Sunday, September 28, 2025
HomeBeritaAnalis: Dunia mulai perlakukan Israel seperti rezim Apartheid Afrika Selatan

Analis: Dunia mulai perlakukan Israel seperti rezim Apartheid Afrika Selatan

Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, semula memperkirakan bahwa pidatonya di hadapan Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) akan mendapat sambutan biasa saja. Namun, kenyataan di lapangan berbeda.

Sejumlah delegasi meninggalkan ruangan begitu Netanyahu—yang kini berstatus buronan Mahkamah Pidana Internasional (ICC)—naik ke podium.

Bagi banyak analis, pemandangan itu mencerminkan isolasi yang kian dalam dialami Tel Aviv akibat perang di Gaza.

Meski ada yang menyebut aksi walk out itu sebatas “teater politik”, faktanya ia menjadi simbol kuat penolakan dunia terhadap kebijakan militer Israel.

Momentum tersebut, menurut pengamat, bukan sekadar propaganda yang dikampanyekan kelompok perlawanan Palestina.

Adegan di markas besar PBB itu menegaskan bahwa penolakan internasional terhadap Israel kini nyata adanya, mengkristal dalam sikap politik, diplomasi, dan kebijakan ekonomi sejumlah negara.

Netanyahu sendiri merasakan tekanan sebelum tiba di New York. Dalam perjalanan dari Tel Aviv, pesawat yang ditumpanginya harus mengubah jalur penerbangan untuk menghindari risiko penangkapan di negara-negara yang menjadi pihak dalam Statuta Roma—perjanjian dasar ICC.

Seiring dengan itu, gelombang pengakuan terhadap negara Palestina kian meluas. Beberapa negara Eropa mempercepat langkah tersebut, justru sebagai respons terhadap upaya Netanyahu melemahkan prospek pendirian negara Palestina melalui agresi di Gaza dan kebijakan aneksasi di Tepi Barat.

Tidak berhenti di ranah diplomasi, sejumlah negara juga menempuh langkah konkret.

Spanyol dan Norwegia, misalnya, memutuskan embargo penuh ekspor senjata ke Israel, melarang suplai bahan bakar pesawat, serta menghentikan impor produk dari permukiman ilegal di Tepi Barat.

Sanksi ekonomi dan teknologi pun mulai muncul dari sektor swasta. Microsoft—yang selama ini menjadi mitra dekat Israel—mengumumkan pembatasan akses Kementerian Pertahanan Israel terhadap layanan komputasi awan (cloud computing).

Langkah ini diambil setelah ditemukan bukti kuat bahwa teknologi tersebut dipakai dalam operasi militer yang menargetkan warga sipil.

Tekanan eksternal itu bersamaan dengan gelombang protes internal di Israel. Ribuan orang turun ke jalan, bukan hanya di Tel Aviv, tetapi juga di kota-kota lain, menuntut pemerintah menghentikan perang di Gaza.

Situasi ini mempertegas posisi Israel yang semakin terjepit di panggung global maupun domestik.

Guncangan besar

Aksi boikot terhadap pidato Benjamin Netanyahu di Majelis Umum PBB bukan sekadar bentuk protes, melainkan juga tamparan keras bagi dirinya sekaligus bagi kebijakan ekstrem yang dijalankan Israel.

Demikian disampaikan Sekretaris Jenderal Inisiatif Nasional Palestina, Mustafa Barghouti.

Menurutnya, pemandangan itu mencerminkan isolasi paling parah yang kini menyelimuti Israel.

Dalam wawancaranya di program Masar al-Ahdath, Barghouti menegaskan bahwa yang terjadi sekarang adalah gerakan internasional pertama dari jenisnya sejak dunia menumbangkan rezim apartheid di Afrika Selatan.

Ia memperkirakan tekanan akan terus meningkat karena rakyat di berbagai negara mendesak parlemen mereka.

Pada gilirannya parlemen menekan pemerintah untuk mengambil langkah lebih keras terhadap Israel.

Situasi tersebut, menurut pakar isu Israel Mahmoud Yazbek, sempat diperkirakan sebelumnya.

Namun, saat benar-benar terjadi, efeknya jauh lebih menggetarkan. Netanyahu tampak gamang, bahkan beredar kabar bahwa ia harus diperiksa dokter setelah menyelesaikan pidatonya.

Sejak itu, suara-suara dari dalam Israel yang menuntut penghentian perang terdengar lebih lantang daripada bulan-bulan sebelumnya.

Yazbek menilai tekanan itu semakin nyata, bukan hanya datang dari luar negeri, melainkan juga dari dalam masyarakat Israel sendiri.

Kini, stigma dan aksi boikot tidak lagi terbatas pada institusi negara Israel. Warga Israel di luar negeri juga mulai menghadapi tudingan sebagai bagian dari mesin perang yang menewaskan warga Palestina.

Bahkan, Kementerian Luar Negeri Israel dikabarkan menyarankan warganya untuk tidak mengungkap identitas ketika bepergian ke luar negeri.

Dampaknya terlihat jelas pada mobilitas. Berdasarkan data resmi, sekitar 60 persen warga Israel yang biasanya bepergian ke luar negeri pada musim libur memilih bertahan di dalam negeri tahun ini.

Bagi sebagian yang tetap bepergian ke Eilat, mereka mendapati ancaman serangan roket dari Yaman.

“Dulu ada keyakinan di kalangan mereka bahwa orang Israel adalah manusia di atas manusia. Kini, perasaan itu runtuh, digantikan oleh keresahan, dan Netanyahu dipandang sebagai pihak yang paling bertanggung jawab atas kepungan yang kian menghimpit,” kata Yazbek.

“Adegan teater”

Meski banyak pihak menilai aksi walk out di PBB sebagai momen bersejarah, sebagian kalangan di Amerika Serikat (AS) justru meremehkannya.

James Robbins, peneliti senior di Dewan Kebijakan Luar Negeri AS, menyebut peristiwa itu tak lebih dari “adegan teater” yang tidak akan memengaruhi Israel maupun AS.

Menurut Robbins, perang di Gaza hanya akan berakhir jika Hamas meletakkan senjata dan menerima seluruh syarat yang ditetapkan Israel.

Ia juga mengutip pandangan Presiden Donald Trump yang sejak lama skeptis terhadap PBB.

Trump menilai sikap lembaga internasional itu justru mendorong Hamas melanjutkan perlawanan, yang oleh Washington kerap dipersepsikan sebagai “dukungan terhadap terorisme”.

Namun, pandangan berbeda datang dari Lex Takkenberg, pakar hukum humaniter internasional sekaligus mantan Direktur Operasi Badan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA).

Menurutnya, pemandangan di Majelis Umum PBB jauh dari sekadar pertunjukan politik. Ia melihat hal itu sebagai bukti nyata bahwa tekanan internasional terhadap Netanyahu semakin kuat, mirip dengan pengalaman rezim apartheid Afrika Selatan menjelang tumbangnya.

“Kalau bukan karena krisis serius, Netanyahu tidak perlu mengubah rute penerbangannya ke New York karena khawatir ditangkap,” ujar Takkenberg.

Ia menambahkan, Israel bisa begitu lama melanjutkan kebijakan militer kerasnya semata-mata karena mendapat perlindungan AS.

Takkenberg juga menyinggung peristiwa serangan Hamas pada 7 Oktober 2023. Ia memang mengategorikannya sebagai “kejahatan perang”.

Namun, ia menekankan bahwa aksi itu tidak bisa dilepaskan dari konteks—yakni respons bersenjata terhadap penindasan dan pembantaian yang dialami bangsa Palestina selama lebih dari satu abad.

Dengan latar itu, Takkenberg berpendapat bahwa dunia kini tengah menyaksikan babak baru yang belum pernah terjadi sebelumnya.

“Kita sedang berada di ambang akhir dari status quo mengenai isu Palestina. Amerika Serikat menyadari hal ini, dan cepat atau lambat, Washington akan menekan Netanyahu untuk memberikan konsesi besar,” tuturnya.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Terpopuler