpaksa jilat antibiotik beku demi rasakan es krim

Anak-anak Gaza terpaksa jilat antibiotik beku demi rasakan es krim

Siang terik di Gaza terasa menempel di kulit, seperti asap panas yang tak kunjung reda. Di sebuah sudut jalan, seorang anak lelaki berdiri di antrean panjang, menunggu bagiannya.

Bajunya basah oleh keringat, wajahnya berdebu, bibirnya pecah-pecah karena dehidrasi.

“Saya mau stroberi, jangan anggur lagi. Anggur rasanya seperti rumah sakit,” katanya lirih saat tiba gilirannya.

Kisah itu ditulis jurnalis Palestina, Lujain Hamdan, dalam artikel di Prism, sebuah media independen di Amerika Serikat (AS).

Ia menggambarkan tragedi kecil namun sarat makna yang kini menimpa anak-anak Gaza: kehausan akan hal sesederhana es krim, tetapi yang tersedia hanyalah obat yang seharusnya menyembuhkan.

Dari balik meja, lelaki paruh baya dengan mata sayu dan baju tambalan mengulurkan tangannya ke sebuah freezer kecil bertenaga surya.

Ia mengeluarkan sebongkah cairan beku yang cacat bentuk, dibungkus plastik robek, lalu menyerahkannya seperti memberikan harta.

“Lima shekel harganya,” katanya.

Anak itu, bernama Yusuf, menggigit sedikit.

“Rasanya seperti penyakit. Tapi kalau saya memejamkan mata, bisa saya bayangkan seperti mangga,” katanya pelan sambil matanya menyipit.

Hamdan menulis, ia tak sempat menanyakan usia Yusuf. Sebab, di Gaza, masa kanak-kanak tidak lagi dihitung dengan tahun, melainkan dengan lamanya jeda gencatan senjata.

Belakangan baru ia tahu, apa yang tampak seperti es krim itu sejatinya hanyalah sirup antibiotik kadaluarsa—biasanya digunakan untuk mengobati infeksi anak—yang dibekukan dan dijual sebagai pengganti permen.

“Mati perlahan”

Saat cerita Yusuf disampaikan kepada ibunya yang dahulu seorang apoteker, sang ibu hanya terdiam.

“Itu bukan bertahan hidup. Itu mati perlahan. Anak itu menjilat dua kali lalu meninggalkannya. Begitulah bakteri belajar, dan infeksi menang,” katanya lirih.

Kekhawatiran itu benar adanya. Laporan medis menegaskan, konsumsi antibiotik tanpa resep hanya memperparah resistensi bakteri.

Dosis kecil dan terputus—seperti yang dialami anak-anak Gaza lewat “es krim antibiotik”—tidak cukup membunuh bakteri, justru memberi kesempatan mereka beradaptasi.

Infeksi yang seharusnya bisa disembuhkan, bisa berubah menjadi penyakit mematikan tanpa obat yang efektif.

“Di tempat seperti Gaza, ketika rumah sakit hancur dan apotek kosong, peluang untuk sembuh hampir mustahil. Es krim antibiotik yang hari ini dinikmati anak-anak bisa jadi membuat mereka kehilangan kesempatan hidup esok hari,” tulis Hamdan, mengutip para dokter.

Es krim yang tak pernah sama

Penjual “es krim antibiotik” itu sendiri berdalih, tindakannya bukan semata urusan dagang.

“Saya hanya tidak ingin anak-anak melupakan rasa es krim, atau sekadar perasaan Bahagia,” katanya.

Pernyataannya mengingatkan Hamdan pada toko-toko es krim ternama di Gaza—Khadzim, Glass, dan Mazaj—yang dulu ramai dan berkilau lampu neon, tetapi kini hanya tinggal puing sejak pekan-pekan pertama perang.

Freezer mereka meleleh, dan anak-anak yang melintas bahkan tak lagi berhenti, seakan tak pernah tahu apa yang pernah ada di sana.

Kini, rasa stroberi, jeruk, atau anggur yang dulu akrab di botol obat, justru menjadi simbol kebahagiaan singkat yang tersisa.

Fenomena ini bukan satu-satunya. Anak-anak lain menyebut tahini dicampur pemanis sintetis sebagai “cokelat putih”.

Sebagian mengunyah kacang arab kering, lalu meminta ibu mereka memanggangnya seolah “kacang Lebaran”.

Para ayah bahkan menggiling pakan ternak dicampur lentil untuk membuat roti keras berwarna kelabu.

Semua ini terjadi di tengah bencana kelaparan menyeluruh, ketika gizi hancur bersama reruntuhan, dan masa kecil perlahan larut bersama puing-puing Gaza.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular