Upaya militer Israel untuk menguasai Jalur Gaza secara penuh diperkirakan akan menghadapi rintangan besar.
Hal itu terlihat dari kegagalan pasukan khusus Israel dalam menangkap seorang pemimpin perlawanan Palestina dalam sebuah operasi khusus di Gaza selatan.
Para analis menilai kegagalan ini sebagai sinyal kuat atas tantangan yang akan dihadapi Israel jika berniat menduduki wilayah tersebut secara permanen atau membebaskan para sandera yang masih ditahan kelompok perlawanan.
Target operasi itu adalah Ahmad Sarhan, komandan di kelompok Alwiya Salahuddin—sayap bersenjata dari Komite Perlawanan Populer.
Sarhan gugur dalam baku tembak dengan pasukan Israel di Kota Khan Younis, wilayah selatan Gaza.
Kegagalan operasi ini terjadi ketika Israel memperluas tahap ketiga dari operasi militer yang mereka sebut “Kereta Gideon” dan bertepatan dengan dimulainya konsultasi keamanan yang dipimpin oleh Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, pada Senin malam.
Sebelum pertemuan itu, Netanyahu menyatakan tekadnya untuk menguasai seluruh Jalur Gaza dalam rangka menghancurkan Hamas.
Pernyataan itu disusul oleh Menteri Keuangan Israel, Bezalel Smotrich, yang mengatakan bahwa militer Israel telah mulai menghancurkan sisa-sisa wilayah Gaza.
Ia menyebut operasi militer tersebut sebagai “perubahan arah sejarah”, dengan menegaskan bahwa militer “tidak akan menyisakan satu batu pun di Gaza” serta mendorong warga sipil ke selatan, bahkan ke negara ketiga.
“Itulah tujuan kami,” katanya.
Tantangan di medan tempur
Namun, ambisi Israel untuk menduduki Gaza dan memindahkan penduduknya bertabrakan dengan realitas medan tempur yang keras, yang kemungkinan besar akan menggagalkan rencana tersebut.
Para analis menilai bahwa perubahan sejarah yang diimpikan Israel tidak akan datang tanpa biaya besar.
Pemimpin oposisi Israel, Yair Lapid, mengkritik tajam kebijakan tersebut. Menurutnya, mendorong militer Israel untuk terjebak dalam konflik berkepanjangan di Gaza selama 15 tahun ke depan merupakan “kesalahan strategis serta bencana ekonomi dan politik.”
Menurut analis militer, Brigadir Jenderal Elias Hanna, operasi penangkapan Sarhan adalah bagian dari kampanye “Kereta Gideon”.
Bila berhasil, lanjutnya, Sarhan bisa menjadi sumber intelijen berharga tentang lokasi sandera, jaringan terowongan, atau keberadaan pemimpin perlawanan.
Berbicara dalam program “Masar al-Ahdats” (Lintasan Peristiwa), Hanna menyebut bahwa Israel kemungkinan besar mengalami “kebutaan intelijen” di Gaza sebelum perang karena dominasi keamanan yang dijalankan Hamas.
Ia menilai bahwa kegagalan menangkap Sarhan menunjukkan kemungkinan kegagalan misi serupa untuk menyelamatkan para sandera.
Hal ini pernah terjadi dalam operasi militer sebelumnya, yang justru menyebabkan tewasnya sejumlah sandera di Shuja’iyya di utara dan Khan Younis di selatan.
Menurut Hanna, jika dalam operasi penyelamatan sandera justru ada tentara Israel yang tertawan atau terbunuh, maka keseluruhan misi dinilai gagal.
Terlebih lagi, potensi kematian para sandera dalam proses penyelamatan akan membuat harga yang harus dibayar menjadi sangat mahal.
Bahkan skenario yang lebih luas seperti rencana Netanyahu untuk menduduki Gaza dan memindahkan penduduknya bukanlah langkah mudah.
Upaya tersebut membutuhkan waktu panjang dan akan berhadapan dengan medan yang sangat sulit serta perlawanan yang tidak kecil.
Penolakan meluas di dalam Israel
Sejalan dengan analisis sebelumnya, pengamat urusan Israel, Muhannad Mustafa, menyatakan bahwa setiap upaya Israel untuk membebaskan sandera dengan kekuatan militer akan menemui kegagalan serupa.
Menurutnya, perlawanan Palestina akan bertempur hingga napas terakhir untuk menggagalkan tujuan tersebut.
Mustafa mengungkapkan bahwa sejumlah mantan perwira tinggi militer Israel sebelumnya juga telah memperingatkan risiko besar dari strategi ini, yang berkali-kali gagal selama perang namun tidak diumumkan secara terbuka ke publik.
Adapun rencana pendudukan penuh atas Jalur Gaza kini telah menjadi kebijakan resmi pemerintah Israel, setelah disetujui oleh kabinet keamanan (kabinét) dan diumumkan secara terbuka oleh Perdana Menteri Benjamin Netanyahu dan Menteri Keuangan Bezalel Smotrich.
Menurut Mustafa, pernyataan terbuka tersebut dapat dijadikan sebagai bukti hukum di hadapan pengadilan internasional bahwa terdapat “niat melakukan pembersihan etnis di Gaza”.
Sementara kelompok kanan Israel menolak sepenuhnya penghentian rencana pendudukan dan pengosongan Gaza dari penduduknya.
Sejumlah tokoh militer dan politik menyuarakan penolakan terhadap strategi tersebut.
Sebagian bahkan menyebutnya sebagai upaya yang akan menyeret Israel ke dalam pelanggaran berat terhadap hukum perang yang tidak bisa lagi disangkal.
Mustafa menilai bahwa operasi ini tidak memiliki legitimasi, bahkan lebih rendah dibandingkan operasi-operasi militer sebelumnya dalam sejarah Israel.
Ia juga mencatat bahwa keluarga para sandera merasa dikhianati oleh kebijakan ini, karena dianggap mengakhiri peluang untuk memulangkan kerabat mereka dari Gaza.
Washington frustrasi
Di sisi lain, Amerika Serikat (AS), meskipun enggan memaksakan solusi tertentu meski memiliki pengaruh besar, mulai menunjukkan penolakan atas perluasan perang di Gaza.
Pemerintah AS kini mendorong tercapainya gencatan senjata dan penghentian perang, sebagaimana disampaikan oleh James Robbins, peneliti senior di Dewan Kebijakan Luar Negeri Amerika.
Menurut Robbins, meski hubungan strategis antara AS dan Israel belum akan berakhir, Israel perlu memahami pesan yang disampaikan Washington saat ini.
Yakni menahan diri dari memperluas operasi dan membuka ruang bagi perundingan damai.
Ia menyinggung pernyataan juru runding Israel, Ronen Bar, yang menyebut kemungkinan pembebasan setengah dari total sandera dengan imbalan gencatan senjata selama dua bulan.
Robbins melihat pernyataan ini sebagai bentuk tekanan terhadap kedua pihak—baik Israel maupun Hamas.
“AS tampaknya sedang berusaha menghentikan perang, dan menolak ekspansi operasi militer,” ujarnya.
Namun demikian, langkah konkret apa yang akan diambil Washington untuk mencegah eskalasi belum jelas hingga kini.
Robbins menyatakan bahwa pemerintahan Presiden Trump mulai merasa frustrasi terhadap sikap Israel.
Selain itu, mulai terdengar wacana penghentian bantuan militer, serta tekanan diplomatik dari Inggris, Prancis, dan Kanada yang mengancam akan mengambil langkah-langkah terhadap Israel.
Konflik utama, tambah Robbins, tetap sama seperti yang menyebabkan runtuhnya perundingan akhir tahun lalu—Israel bersikukuh agar Hamas dilucuti senjatanya, sementara Hamas menuntut penghentian total perang.
Robbins menyimpulkan bahwa usulan terbaru dari mediator seperti Bar—yakni pertukaran setengah sandera dengan jeda perang selama dua bulan—merupakan opsi terbaik yang realistis untuk saat ini.
Ia menilai bahwa pencapaian jaminan jangka panjang masih memerlukan waktu dan negosiasi lebih lanjut.