Monday, June 30, 2025
HomeBeritaAnalis dan pakar: Deadline Trump untuk gencatan senjata di Gaza tidak realistis

Analis dan pakar: Deadline Trump untuk gencatan senjata di Gaza tidak realistis

Sejumlah analis dan pakar politik internasional menilai bahwa tenggat waktu yang ditetapkan Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump untuk menghentikan agresi militer Israel di Gaza tidak realistis.

Mereka menegaskan bahwa masih ada sejumlah kendala fundamental yang menghambat tercapainya kesepakatan gencatan senjata antara Israel dan kelompok perlawanan Palestina.

Usai berakhirnya perang terbuka antara Israel dan Iran, Presiden Trump menyatakan niatnya untuk segera mengakhiri serangan Israel di Gaza.

Ia bahkan menyampaikan optimisme bahwa gencatan senjata dapat tercapai paling lambat pekan depan.

Di tengah upaya ini, Haartez, media Israel, melaporkan bahwa Menteri Urusan Strategis Israel Ron Dermer dijadwalkan bertemu sejumlah pejabat tinggi Gedung Putih pada Senin mendatang.

Menanggapi batas waktu yang disebutkan Trump, Thomas Warrick, mantan pejabat di Departemen Luar Negeri AS, menyebut bahwa Trump menggunakan waktu secara fleksibel.

Menurutnya, pernyataan itu lebih mencerminkan bahwa mengakhiri perang di Gaza menjadi prioritas AS, ketimbang batas waktu yang benar-benar ketat.

Warrick menilai bahwa substansi dari pertemuan Dermer di Washington lebih menentukan arah kebijakan ke depan.

Warrick mengungkapkan bahwa usulan AS mencakup penghentian perang hanya jika para pemimpin Hamas meninggalkan Gaza dan kelompok itu meletakkan senjatanya.

Selain itu, utusan khusus AS untuk Timur Tengah, Steven Witkoff, disebut-sebut akan didorong untuk menekan Israel agar menyetujui pengalihan otoritas di Gaza kepada Otoritas Palestina.

Masih dari laporan Haartez, seorang pejabat di Gedung Putih menuturkan bahwa dalam pertemuan dengan Dermer, Israel akan didesak untuk menghentikan perang, menyelamatkan sandera yang masih hidup, dan menunda rencana pembubaran Hamas.

Pembicaraan Dermer juga akan membahas kelanjutan negosiasi AS-Iran serta perluasan Abraham Accords, perjanjian normalisasi antara Israel dan negara-negara Arab.

Sementara itu, Ketua Jurusan Ilmu Politik Universitas Hebron, Dr. Bilal al-Shobaki, menilai bahwa gencatan senjata dalam waktu dekat sangat kecil kemungkinannya.

Menurutnya, terdapat perbedaan mendasar dalam cara pandang mengenai akhir perang: dari sudut pandang Palestina, perang tidak akan berakhir sebelum Israel menarik diri sepenuhnya dari Gaza—sesuatu yang belum menjadi komitmen Israel.

Kurangnya jaminan dan tantangan implementasi

Al-Shobaki menyoroti kurangnya jaminan bagi pihak Palestina bahwa gencatan senjata akan dihormati selama proses negosiasi berlangsung.

Isu ini, menurutnya, belum mendapat perhatian serius dari AS maupun Israel.

Lebih jauh, ia mengkritik usulan AS yang mendorong pembentukan pemerintahan alternatif di Gaza, karena gagasan tersebut tidak dilengkapi dengan mekanisme implementasi yang jelas.

Ia juga mengingatkan bahwa Hamas sebelumnya telah menyatakan bersedia untuk tidak ikut serta dalam pemerintahan Gaza—suatu posisi yang telah disampaikan kepada para mediator Arab.

“Menarik kembali isu ini justru bisa ditafsirkan sebagai upaya untuk menurunkan posisi tawar pihak Palestina,” ujar al-Shobaki.

Ia menambahkan, jika komunitas internasional benar-benar ingin memberdayakan Otoritas Palestina di Gaza, maka seharusnya dimulai dengan memperkuatnya terlebih dahulu di Tepi Barat.

Dari perspektif militer, analis strategi Brigadir Jenderal (Purn) Elias Hanna menilai bahwa tuntutan pihak perlawanan Palestina bertolak belakang dengan syarat-syarat yang ditetapkan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, yang saat ini menjadi buronan Mahkamah Pidana Internasional (ICC).

Hanna menegaskan bahwa penghentian perang mensyaratkan penarikan total pasukan Israel dari Gaza, serta pemberian jaminan keamanan yang konkret.

Ia juga mempertanyakan bagaimana nasib senjata milik kelompok perlawanan dan seperti apa masa depan pemerintahan di Gaza pasca-konflik.

Menurut Hanna, sejarah menunjukkan bahwa keputusan Israel untuk menarik diri dari wilayah pendudukan sangat dipengaruhi oleh situasi domestik, tekanan internasional, dan besarnya kerugian yang ditimbulkan oleh perlawanan bersenjata Palestina terhadap militer Israel.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular