Harapan akan gencatan senjata di Gaza dalam waktu dekat tampaknya masih jauh dari kenyataan.
Sejumlah analis menilai bahwa Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu tidak menunjukkan tanda-tanda akan menghentikan perang.
Namun, tekanan internasional yang kian kuat bisa memaksanya membuka lebih banyak jalur bantuan kemanusiaan ke wilayah tersebut.
Dalam pernyataannya baru-baru ini, Menteri Luar Negeri Qatar, Sheikh Mohammed bin Abdulrahman Al Thani, mengungkapkan adanya upaya diplomatik yang terus dilakukan bersama Amerika Serikat (AS) dan Mesir untuk mencapai kesepakatan baru.
Namun, ia menuding Israel sebagai pihak yang kerap menggagalkan proses negosiasi sebelumnya.
Dari pihak AS, laporan media Axios menyebut bahwa Presiden Donald Trump telah membahas kemungkinan gencatan senjata langsung dengan Netanyahu.
Meski demikian, informasi dari sumber-sumber AS dan Israel menunjukkan bahwa Netanyahu masih bersikap enggan untuk mengakhiri konflik secara menyeluruh.
Kontroversi di Israel
Situasi internal di Israel sendiri memperlihatkan ketegangan yang tinggi. Pertemuan Dewan Keamanan Nasional Israel (kabinett) baru-baru ini diwarnai perdebatan sengit mengenai arah perang dan potensi tercapainya kesepakatan.
Mantan pejabat Departemen Luar Negeri AS, Thomas Warrick, menyatakan bahwa ada sedikit harapan lebih besar dibanding beberapa pekan sebelumnya.
Namun ia memperkirakan kesepakatan damai baru akan memerlukan waktu berbulan-bulan untuk terwujud.
Dalam sebuah wawancara televisi, Warrick menyebut bahwa sejumlah pernyataan baru dari berbagai pihak telah membuka ruang bagi Qatar untuk mengajukan proposal baru.
Meskipun ia memperkirakan kesepakatan tak akan tercapai sebelum kunjungan Trump ke Teluk bulan depan.
Melucuti Hamas
Salah satu kendala utama yang disebut Warrick adalah sikap Israel yang tak akan menerima kesepakatan apa pun selama Hamas masih memegang senjata.
Hal ini dianggap sebagai indikasi bahwa konflik bisa terulang seperti peristiwa 7 Oktober 2023.
Seruan agar Hamas melepaskan senjatanya pun muncul dari sejumlah tokoh Palestina, termasuk Presiden Mahmoud Abbas.
Namun, analis politik Ahmad Al-Hila menilai seruan tersebut mengandung risiko menyerahkan segalanya tanpa jaminan imbal balik dari Israel—sebagaimana yang dialami Fatah tiga dekade lalu.
Al-Hila menambahkan, jika kesepakatan baru benar-benar masih akan membutuhkan waktu berbulan-bulan, maka krisis kemanusiaan yang lebih besar di Gaza menjadi tak terhindarkan.
Meskipun lawatan pejabat tinggi Qatar ke Washington membangkitkan secercah harapan, Al-Hila mengingatkan bahwa Netanyahu kerap menggagalkan atau menarik diri dari perjanjian, karena dinilai bertentangan dengan agenda politik pribadinya.
Ia juga menyoroti kunjungan delegasi Hamas ke Ankara baru-baru ini, yang dinilai sebagai upaya menekan AS lewat jalur Turki untuk lebih serius menangani tragedi kemanusiaan di Gaza.
Di tengah kebuntuan ini, Hamas disebut telah mengajukan usulan kreatif: kesediaan untuk menerima gencatan senjata jangka panjang.
Usulan ini, menurut Al-Hila, secara strategis menepis klaim Israel bahwa mereka terus berada dalam ancaman eksistensial dari Hamas. Namun, skeptisisme tetap tinggi.
Thomas Warrick, misalnya, meragukan Israel akan menerima usulan itu. Menurutnya, Israel tidak akan bisa menerima keberadaan Hamas dalam bentuk apa pun.
Sementara itu, Amerika Serikat sendiri belum menunjukkan langkah konkret untuk mengakhiri perang, dan cenderung menunggu hingga semua opsi lain habis.
Senada dengan Warrick, pakar isu Israel, Dr. Mohannad Mustafa, menyebut bahwa bukan hanya pemerintah, masyarakat Israel secara umum menolak adanya jeda panjang dalam konflik.
Menurutnya, gencatan senjata hanya akan memberi waktu bagi Hamas untuk pulih dan mempersiapkan perlawanan baru.
Atas dasar itu, Netanyahu diyakini tidak akan menyetujui gencatan senjata jangka panjang.
Sebaliknya, ia akan melanjutkan perang secara hati-hati dan bertahap, sambil mempertimbangkan solusi kemanusiaan demi meredam tekanan internasional. Karena, seperti dikatakan Mustafa, “kelaparan punya batas waktu”.
Dalam pandangan Mustafa, Netanyahu lebih memilih meraih keuntungan politik lewat kesepakatan-kesepakatan kecil, seperti pertukaran tahanan, ketimbang mengakhiri perang sepenuhnya.
Ia juga dinilai berupaya menjadikan krisis Gaza sebagai peristiwa “normal” dalam dinamika Israel, serupa dengan situasi di Tepi Barat.
Indikasi terbaru menunjukkan bahwa Netanyahu tidak lagi memperdebatkan soal bantuan kemanusiaan, melainkan siapa yang akan menyalurkannya—sebuah sinyal bahwa tekanan internasional mulai mengubah perhitungannya.
Namun, jalan menuju perdamaian sejati masih panjang dan penuh tantangan.