Perkembangan terbaru dari arena diplomasi menyiratkan bahwa kesepakatan gencatan senjata antara Israel dan Hamas semakin mendekati kenyataan.
Meski sejumlah kendala krusial, seperti pengaturan keamanan dan penarikan pasukan Israel dari Jalur Gaza, masih menjadi batu sandungan, sejumlah analis menilai peluang tercapainya kesepakatan kini lebih besar dari sebelumnya.
Salah satu suara dari kubu Partai Republik, analis strategi Adolfo Franco, menyatakan bahwa momentum untuk kesepakatan kini sangat kuat.
Namun, ia menekankan bahwa keberhasilan perundingan akan sangat ditentukan oleh waktu dan komitmen nyata dari semua pihak yang terlibat.
Sementara itu, tekanan dari Amerika Serikat (AS) terhadap Israel kian terasa. Meski Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu — yang kini menjadi tersangka Mahkamah Pidana Internasional (ICC) — berusaha menggambarkan hubungan dengan Presiden AS Donald Trump sebagai “koordinasi penuh tanpa tekanan,” sumber diplomatik menyebut sebaliknya.
Presiden Trump sendiri menyatakan bahwa ada “peluang sangat baik” bagi tercapainya kesepakatan dalam minggu ini atau minggu depan.
Sinyal positif ini diperkuat dengan laporan dari situs Axios yang mengungkap adanya pertemuan rahasia di Gedung Putih antara pejabat tinggi AS, Israel, dan Qatar.
Pembicaraan itu disebut fokus pada sejumlah perbedaan utama yang masih menghambat kesepakatan final.
Menurut Dr. Muhannad Mustafa, akademisi dan pengamat politik Israel, penolakan Netanyahu atas adanya tekanan justru menunjukkan bahwa tekanan itu memang ada.
Ia mengungkap bahwa Israel, di bawah tekanan AS, telah menyetujui tiga dari empat poin utama yang sebelumnya diperdebatkan , hanya menyisakan satu isu, yakni soal penarikan pasukan Israel dari Gaza.
Di sisi lain, Hamas menunjukkan fleksibilitas dalam perundingan, sesuatu yang diapresiasi langsung oleh Presiden Trump dan utusan khususnya untuk Timur Tengah, Steven Witkoff.
Penulis politik Ahmad al-Tannani menilai bahwa sikap terbuka Hamas didorong oleh kesadaran atas pentingnya momen ini.
Namun tetap disertai ketegasan terhadap prinsip-prinsip utama, seperti pencabutan kebijakan pendudukan yang diberlakukan Israel secara sepihak.
Dalam pernyataan resminya, Hamas menyatakan bahwa pihaknya terus mengupayakan secara bertanggung jawab keberhasilan proses negosiasi guna mencapai kesepakatan komprehensif yang mampu menghentikan agresi, menjamin masuknya bantuan kemanusiaan secara bebas dan aman, serta mengurangi penderitaan warga Gaza.
“Hamas menunjukkan fleksibilitas yang diperlukan, namun tetap bekerja secara serius dan positif bersama para mediator untuk mengatasi hambatan serta mewujudkan harapan rakyat Palestina akan kebebasan, keamanan, dan hidup yang bermartabat,” demikian bunyi pernyataan tersebut.
Hingga kini, salah satu kendala utama adalah keengganan Israel menarik diri sepenuhnya dari Gaza, khususnya dari poros strategis bernama “Koridor Philadelphi” di selatan.
Hamas menegaskan bahwa keberhasilan kesepakatan harus mencakup penarikan total serta jaminan kembalinya warga Gaza ke tempat tinggal mereka.
Al-Tannani memperingatkan bahwa kegigihan Netanyahu mempertahankan posisi di koridor tersebut.
Hal itu menunjukkan niat Israel untuk hanya mencari waktu tenang selama 60 hari guna membebaskan tawanan mereka, sebelum kembali melancarkan agresi militer.
Salah satu gagasan yang kini menjadi polemik adalah usulan pendirian “kota kemanusiaan” di Rafah, yang oleh beberapa media Israel digambarkan sebagai upaya menjadikan tentara Israel penjaga kamp pengungsian terbesar di dunia.
Warga Gaza sendiri menyambut ide tersebut dengan penuh kecurigaan. Pengalaman pahit di lokasi pengungsian sebelumnya — di mana serangan udara tak pernah berhenti meski dijanjikan keamanan — membuat mereka pesimistis terhadap klaim perlindungan yang diajukan Israel.
Kekacauan di pihak Israel
Di tengah gencarnya diplomasi, kekacauan di internal Israel kian terlihat. Setiap hari, pejabat Israel melontarkan wacana berbeda mengenai strategi militer dan pola penarikan pasukan, tanpa kejelasan arah.
Bahkan, tentara Israel dilaporkan menolak rencana pendirian kota kemanusiaan dengan alasan teknis dan operasional.
Hal ini menunjukkan perpecahan dan kebingungan dalam pengambilan keputusan di tingkat tertinggi pemerintahan Israel.
Situasi ini turut menempatkan kredibilitas pemerintahan AS dalam ujian berat. Janji-janji berulang mengenai tercapainya kesepakatan belum menghasilkan hasil nyata di lapangan.
Adolfo Franco menilai bahwa Trump, sebagai sosok yang bukan presiden “konvensional”, menginginkan proses cepat, namun posisi istimewa Israel di Washington membatasi ruang geraknya untuk menekan lebih keras.