Para analis dan pakar kemanusiaan menilai rencana baru Israel untuk menyalurkan bantuan di Jalur Gaza—yang didukung oleh Amerika Serikat (AS)—akan menemui kegagalan.
Selain diragukan dari segi legalitas dan etika, rencana itu juga dinilai sarat kepentingan militer dan keamanan, serta menghadapi tantangan utama berupa pendanaan.
2 hari setelah membuka akses terbatas bagi bantuan ke Gaza, pemerintah Israel berusaha menerapkan mekanisme distribusi baru melalui lembaga bernama Humanitarian Aid for Gaza Foundation, yang bekerja sama dengan dua perusahaan swasta asal AS di bidang keamanan dan logistik.
Menurut para pengamat, rencana ini tak lepas dari strategi pemerintah Benjamin Netanyahu untuk mengendalikan arus bantuan kemanusiaan guna melayani tujuan militer Israel.
Hal ini mencakup upaya melemahkan lembaga bantuan internasional, terutama Badan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA), yang selama ini menjadi penyalur utama bantuan di Gaza.
Pemindahan
Peneliti dan aktivis kemanusiaan Dr. Utsman Shomadi mempertanyakan maksud sebenarnya dari keberadaan lembaga bantuan baru tersebut, terutama karena posisinya yang berpusat di Gaza bagian selatan.
Ia menegaskan bahwa sesuai Konvensi Jenewa Keempat, bantuan kemanusiaan seharusnya disalurkan untuk seluruh penduduk tanpa diskriminasi.
“Langkah ini jelas melanggar hukum internasional,” ujar Shomadi.
Ia memperingatkan bahwa kebijakan tersebut bisa memperburuk kondisi kelaparan akut di Gaza, yang telah menelan banyak korban jiwa.
Sementara itu, akademisi dan pakar urusan Israel Dr. Muhannad Mustafa menilai bahwa motif utama Israel adalah menggiring warga Gaza ke wilayah selatan sebagai bagian dari rencana pengusiran massal.
Ia menyebut rencana ini bagian dari apa yang dikenal sebagai “Rencana Para Jenderal”.
“Selain itu, tujuan lainnya adalah melemahkan Hamas—yang oleh Israel dituduh menguasai sebagian bantuan—dan menghancurkan infrastruktur sosial serta upaya distribusi lokal di Gaza,” ujar Mustafa.
Menurutnya, pendekatan Israel didasarkan pada strategi pemecahan dan fragmentasi sosial.
Ahli strategi militer, Brigjen Elias Hanna, menilai bahwa Israel tengah mengupayakan militerisasi atas bantuan kemanusiaan.
Dengan membentuk lembaga distribusi yang dikontrol langsung, Israel ingin menjadikan distribusi bantuan sebagai bagian dari operasi militernya, sekaligus meredam tekanan internasional terkait krisis kemanusiaan di Gaza.
“Distribusi bantuan juga digunakan untuk mengumpulkan informasi intelijen tentang warga Gaza yang mendatangi lokasi pembagian bantuan, sebagaimana dilakukan sebelumnya melalui program berbasis kecerdasan buatan,” jelas Hanna.
Serangan balasan
Dari sisi kelayakan, Dr. Mustafa menyebut bahwa aspek pendanaan menjadi tantangan utama bagi Israel.
“Tel Aviv tidak ingin membiayai bantuan itu sendiri, dan negara-negara Eropa juga menolak menyokongnya,” ujarnya.
Ia memperkirakan skema ini akan gagal dan menjadi bumerang bagi Israel.
Namun Dr. Shomadi menyatakan bahwa AS kemungkinan besar akan tetap mendukung Israel, bahkan dengan mengirimkan bantuan pangan ke Gaza sebagai ganti dari pengiriman senjata ke Israel.
Sejumlah pihak, termasuk lembaga lokal dan internasional, telah menyatakan penolakan terhadap skema bantuan ala Israel ini.
Komisaris Jenderal UNRWA, Philippe Lazzarini, menilai bahwa rencana bantuan kemanusiaan baru tampaknya lebih bersifat militer ketimbang kemanusiaan.
Organisasi masyarakat sipil di Gaza juga menolak terlibat dalam mekanisme yang menurut mereka memaksakan konsep bantuan pangan sebagai alat kontrol keamanan.
Pada awal April lalu, Israel sempat mengusulkan mekanisme pemantauan dan distribusi bantuan yang terorganisasi.
Namun Sekjen PBB Antonio Guterres menolaknya dengan tegas, menyebut bahwa mekanisme tersebut hanya akan memperketat pengawasan dan mengontrol setiap kalori dan butir tepung yang masuk ke Gaza.