Wednesday, April 16, 2025
HomeAnalisis dan OpiniAnalis: Gelombang protes militer jadi tekanan bagi Netanyahu

Analis: Gelombang protes militer jadi tekanan bagi Netanyahu

Para analis memperingatkan bahwa meningkatnya protes di kalangan militer Israel. Terutama dari pasukan cadangan dan mantan tentara, kini membentuk tekanan luar biasa terhadap pemerintahan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu.

Tekanan ini berpotensi besar mengubah arah strategi militer Israel di Gaza, serta mengguncang kohesi internal angkatan bersenjata negara tersebut.

Dr. Mohannad Mustafa, akademisi dan pakar urusan Israel, menilai bahwa gelombang petisi dan surat terbuka yang mendesak pemulangan sandera dan penghentian perang, belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah Israel.

Menurutnya, meskipun Israel pernah mengalami ketidakpuasan publik selama Perang Lebanon 1982 atau Intifada Palestina pada tahun 2000.

Namun protes dalam bentuk dan skala seperti saat ini merupakan fenomena baru yang mengkhawatirkan.

“Ribuan tentara cadangan, baik yang masih aktif maupun yang sudah pensiun, menandatangani petisi sebagai bentuk perlawanan terhadap keberlanjutan perang. Ini jelas mimpi buruk bagi pemerintahan Netanyahu dan pimpinan militer seperti Kepala Staf Umum Eyal Zamir,” jelas Mustafa.

Ia memperkirakan bahwa langkah ini akan mendorong lebih banyak tentara untuk menolak perintah dinas, menciptakan potensi perpecahan internal di tubuh militer.

Protes senyap

Selain protes terbuka, Mustafa juga menyoroti munculnya fenomena “protes senyap” dalam barisan pasukan Cadangan. Sebagian besar tentara memilih tidak kembali ke unit militer mereka.

Menurut laporan, tingkat kehadiran di beberapa unit telah menurun drastis, hingga hanya 40–50 persen dari kapasitas semestinya.

“Ini menjadi sinyal kuat bahwa kepercayaan dan motivasi di kalangan tentara sedang mengalami krisis,” tambah Mustafa.

Ia menyebut bahwa keretakan ini bukan hanya ancaman operasional, tapi juga psikologis, yang bisa menggerogoti semangat pasukan dalam menjalankan misi di Gaza.

Husam Shaker, penulis dan peneliti hubungan internasional, menilai bahwa peningkatan kekerasan dalam operasi militer—termasuk serangan terhadap rumah sakit, fasilitas PBB, dan infrastruktur sipil—merupakan bentuk kompensasi atas kegagalan militer di lapangan.

“Militer Israel saat ini tidak memiliki kesiapan moral maupun kapasitas tempur yang memadai untuk menghadapi perang skala besar. Ketika gagal meraih kemenangan strategis, mereka justru meningkatkan intensitas serangan brutal sebagai penutup kegagalan,” kata Shaker.

Shaker memprediksi bahwa kondisi saat ini bisa menjadi titik balik konflik. Ia menunjuk pada tiga faktor utama.

Tekanan internal dari protes publik dan militer, meningkatnya ketegangan di kawasan—termasuk keterlibatan Yaman—dan prioritas Amerika Serikat (AS) untuk menurunkan eskalasi.

Terlebih, lanjutnya, dengan rencana kunjungan Donald Trump ke kawasan dalam waktu dekat.

“Pada satu titik, AS akan menyadari bahwa perang ini tidak lagi dapat dipertahankan. Tekanan akan datang, baik dari luar maupun dari dalam negeri Israel sendiri,” ujarnya.

Dermer tidak mengerti berkas tahanan

Sorotan juga tertuju pada Ron Dermer, Menteri Urusan Strategis Israel yang dituding menghambat tercapainya kesepakatan pertukaran tahanan.

Dr. Mustafa menilai bahwa Dermer, yang baru memperoleh kewarganegaraan Israel, tidak memahami nilai simbolik isu sandera di mata publik Israel.

“Penempatannya dalam tim negosiasi adalah kesalahan besar. Ia tidak memiliki kedekatan budaya dengan rakyat Israel dan gagal menjadikan isu sandera sebagai prioritas nasional,” kata Mustafa.

Dr. Mustafa juga membandingkan dampak antara protes militer dan protes sipil. Ia menilai bahwa perlawanan dari dalam militer lebih efektif dalam menekan pemerintah.

Sebagaimana terbukti dalam krisis politik 2023 saat pilot-pilot Angkatan Udara dari pasukan cadangan mengancam mogok tugas sebagai bentuk penolakan terhadap perubahan yudisial.

Sebagai catatan terbaru, saluran televisi Channel 13 Israel melaporkan bahwa 200 dokter militer cadangan juga telah menandatangani petisi menentang kelanjutan perang dan menuntut pembebasan para sandera.

Sejak Kamis lalu, gelombang petisi dari tentara cadangan, pensiunan, serta mantan petinggi militer terus bermunculan—semuanya menuntut diakhirinya perang, meskipun harus dilakukan dengan kesepakatan pertukaran tahanan.

Kondisi ini menjadi penanda bahwa pemerintah Netanyahu tidak hanya menghadapi perlawanan eksternal dari dunia internasional, tetapi juga tekanan internal yang kini mengakar hingga ke jantung institusi pertahanannya sendiri.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular