Para analis politik menilai bahwa keputusan Israel untuk melanjutkan perang di Jalur Gaza tidak akan membawa hasil seperti yang diinginkan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu dan sekutunya, Amerika Serikat (AS).
Hal ini karena Hamas tidak akan tunduk pada tekanan dan tidak akan menyerahkan satu-satunya kartu kuat yang masih dimilikinya.
Kartu itu yaitu para tahanan Israel yang mereka tahan di Gaza.
Israel kembali melanjutkan perang di Gaza pada Selasa dini hari kemarin, dengan melakukan serangan udara dahsyat yang mengakibatkan 429 warga gugur dan 528 lainnya terluka.
Ini merupakan pelanggaran terbesar terhadap perjanjian gencatan senjata yang ditengahi oleh Qatar, Mesir, dan AS pada Januari lalu.
Akademisi dan pakar urusan Israel, Dr. Muhannad Mustafa, menyatakan bahwa keputusan Netanyahu untuk melanjutkan perang didorong oleh dukungan AS.
Netanyahu juga ingin untuk menekan Hamas agar menerima usulan utusan AS untuk Timur Tengah, Stephen Witkoff.
Namun, usulan itu diajukan dengan syarat-syarat Israel. Seperti pembebasan separuh tahanan Israel (baik yang masih hidup maupun yang telah meninggal) pada hari pertama gencatan senjata. Sisanya, pada hari terakhir jika telah tercapai kesepakatan politik terkait penghentian perang.
Dr. Mustafa menambahkan bahwa opsi melanjutkan perang di Gaza adalah pilihan strategis bagi Israel.
Pemerintah Netanyahu memanfaatkan mandeknya negosiasi sebagai peluang untuk menjalankan opsi tersebut.
Terkait rencana operasi darat yang digembar-gemborkan Israel, Dr. Mustafa menilai bahwa hal itu adalah operasi yang rumit.
Apalagi, katanya, tidak ada konsensus nasional di Israel mengenai perang ini. Masyarakat Israel saat ini tidak memandang perang seperti dulu.
“Karena itu serangan darat kemungkinan akan ditunda,” katanya.
Sementara itu, peneliti senior di Pusat Studi Al Jazeera, Dr. Liqa Makki, menilai bahwa keputusan melanjutkan perang bertujuan untuk menekan Hamas agar menerima syarat-syarat yang sebelumnya tidak diajukan.
Namun, ia menilai tekanan itu justru akan lebih membebani Israel ketimbang Hamas.
“Karena operasi militer tidak akan dan tidak bisa membebaskan tawanan Israel,” imbuhnya.
Mengenai lampu hijau dari AS kepada Netanyahu, Makki mengatakan bahwa Presiden Donald Trump diberi informasi bahwa Hamas berada dalam tekanan hebat. Bahwa dengan prinsip “perdamaian lewat kekuatan” mereka akan menyerah pada tuntutan.
Namun, Trump tidak memahami bahwa Hamas sudah tidak punya apa pun lagi untuk dikorbankan. Mereka juga tidak akan menyerahkan para tawanan tanpa imbalan yang nyata.
Makki memperkirakan bahwa Trump pada akhirnya akan sadar bahwa tekanan militer tidak akan membuahkan hasil terhadap Hamas.
Tentang opsi Hamas dan perlawanan Palestina, Makki menegaskan bahwa memberikan konsesi di tahap ini tidak relevan dan akan dianggap sebagai akibat dari agresi militer Israel terhadap Gaza.
Ia menunjukkan bahwa Israel bagaimanapun tidak akan berhenti membunuh warga Palestina.
Tindakan sementara
Menurut Thomas Warrick, mantan pejabat Kementerian Luar Negeri AS untuk Urusan Timur Tengah, jalur yang diinginkan Trump dan utusannya Witkoff adalah pembebasan lebih banyak tahanan.
Selain itu mereka juga menginginkan masuknya lebih banyak bantuan kemanusiaan sebagai tindakan sementara hingga akhir hari raya Yahudi pertengahan April mendatang.
Ini akan memungkinkan dimulainya negosiasi tahap kedua terkait pertukaran tawanan dan gencatan senjata di Gaza.
Ia menambahkan bahwa Witkoff ingin Hamas menerima gagasannya tentang perpanjangan tahap pertama perjanjian.
“Bahwa ia-lah yang membuat Trump menyetujui dilanjutkannya perang Israel di Gaza”, katanya.
Warrick menyatakan bahwa Washington melihat Hamas sebagai hambatan bagi perdamaian abadi, bukan Israel.
Menurutnya, Hamas harus dikecualikan dari pemerintahan Gaza. Ia mengungkapkan bahwa Witkoff telah bertemu dengan para pemimpin Arab terkait hal ini. Namun, lanjutnya, tidak ada indikasi mereka mencapai kesepakatan.
Menurut Dr. Makki, Hamas bahkan menolak berdiskusi tentang kemungkinan keluarnya para pemimpinnya dari Gaza. Ia menegaskan bahwa Hamas tidak bisa diakhiri lewat perang maupun kesepakatan.
Mengenai sikap Uni Eropa terhadap kembalinya perang di Gaza, Wakil Presiden Parlemen Eropa Younes Omarjee mengatakan bahwa Brussels mengutuk kejahatan Israel kemarin.
Ia menyebut kejadian tersebut sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan. Ia juga menyalahkan AS atas kejadian itu, serta menyerukan penghormatan terhadap perjanjian gencatan senjata dan pembebasan semua tawanan.
Sementara itu, William Schabas, Ketua Komite Persrikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk penyelidikan agresi Israel terakhir di Gaza. Ia menegaskan bahwa Israel secara terang-terangan telah melanggar gencatan senjata.
Ia mengatakan bahwa agresi Israel membuktikan bahwa mereka tidak menginginkan perdamaian, melainkan ingin menghancurkan rakyat Palestina.