Friday, March 14, 2025
HomeAnalisis dan OpiniAnalis: Gencatan senjata Gaza terancam gagal, Trump ingin hentikan perang dengan syaratnya

Analis: Gencatan senjata Gaza terancam gagal, Trump ingin hentikan perang dengan syaratnya

Menurut para analis, kesepakatan gencatan senjata antara perlawanan Palestina dan Israel tidak lagi dapat bertahan dalam bentuk awalnya.

Hal ini terjadi setelah Benjamin Netanyahu mengingkari komitmennya, sementara Amerika Serikat (AS) mulai mencari alternatif lain.

Sesuai dengan kesepakatan yang dimediasi oleh Qatar, Mesir, dan AS, pasukan pendudukan Israel seharusnya telah menarik diri dari Koridor Philadelphia di perbatasan dengan Mesir.

Namun, Netanyahu masih menolak hal ini dan berusaha mendapatkan kembali sebanyak mungkin tahanan Israel yang masih hidup, sambil mempertahankan pasukannya di Gaza.

Menggunakan perang dan bantuan sebagai alat tekanan

Sementara itu, utusan AS, Steven Witkoff, bersama delegasi Israel yang memiliki wewenang terbatas, tiba di Doha untuk melanjutkan perundingan.

Namun, media Israel melaporkan adanya kemungkinan kembalinya pertempuran.

Meski begitu, menurut analis politik Saeed Ziyad, Israel tidak ingin kembali ke perang. Tetapi menggunakannya sebagai alat tekanan politik, bersama dengan bantuan kemanusiaan dan rekonstruksi Gaza.

Israel kini mulai membahas usulan baru dari AS yang diajukan oleh Witkoff. Usulan itu mencakup gencatan senjata selama 2 bulan dengan imbalan pembebasan 10 tahanan Israel yang masih hidup.

Ziyad, dalam program “Masar Al-Ahdath,” berpendapat bahwa usulan ini menunjukkan bahwa AS hanya berfokus pada pembebasan sandera Israel.

Israel mengabaikan penghentian perang, meskipun mereka tidak menyatakannya secara eksplisit.

Lebih lanjut, menurutnya, proposal Witkoff saat ini akan mengurangi jumlah tahanan Israel yang ditahan oleh perlawanan hingga 40%.

Sementara itu, Hamas tetap menginginkan penghentian perang secara menyeluruh, sebagaimana telah disepakati.

Perlawanan tidak akan menerima

Ziyad tidak percaya bahwa Hamas akan menerima proposal parsial seperti ini. Menurutnya hanya bertujuan untuk memberi Netanyahu lebih banyak waktu.

Dia juga menilai bahwa para mediator tidak ingin kembali ke titik awal perundingan.

Di sisi lain, Tim Constantine, Wakil Pemimpin Redaksi The Washington Times, menilai bahwa Washington dan Tel Aviv tidak ingin perang berlanjut.

Tetapi mereka ingin membebaskan tahanan dan mengakhiri keberadaan Hamas di Gaza.

Constantine menuduh Hamas melanggar hukum internasional. Meskipun ia mengakui bahwa Israel menggunakan bantuan sebagai alat tekanan yang tidak dapat dibenarkan.

Namun, aa tetap membela tindakan tersebut dengan menyamakannya dengan taktik Hamas terhadap tahanan.

Menurut Constantine, kesepakatan gencatan senjata yang telah ditandatangani kini keluar dari konteks awalnya.

Bahkan, Hamas disebut telah memberikan sinyal awal ke arah penerapan solusi dua negara.

Ziyad menilai bahwa Netanyahu mencoba mengulur waktu untuk mengatasi dua masalah utama yang dihadapinya. Yaitu pengesahan anggaran negara dan perekrutan komunitas ultra-Ortodoks (Haredi) ke dalam militer.

Namun, Constantine tidak setuju dengan anggapan bahwa Netanyahu hanya sedang mengulur waktu.

Menurutnya, negosiasi seperti ini memang selalu sulit dalam setiap konflik di dunia.

“Jika kita melihat gambaran yang lebih luas, hal terpenting saat ini adalah bahwa tidak ada pertempuran dan tidak ada warga sipil yang terbunuh. Hal ini harus dipertahankan dengan menghentikan senjata dan memberi ruang bagi suara akal sehat untuk mencapai perdamaian jangka Panjang,” katanya.

Menanggapi pernyataan ini, Ziyad menegaskan bahwa Hamas tidak pernah menolak perdamaian.

Bahkan sejak hari pertama, katanya, mereka menawarkan pertukaran tahanan secara menyeluruh, “semua untuk semua,” dan mengulangi tawaran tersebut bulan lalu.

Namun, Israel justru menegaskan akan mengambil tahanannya dan kemudian kembali berperang.

Oleh karena itu, menurutnya, perlawanan Palestina tidak akan pernah menerima proposal Israel-AS ini, karena tujuan utamanya adalah melucuti senjata rakyat Palestina di Gaza.

Ia menyebut rencana ini sebagai bagian dari “perdamaian hina” yang dipraktikkan oleh Otoritas Palestina di Tepi Barat, sebagai langkah awal menuju pemindahan paksa warga Palestina.

“Palestina tidak akan menerimanya, dan mereka akan mengangkat senjata di mana pun untuk mencegahnya,” katanya.

Pakar urusan Israel, Ihab Jabarin, sepakat dengan Ziyad. Menurutnya, Netanyahu tidak berubah dan masih menggunakan strategi “negosiasi demi negosiasi” untuk membeli waktu dengan berfokus pada detail kecil.

Netanyahu, kata Jabarin, ingin mendapatkan segalanya tanpa membayar harga politik apa pun.

Oleh karena itu, ia membentuk tim negosiasi yang hanya terdiri dari loyalisnya, yang tidak memiliki kewenangan untuk membahas hal lain selain memperpanjang fase pertama kesepakatan.

Alih-alih memenuhi kewajiban kemanusiaannya yang gagal dipenuhi dalam tahap pertama, Netanyahu kini mengubahnya menjadi tuntutan baru yang memerlukan imbalan tambahan sebelum melanjutkan ke tahap kedua perundingan.

Memperbaiki kesalahan perang

Namun, Jabarin menilai bahwa Netanyahu tidak memiliki banyak waktu tersisa. Ia menghadapi tekanan dari anggota kabinet sayap kanan serta keluarga tahanan Israel yang kini menghubungi Trump secara langsung.

Netanyahu juga menghadapi dilema karena AS menginginkan kesepakatan cepat. Sementara Israel justru ingin kembali ke perang guna “memperbaiki kesalahan” yang terjadi dalam putaran pertempuran sebelumnya.

Menurut Jabarin, kesalahan ini terletak pada fakta bahwa perang sebelumnya lebih bersifat balas dendam terhadap warga sipil dan infrastruktur Gaza daripada menghancurkan struktur militer perlawanan—berbeda dengan pendekatan Israel terhadap Hizbullah di Lebanon.

Ia menjelaskan bahwa Israel berhasil membatasi kekuatan Hizbullah secara militer dan politik dalam waktu 70 hari dengan serangan yang terfokus terhadap kepemimpinan kelompok tersebut.

Namun, setelah 15 bulan perang di Gaza, Hamas masih tetap kuat karena bukan satu-satunya target perang.

Kantor Netanyahu telah mengumumkan bahwa rencana untuk kembali melanjutkan perang di Gaza hampir disetujui.

Sementara itu, Kepala Staf Militer Israel yang baru, Eyal Zamir, berjanji untuk mengalahkan musuh, tidak peduli berapa lama waktu yang dibutuhkan.

Ia menegaskan komitmennya untuk meraih kemenangan yang menentukan dalam perang ini.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular