Monday, September 8, 2025
HomeBeritaAnalis: Usulan AS kabur dan menempatkan Hamas pada posisi sulit

Analis: Usulan AS kabur dan menempatkan Hamas pada posisi sulit

Amerika Serikat (AS) kembali melemparkan gagasan baru untuk menggerakkan perundingan yang mandek terkait perang Gaza.

Washington mengajukan usulan berisi penyelesaian menyeluruh: pembebasan semua sandera Israel ditukar dengan gencatan senjata serta penghentian perang.

Namun, sejumlah analis politik menilai usulan itu masih berisi judul besar tanpa rincian jelas.

Lebih jauh, usulan tersebut justru menempatkan gerakan Hamas pada posisi sulit, karena sulitnya menjamin bahwa Israel tidak akan melanjutkan serangan setelah sandera mereka kembali.

Masyarakat Palestina, menurut peneliti Mahmoud Rantisi, khawatir proposal ini hanya bagian dari strategi Israel untuk mengalihkan perhatian dan melempar kembali “bola” ke pihak Palestina.

Sebelumnya, usai Hamas menerima usulan mediator pada 18 Agustus, tanggung jawab ada di tangan Israel dan AS.

“Pertanyaannya, apakah usulan baru ini memenuhi lima syarat yang diajukan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu untuk mengakhiri perang?” ujar Rantisi dalam sebuah program diskusi.

Ia menekankan, bahwa Hamas tetap terbuka pada setiap proposal serius, tetapi perundingan tidak bisa dijalankan hanya dengan kata-kata besar tanpa butir jelas serta jaminan nyata.

Menurut Rantisi, Hamas telah menunjukkan tanggung jawab dan fleksibilitas besar dengan menerima gagasan penarikan bertahap pasukan Israel.

Selain itu, juga kesediaan membebaskan seluruh sandera dalam kesepakatan komprehensif, dengan jaminan nyata dari mediator maupun Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

“Mengelola perundingan”

Pandangan serupa dikemukakan Bialal Shobaki, Ketua Jurusan Ilmu Politik Universitas Hebron.

Menurutnya, usulan Washington tidak lebih dari cerminan kesepakatan umum dengan Israel yang sarat ambiguitas.

“Ini lebih mirip upaya mengelola perundingan, bukan mencari penyelesaian. Bisa jadi, proposal ini sekadar untuk meredam tekanan domestik dan internasional atas Israel, sambil tetap melanjutkan operasi militer,” ujarnya.

Isi usulan itu mencakup pembebasan semua sandera Israel pada hari pertama implementasi, sebagai imbalan pembebasan ratusan tahanan Palestina dengan hukuman tinggi.

Selain itu, Israel menghentikan operasi militer besar yang baru saja mereka lancarkan untuk merebut Kota Gaza.

Bagi Netanyahu, lanjut Shobaki, akan sulit mengabaikan usulan yang diterima Hamas.

Pembebasan sandera berarti ia terbebas dari tekanan isu besar di dalam negeri, sementara perang tidak mesti dihentikan secara permanen, hanya ditangguhkan.

Hal ini memungkinkan Israel melanjutkan serangan dengan alasan baru, seperti pola yang kini terlihat di Lebanon.

Yaitu, serangan udara tetap berlanjut meski sudah ada kesepakatan gencatan senjata pada November 2024.

“Amerika Serikat selalu memperpanjang tali perundingan di setiap operasi militer Israel. Namun, persoalan utamanya tetap sama: tidak adanya jaminan,” ujar Shobaki.

Tekanan Trump

Dari Washington, analis Partai Republik Adolfo Franco menilai Donald Trump—yang kini kembali bersuara lantang—ingin melihat gencatan senjata, pembebasan sandera, serta masuknya bantuan kemanusiaan ke Gaza.

Menurut Franco, satu-satunya “jaminan” bagi Hamas dalam skema ini adalah terbukanya jalur bantuan dan kemungkinan partisipasi negara-negara Arab dalam pengelolaan Gaza di masa depan.

Ia menegaskan, tidak realistis berharap Israel segera menarik diri dari wilayah tersebut.

Namun, Trump sendiri meningkatkan tekanan. Ia melontarkan “peringatan terakhir” agar Hamas menerima usulan itu.

Jika tidak, menurut Franco, tersirat ancaman bahwa Washington akan memberi dukungan penuh bagi Israel untuk menguasai seluruh Gaza.

“Hari-hari penentu”

Di sinilah posisi sulit Hamas semakin terasa, kata peneliti senior di Al Jazeera Centre for Studies, Likaa Makki.

Jika Hamas menyetujui, ada risiko dikhianati lagi, seperti pengalaman ketika mereka membebaskan sandera Idan Alexander tanpa imbalan apa pun.

Sebaliknya, jika menolak, perang akan berlanjut. Lebih berat lagi, mediator Qatar dan Mesir tidak dilibatkan dalam skema ini, sehingga kredibilitas proses kembali dipertanyakan.

“Amerika Serikat menjadi sekaligus pihak yang berpihak dan berperan sebagai hakim. Itu menimbulkan masalah mendasar,” ujar Makki.

Ia memprediksi, beberapa hari ke depan akan sangat menentukan. Situasi di Gaza yang kian mengerikan, rencana pemindahan paksa penduduk, serta masa depan bangsa Palestina, semua akan menjadi taruhan.

Makki menyebut, “kompromi pahit” mungkin tak terhindarkan, meski bisa jadi berguna untuk masa depan.

Adapun ancaman Trump, ia melihatnya sebagai bagian dari perang psikologis dan dukungan tanpa syarat bagi Israel.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular